Tragedi Penjara dan HAM
Oleh : Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum
Peristiwa kebakaran yang terjadi pada lembaga pemasyarakatan (Lapas) kelas I di Tanggerang menyisakan sejumlah persoalan. Bagaimana tidak, selain menelan korban yang tidak sedikit yakni mencapai 46 orang dengan rincian 41 orang tewas saat kebakaran dan 5 orang lainnya meninggal saat perawatan, ternyata kebakaran tersebut malah membuka kotak Pandora terkait pemasalahan kelebihan kapasitas penghuni jeruji besi. Tak tanggung-tanggung jumlah kelebihan kapasitas pada lapas tanggerang tersebut hingga 400 persen. Penghuni lapas didominasi oleh kasus penyalahgunaan narkotika yang mencapai hingga 50 persen dari total kapasitas lapas.
Kelebihan kapasitas penghuni lapas memang bukanlah sesuatu yang tabu untuk ditemukan di Indonesia. Tidak hanya di tanggerang, kelebihan kapasitas juga dapat ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia seperti Lapas Bagan Siapi-Api Riau dengan persentase 814 persen, kemudian disusul oleh Lapas Teluk Kuantan Riau, Lapas Bireun, Lapas Idi, Lapas Lhoksukon, Lapas Kutacane Aceh dll (Sumber Data Ditjen Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM per 10 September 2021). Kelebihan kapasitas tersebut juga didominasi oleh penghuni yang terjerat kasus penyalahgunaan narkotika.
Fenomena tersebut berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Belanda yang notabene adalah negara yang “memaksakan” paradigma hukum pidananya di Indonesia melalui kolonialisme, dimana setiap tahun terjadi penurunan angka kejahatan sebanyak 0,9%, sehingga pada tahun 2016 memaksa Belanda harus menutup 5 (lima) Lapas yang berakibat pada pemecatan terhadap 1.900 karyawan Lapas bahkan salah satu penjara paling keras di Belanda yaitu Het Arresthuis di Roermond, dekat perbatasan dengan Jerman kini sudah diubah menjadi hotel mewah. Kementerian Hukum Belanda menjelaskan bahwa sistem hukum Belanda lebih fokus untuk tidak mendakwa kejahatan yang tidak menyebabkan korban, rehabilitasi, vonis pendek, program keterampilan, dan pembauran kembali dengan masyarakat. Hal tersebut mengundang tanya, bagaimana sebenarnya sistem pemidanaan di Indonesia, apakah penjara menjadi solusi dalam menghukum pelaku kejahatan? Bukankah tujuan pemidanaan itu untuk membina lantas mengapa berakhir binasa?
Persoalan terbakarnya lapas dan kelebihan kapasitas penghuni penjara menunjukkan pemenuhan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) hanya ‘dipandang’ sebelah mata, padahal sebagai negara hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, perlindungan HAM merupakan tujuan dari adanya negara hukum tersebut, tanpa diskriminasi walau terhadap penghuni penjara sekalipun.
Konsep Pemidanaan
Pancasila sebagai philosophie grondlags dari Bangsa Indonesia tentunya memiliki view yang berbeda dalam memandang seorang manusia Indonesia, bahkan manusia pada umumnya. Perlu diakui bahwa kemunculan Pancasila tidak dalam kenihilan, namun mendapat pengaruh dari berbagai macam pemikiran. Namun demikian, sebagai bagian dari filsafat timur, posisi intuisi dalam metode pemahaman terhadap sifat kemanusiaan menjadikan Pancasila sebagai suatu model falsafah yang bersifat filosofisdogmatis-teologis. Sebagai suatu filsafat, objek kajian Pancasila adalah manusia Indonesia.
Ketika berbicara mengenai pandangan Pancasila terhadap manusia, maka hakikatnya tidak akan terlepas dari pendapat Notonagoro yang menjelaskan bahwa manusia Indonesia adalah makhluk monopluralis, yaitu pertama, berdasarkan kedudukan kodrat manusia Indonesia yang terdiri dari makhluk pribadi berdiri sendiri sekaligus sebagai makhluk Tuhan; kedua, berdasarkan susunan kodrat manusia Indonesia yang terdiri dari unsur raga dan unsur jiwa; ketiga, berdsarkan sifat kodrat manusia Indonesia, yang terdiri dari unsur individual dan unsur sosial.
Al Qur’an telah menawarkan konsep pemidanaan yakni qishash-diyat yang dapat diterapkan sebagai solusi atas permasalahan kelebihan kapasitas lapas, hal itu dapat dilihat dalam Surah Al Baqarah ayat 178 yang artinya sebagai berikut: “Maka barangsiapa yang mendapat suatu permaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula.” Pengaturan lebih lanjut dapat dikaji melalui Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 92: “dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Esensi dari pemidanaan adalah hukuman-hukuman dan hal itu telah diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Pasal 10 sampai 43. Hukuman yang tertinggi dan terberat adalah hukuman mati. Hari ini, tentang hukuman mati menjadi perdebatan apakah masih diperlukan atau dihapuskan. Alasan menghapuskan sebagian besar mendalilkan bertentangan dengan dogma agama, padahal hukum Prancis yang dikonkordansi di Belanda serta berlaku di Indonesia dengan tegas menyatakan hukuman mati itu. Oleh karena itu, hampir dapat dipastikan bahwa hukum islam mengilhami/inspirasi/sumber code napoleon (code penal/WvS) sebab diberbagai literarur tidak disebutkan hal itu bersumber dari hukum islam bahkan ada yang menyatakan bersumber dari Romawi kuno dan gereja kanonik, padahal kedua sumber ini menihilkan bahkan menolak hukuman mati yang sekarang disebut sebagai dogma. Oleh karena itu, hukuman mati harus dan wajib dipertahankan dalam norma namun harus selektif dan hanya untuk kejahatan luar biasa saja hal itu dikenakan.
Sistem pemidanaan Indonesia menurut Pasal 10 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) telah memiliki instrumen yang sekilas mirip dengan Al-Qur’an yakni dengan dikenalnya pidana mati dan diyat pada sistem hukum Islam. Keduanya merupakan bentuk pidana yang tidak dikenal pada umumnya di kawasan eropa. Perbedaannya adalah penerapan sistem pemidanaan di Indonesia, penerapan pidana denda bersifat kumulatif dengan pidana penjara. Dijatuhkannya vonis pidana denda tidak menghilangkan kewajiban pidana penjara. Sedangkan pada diyat, baru dapat diterapkan ketika pihak yang merasa dirugikan memberikan kata maaf, maka pidana penjara tidak layak lagi untuk diterapkan kepada si pelaku tindak pidana.
Lapas menjadi hilir dari sistem peradilan pidana terpadu yang menurut Pasal 1 ayat (3) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman). Jika dipandang dari filosofinya, terdapat aliran yang menjadi dasar dari teori lembaga pemasyarakatan yakni, aliran yang dipelopori oleh Casare Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928) dan Raffaele Garofalo (1852-1934), aliran positive yang beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya, karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis maupun faktor lingkungan. Maka pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan (treatment) untuk re-sosialisasi dan perbaikan si pelaku. Selaras dengan pemaparan tersebut, Gerber dan Mc Anany menyatakan bahwa, munculnya paham rehabilitasionis dalam pemidanaan, sejalan dengan gerakan reformasi penjara. Aliran ini berusaha memperjelas dan melahirkan dorongan untuk memperbaiki pelaku kejahatan sebagai tema sentral dalam menyampingkan semua tujuan lain dari pemidanaan.
Penutup
Pandemi covid-19 harusnya menjadi momentum mengurangi jumlah tahanan dalam lapas seperti yang dilakukan pada tahap awal pandemi itu terjadi. Akan tetapi tak dapat dipungkiri dengan alasan tersebutlah membuka ruang ‘diskrimanasi’ para tahanan. Tragedi kebakaran di penjara menunjukkan ‘alter ego’ wajah jeruji besi di Indonesia yang kontrakdiktif yakni bertujuan untuk membina dan berpeluang ‘membinasakan’ penghuninya menjadi masalah yang harus diselesaikan. Penetapan sanksi dalam suatu perundang-undangan pidana bukanlah sekedar masalah teknis perundang-undangan semata, melainkan ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari substansi atau materi perundang-undangan itu sendiri, artinya, masalah penalisasi, depenalisasi, kriminalisasi dan dekriminalisasi harus dipahami secara komprehensif dengan segala aspek persoalan substansi atau materi perundang-undangan pada tahap kebijakan legislasi.
Bahwa implikasi Kementerian Hukum dan HAM sebagai institusi yang membawahi hilir lapas dan hulu menjadikan faktor HAM wajib tak sekedar harus dijunjung tinggi sesuai dengan Pancasila Sila1 dan 2 juga Pasal 28 UUD NRI 1945. Kegagalan negara mencegah (preemtif dan preventif) terhadap semua kejahatan membuat kejahatan malah tumbuh dan bahkan beberapa tindak pidana tertentu sudah kategori lampu merah seperti, narkoba, korupsi. Begitu pula terhadap kejahatan teorisme dan kejahatan jalanan yang terkesan berbeda perlakuan terkesan ‘sadistis’ serta sering mengimbanginya dengan sebutan terukur dan tegas, main tembak, malahan tak jarang ditemukan orang yang akan diperiksa dan ditangkap sudah menjadi mayat, sementara untuk kejahatan korupsi, HAM mereka sangat diperhatikan. Seharusnya Presiden memberi penjelasan tentang hal itu.
Secara kelembagaan harus segera dibenahi dan dibangunnya penjara-penjara baru dalam rangka mewujudkan fungsi negara, membuktikan negara hukum sekaligus komitmen terhadap HAM dengan memaksimalkan pencegahan (pre-emtive dan preventif) sebab penghukuman itu adalah pilihan terakhir (ultimum remedium).
Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum
Doktor Hukum dengan Pujian (Summa Cumlaude) dari USU, Wakil Ketua Hukum dan HAM PWM Sumut