YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – PP IPM bersama GreenFaith, Kader Hijau Muhammadiyah, dan Rumah Baca Komunitas melangsungkan diskusi publik bertajuk Voicing the Voiceless dengan tema “Bagaimana Kaum Milenial Menuntut Energi Bersih untuk Bumi” pada hari Rabu (13/10/2021). Diskusi tersebut dilaksanakan secara daring melalui Zoom Meeting.
Diskusi ini menjadi menarik mengingat beberapa waktu lalu terdapat gelombang protes di seluruh dunia atas isu Climate Change. Bermula dari seorang anak bernama Greta Thunberg membolos dari sekolah demi melakukan protes (School Strike for Climate) di depan gedung parlemen Swedia. “Kenapa aku harus belajar untuk masa depan yang mungkin tidak ada lagi, ketika tidak ada satu orang pun yang bergerak untuk menyelamatkan masa depan?” tutur Greta Thunberg dalam salah satu pidatonya. Pidato ini yang kemudian menjadi geraka Fridays for Future dan meluas menjadi gerakan massa rakyat dunia atas isu yang sama, yakni perubahan iklim.
Diskusi Publik Voicing the Voiceless ini menghadirkan beberapa narasumber, di antaranya ialah Prof. Dr. H. Abdul Mu’ti, M.Ed. selaku Sekretaris Umum PP Muhammadiyah dan Nana Firman selaku aktivis GreenFaith International Network. Diskusi dibuka oleh sambutan Nashir Efendi selaku Ketua Umum PP IPM, “Jangankan berharap untuk mendapatkan energi terbarukan, masih banyak daerah yang tidak menikmati persebaran enegri pokok seperti listrik, dll,” tutur Nashir Efendi.
Muhammadiyah secara organisasi membuktikan keseriusannya dalam melakukan penanganan terhadap isu krisis energi, pemanasan global, dan perubahan iklim. “Bagaimana dunia mengalami krisis energi dan krisis air secara serius. Muhammadiyah untuk pertama kali melakukan judicial review terhadap UU Migas karena Muhammadiyah menilai undang-undang tersebut berperan besar dalam pengrusakan lingkungan di Indonesia. Namun hingga kini belum ada tanggapan baik dari pihak terkait mengenai judicial review yang dilakukan oleh Pesyarikatan,” tutur Abdul Mu’ti.
“Berdasarkan atas pertimbangan yang arahnya konsen pada dampak buruk daripada migas. Penambangan dan perkebunan memberi dampak kerusakan yang sangat besar bagi masalah ekosistem, global warming, dan climate change. Terlebih lagi Indonesia menjadi sorotan di mata dunia karena Indonesia memiliki hutan tropis sebagai paru-paru dunia. Indonesia diprotes oleh beberapa negara terkait kebijakan perkebunan dan pertambangan yang mengalihhfungsikan hutan menjadi lahan-lahan sawit, pertambangan, dan perkebunan lainnya” tambah Abdul Mu’ti.
Nana Firman selaku pemateri kedua mengajak masyarakat, khususnya anak muda (red: peserta diskusi) untuk senantiasa melambungkan penolakan terhadap agenda-agenda negara dan/atau perusahaan yang akan semakin memperparah kerusakan lingkungan di Indonesia. Karena menurut beliau persoalan menolak perusakan lingkungan bukanlah tugas individu maupun salah satu organisasi, melainkan tugas bersama untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, yakni tempat tinggal yang nyaman. (syauqi)