Pengasuhan Anak dengan Mindfulness

tanggung jawab

Foto Dok Ilustrasi

Pengasuhan Anak dengan Mindfulness

Oleh: Nadia Niza

Kasus kekerasan terhadap anak tinggi di masa pandemi, saat di mana mereka justru terus dekat dengan keluarga. Data KPAI angka kekerasan pada anak meningkat drastis saat pandemi Covid 19 sejak Maret 2020 hingga Juli 2021. Menurut ketua KPAI, hal-hal yang memengaruhi terjadinya kekerasan terhadap anak di masa pandemi ini antara lain aktivitas yang terpusat di rumah saja. Terlebih selama pandemi Covid-19 dimana orang tua harus bekerja dari rumah sekaligus harus mendampingi anak-anak belajar dari rumah. Stres berkepanjangan dan capek menjadikan orang tua hilang kendali dan menjadi tidak mindful sehingga berdampak pada pola pengasuhan yang salah bahkan bisa menjadikan trauma bagi anak-anak dan dampak buruknya adalah kekerasan pada anak.

Istilah mindfulness kini menjadi topik yang sering diperbincangkan. Mindfulness adalah kesadaran dan perhatian penuh terhadap apa yang terjadi di dalam diri kita dan apa yang sedang kita lakukan. Pengasuhan anak dengan mindful adalah pengasuhan anak dengan kesadaran dan perhatian penuh terhadap anak dan apa yang saat ini sedang dilakukan bersama dengan anak-anak kita. Seringkali kita orang tua tidak mindful, tubuh kita bersama anak-anak tapi pikiran kemana-mana. Entah itu mikirin keluarga, pekerjaan, berita media sosial, luka pengasuhan di masa lalu, dll. Contohnya adalah ketika kita sedang mendampingi anak-anak belajar kita malah tidak fokus dengan anak-anak, kita malah asyik sibuk sendiri dengan gawai.

Ketika orang tua mindful maka orang tua tidak akan reaktif yang berlebihan dengan apa yang dilakukan oleh anaknya, tidak mudah terprovokasi, tidak mudah marah, cemas, dan jauh dari stress. Mindfulness itu seperti otot jadi harus dilatih setiap hari. Tak heran, jika banyak yang kemudian mempraktikkan konsep mindfulness agar terhindar dari stres dan meningkatkan fokus. Khususnya dalam hal ini adalah pengasuhan,anak dengan penuh kesadaran. Ketika kita orang tua mempunyai kesadaran diri dalam pengasuhan terhadap anak-anak kita sekarang ini, agar kelak mereka tumbuh menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.

Islam sendiri memiliki konsep mindfulness yang dikenal dengan muraqabah. Muraqabah adalah suatu kondisi di mana jiwa seseorang merasakan bahwa ia, sebagai hamba, selalu diawasi oleh Allah SWT atau yang disebut dengan ihsan. Dalam Hadis Arbain yang ditulis oleh Imam Nawawi dijelaskan mengenai ihsan. Seseorang bertanya kepada Rasulullah, “Lalu terangkan kepadaku tentang ihsan.” Rasulullah pun menjawab, “Hendaknya engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau.”

Lalu bagaimana pola pengasuhan dengan mindful dalam Islam?

Pertama, mengetahui dan mengenal Allah, sadar penuh bahwa anak adalah amanah yang dititipkan Allah kepada kita yang kelak kita akan dimintai pertanggung jawaban di hari akhir. Jika kita selalu berkesadaran bahwa anak adalah amanah Allah maka kita tidak akan berbuat dholim kepada anak-anak kita atau akan menyia-nyiakan anak-anak kita dengan mengabaikan kewajiban kita sebagai orang tua. Kewajiban untuk mendidik anak-anak dengan memberikan pondasi yang kuat yaitu menamkan aqidah kepada anak-anak kita sebagai pondasi pertama. Juga kewajiban lain dengan memenuhi kebutuhan jasmani seperti; sandang, pangan dan tempat berteduh.

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS An Nisa’;9)

Kedua, dengarkan dengan penuh empati. Kita dengarkan anak-anak kita dengan penuh penghayatan, kita hadirkan dengan sepenuh jiwa diri kita saat mendengarkan cerita-cerita mereka dan menatap wajahnya dengan penuh kasih sayang. Bukankah Allah menciptakan kita dengan dua telinga yang secara fitrah artinya kita harus lebih banyak mendengar dari pada berbicara.

Ketiga, tidak menghakimi. Setelah kita dengarkan cerita anak-anak maka dengan kesadaran penuh kita dapat mengambil kesimpulan dari cerita-cerita mereka tanpa harus menghakimi anak-anak yang terkesan kita hanya melihat sisi negatif anak-anak kita saja.

Keempat, pengendalian emosi. Sebagai orang tua kita harus mengetahui kapasitas jiwa diri sendiri dan waspada kepada diri sendiri. Memutus siklus pola pengasuhan trauma masa lalu yang dianggap kurang baik pada diri orang tua itu sendiri. Melangkah keluar dari tradisi pola pengasuhan  keluarga yang negatif untuk membangun sesuatu yang lebih baik bagi diri mereka sendiri agar bisa mendidik anak-anak menjadi lebih baik dari kita. Dengan demikian maka kita akan selalu tersadar setiap kali emosi itu hadir dengan mengambil jeda terlebih dahulu agar mampu mengatur emosi kita.

Kelima, adil dan bijaksana. Memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak dan bukan apa yang diinginkan saja. Ketika kita mengerti apa kebutuhan anak sehingga kita telah mengajari anak tahu nanti ketika mereka dewasa bagaimana mereka mengontrol dirinya bisa membedakan mana yang menjadi keinginan dan mana yang menjadi kebutuhan.

Keenam, kasih sayang atau welas asih dalam arti mencintai dengan makna yang luas. Tidak hanya mencintai sesama manusia tetapi juga bisa mencintai makhluk hidup yang lain. Mengajarkan anak agar mampu mengasihi sesama dengan menumbuhkan empati dan simpati.

Mindfulness bisa dilatih bagi orang tua dengan beberapa cara yaitu;

  1. Mengenali diri sendiri

Mengenali diri sendiri dengan cara menganalisis, kira-kira faktor apa saja yang mampu memancing emosi kita sebagai orang tua, misalnya apakah itu karena faktor trauma atau karena pola pengasuhan yang kurang pas dimasa lalu. Hal-hal apa saja yang menjadikan kita jadi frustasi, marah, atau malu ketika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan harapan kita.

  1. Menahan respon

Menahan respon dalam bentuk tidak terburu-buru bereaksi ketika seorang anak melakukan kesalahan, cobalah untuk mengambil jeda agar kita tidak memberikan respon yang negatif kepada anak yang berujung pada penyesalan pada orang tua. Marah adalah fitrah manusia, tetapi lalu bagaimana agar kita mampu mengelola marah kita dengan ekspresi yang tidak negatif.

  1. Meditasi

Beberapa ulama terdahulu mencontohkan beberapa bentuk meditasi dalam Islam yang bertujuan untuk meningkatkan keimanan, seperti ibadah, doa dan zikir. Imam Al-Ghazali merekomendasikan empat praktik meditasi yang bisa dilakukan sehari-hari atau al-watha’if al-arba’ah, seperti memohon kepada Allah (doa), selalu mengingat Allah (zikir), membaca Al-Qur’an (qira’at) dan melakukan renungan yang mendalam (fikr). Hal tersebut dilakukan secara sadar dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Perlu diketahui bahwa meditasi Islam dapat dicapai dengan latihan yang berulang-ulang. Dengan begitu, kita akan lebih mudah membawa diri ke dalam kondisi muraqabah atau mindful.

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra’d Ayat 28)

Muraqabah atau mindfulness tak hanya memberikan pengalaman spiritual yang luar biasa, tetapi juga bisa membuat pikiran kita terbiasa sadar dan bisa mempertimbangkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari. Pikiran juga akan lebih fokus dan seimbang sehingga risiko cemas dan stres akan berkurang dalam pengasuhan anak. InsyaAllah, orang tua yang berkesadaran penuh dalam pengasuhan dirinya akan bahagia begitu juga anak-anak dan anggota keluarga lainnya.

  1. Bersyukur

Orang yang bersyukur adalah orang yang pandai melihat nikmat-nikmat yang Allah berikan kepadanya lalu nikmat tersebut dipergunakannya untuk mendapatkan ridha Allah. Syukur adalah ketrampilan hati. Agar terampil bersyukur maka perlu ilmu dan diasah. Dalam hal mendidik anak, maka nikmat Allah yang harus kita syukuri adalah kelebihan anak-anak kita dan potensinya. Tugas orang tua adalah fokus pada kelebihan anak, bukan pada kekurangnnya.

Kita menghargai kelebihan anak sekecil apapun sehingga yang kecil itupun akan menjadi besar. Berfokus pada kelebihan anak akan membuat anak merasa istimewa dalam padangan kita. Berfokus pada kelebihan anak membuat anak akan merasa berharga.

Janji Allah dalam firmanNya QS Ibrahim ayat 7-8

“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. Dan Musa berkata: Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

Khatimah

Tingginya tingkat kekerasan terhadap anak bisa ditekan, salah satunya dengan menerapkan konsep mindfulness dalam pola pengasuhan anak. Efek bila orang tua sudah berhasil dalam pola asuh dengan mindfulness adalah anak lebih merasa bahwa dirinya dipahami, dirinya dihargai dan diterima kehadirannya. Ketika hal itu terjadi tentu hubungan orang tua dengan anak jadi lebih enak dan lebih baik. Menjadi orang tua yang penuh perhatian berarti kita memperlihatkan tentang apa yang kita rasakan, bukan berarti kita harus marah-marah ketika anak melakukan sebuah kesalahan atau kita dilarang untuk marah.

Tetapi bagaimana cara memberikan respons yang tepat terhadap anak tanpa harus melakukan kekerasan. Orang tua menjadi lebih sadar dengan perasaan dan pikiran, menjadi tanggap terhadap kebutuhan, pikiran dan apa yang diinginkan anak, bisa mengatur emosi, tidak terlalu keras pada diri sendiri dan anak, lebih baik dalam menahan diri dalam situasi buruk dan menghindari reaksi impulsif, dan hubungan kita dengan anak jadi lebih dekat. Semoga kita bisa menjadi orang tua yang terus berkesadaran dalam mengasuh anak-anak kita sebagai wujud pertanggungjawaban atas amanah yang diberikan oleh Allah SWT.

Nadia Niza, MT PDA Kudus

Exit mobile version