BANDUNG, Suara Muhammadiyah – Ketua Badan Pembina Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah Bandung (UMBandung) Prof. Dr. KH. Dadang Kahmad, M.Si. merasa kehilangan dan duka mendalam atas wafatnya Rektor UMBandung pertama Prof. Dr. H. Suyatno, M.Pd. beberapa hari yang lalu.
”Beliau itu teman dekat saya sejak sebelum bergabung dan setelah ada di Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sebagai Rektor Uhamka, kebetulan saya diangkat sebagai Ketua BPH Uhamka dua periode sejak 2014 yang lalu, dan ketika beliau pindah ke UMBandung, saya juga menjadi Ketua BPH di UMBandung,” ucap Prof. Dadang dalam tausiah takziah virtual mengenang wafatnya Prof. Suyatno, Selasa (12/10/2021) malam.
”Saya sangat dekat dengan beliau. Walaupun beliau tidak jadi rektor kembali, tetapi hubungan kami tetap berjalan terus. Kami saling kirim pesan. Terakhir beliau itu kirim pesan kepada saya pada Rabu 6 Oktober yang lalu, beliau mohon doa karena sudah delapan hari beliau dirawat di RSIJ Cempaka Putih. Saya sebagai sahabat tentu ikut mendoakan beliau semoga Allah SWT menyembuhkan beliau dan segala hal yang berkenaan dengan upaya penyembuhan berjalan lancar,” katanya.
Ketua PP Muhammadiyah ini juga mengatakan bahwa setelah berkirim pesan tersebut, Prof. Suyatno sangat senang dan bergembira.
”Namun pada Minggu (10/10/2021) siang saya sangat dikejutkan dengan informasi whatsapp PP Muhammadiyah yang mengabarkan bahwa beliau meninggal dunia. Oleh karena itu, kami serentak semua ketika itu mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun dan memanjatkan doa yang paling tulus kepada beliau,” tuturnya.
Muhsinin
Prof. Dadang mengakui bahwa Prof. Suyatno adalah orang yang sangat luar biasa. Beliau orang yang sangat berdedikasi kepada Muhammadiyah bahkan lebih dari yang seharusnya.
”Malah beliau itu disebut muhsinin, berlaku ihsan. Ihsan itu melebihi segala sesuatu hal yang diwajibkan. Beliau seolah-olah tidak kenal lelah siang dan malam. Beliau itu tidak pernah menolak perintah apa pun dari PP Muhammadiyah. Yang kita tahu yang kemarin itu juga mengelola UMBandung seperti yang disampaikan tadi oleh pak rektor, sebetulnya Prof. Suyatno itu pendirinya, yang jelas pendirinya. Walaupun ada tim pendiri, tetapi begitu fokus dan serius beliau memperjuangkan sehingga berdiri UMBandung. Bukan sekadar mendirikan, Prof. Suyatno juga membangun UMBandung,” ucapnya.
Oleh karena itu, Prof. Dadang mengajak semua kader, khususnya yang ada di UMBandung, untuk mencontoh jejak langkah Prof. Suyatno. Di samping itu, Prof. Dadang mengaku dirinya sering terkagum-kagum karena Prof. Suyatno sering melaporkan semua kegiatannya yang sangat luar biasa.
”Saya juga sering berkomentar ‘Prof, saya tidak bisa mengikuti jejak langkah antum yang sangat luar biasa itu’. Oleh karenanya, sekali lagi kita memohon kepada Allah untuk supaya Prof. Suyatno diterima segala amal ibadahnya, diampuni segala dosanya, dan diberi pahala yang luar biasa serta dimasukkan ke surga jannatun na’im,” tuturnya.
Kematian sudah tertulis
Prof. Dadang mengatakan bahwa kematian itu adalah sesuatu yang hak. Sesuatu hal yang tidak bisa dihindari oleh siapa pun. Kematian menjadi menjadi batas akhir dari kehidupan manusia di dunia.
”Wa maa kaana linafsin an tamuta illaa bi`iznillaahi kitaabam mu`ajjalaa. Tidak ada satu orang atau makhluk pun yang bernyawa wafat kecuali dengan izin Allah yang sudah tertulis. Jadi sesungguhnya kematian itu sudah tertulis. Kita ini semua sedang mengantre untuk bisa masuk ke tempat itu (kematian),” ucapnya.
Kematian, menurut Prof. Dadang, sama halnya seperti kelahiran yang tidak ada kompromi terlebih dahulu. Waktu manusia lahir, Allah menakdirkan lahir tanpa kompromi terlebih dahulu kepada manusia tersebut. Di mana manusia lahir, dari rahim siapa lahir, tanggal berapa lahir, itu semua rahasia Allah.
Ditegaskan Prof. Dadang, kita lahir tahunya dari rahim ibu kita, tanpa ada keinginan dari kita. Begitu juga halnya dengan wafat kita, kematian kita, kurang lebih akan sama.
”Tidak akan pernah Allah meminta persetujuan kepada kita mengenai kematian. Tidak akan pernah Allah menentukan atau memberitahukan mengenai kematian kita, di mana kita mati, semua rahasia Allah SWT., dan itu begitu cepat. Dari Pak Sutriyo tadi malam saya dengar, waktu hari Minggu pagi itu beliau (Prof. Suyatno) masih bisa berkomunikasi sebelum dicek kesehatannya, tetapi tiba-tiba jam satu siang beliau dipanggil Allah. Begitu cepat sekali. Semuanya akan cepat seperti itu,” ungkapnya.
Mempersiapkan kematian
Oleh karena itu, Prof. Dadang menyampaikan bahwa berbahagialah orang yang sudah punya persiapan-persiapan untuk menghadapi kematian. Berbahagialah bagi orang yang sudah mengumpulkan pundi-pundi amal saleh untuk di akhirat.
Wabtagi fiimaa aataakallaahud-daaral-aakhirata, merugilah kata Rasulullah orang-orang yang hidupnya hanya mengumpulkan pundi-pundi kehidupan dunia yang sementara ini.
”Berhati-hatilah kita semua terhadap kematian, apalagi saya pribadi yang sudah berumur hampir tujuh puluh tahun ini, harus berhati-hati betul. Kumpulkanlah sebanyak-banyaknya amal saleh kita. Kita mengabdi di perguruan tinggi Muhammadiyah ini tujuannya untuk berdakwah, untuk kepentingan menegakkan Al-Islam, untuk menegakkan dakwah, menegakkan Muhammadiyah. Oleh karena itu, siapa pun yang beramal di perguruan tinggi Muhammadiyah atau AUM, itu merupakan satu amal jariah yang nanti akan kita ambil di akhirat,” katanya.
Rasulullah SAW. bersabda bahwa berbahagialah orang-orang yang cerdas, yakni orang-orang tahu bahwa dia akan mati, dan mempersiapkan sebaik-baiknya kematian tersebut.
Sungguh celakalah orang-orang bodoh, yakni orang-orang yang merasa dirinya akan hidup abadi, lupa kepada kematian, dan dia melakukan kegiatan-kegiatan yang sia-sia dalam kehidupannya.
”Oleh karena itu sekali lagi saya atas nama Pimpinan BPH UMBandung mengucapkan takziah yang luar biasa kepada keluarga almarhum Prof. Suyatno dan kita berdoa allaahummagfirlahu warhamhu wa’ aafihi wa fu’anhu wa akrim nuzulahu wa wassi’ madkhalahu wa adkhilkul jannata wa a’idzhu,” katanya.
”Semoga kita semua diberi kesempatan untuk mencapai wafat dalam keadaan husnul khatimah. Kalau kata orang Sunda, husnul khatimah itu ‘maot nyéré ka puhuna’, artinya bisa berakhir dengan baik. Sebaliknya, ‘maot nyéré ka congona’, itu artinya kita berakhir dengan jelek atau suul khatimah, na’udzubillah min dzalik. Semoga kita diberi perlindungan oleh Allah, sehat walafiat, dan diberi kesempatan untuk menambah umur yang baik, penuh dengan zikrullah, penuh dengan amal yang luar biasa,” pungkasnya. (feri)