YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah -Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah mengadakan Pengajian Tarjih Muhammadiyah edisi #144 dengan mengangkat tema“Memahami Kembali Makna Ar-Ruju’ Ila Al-Qur’an Wa As-Sunnah” pada Rabu (13/10) secara live melalui chanel youtube Tarjih Chanel. Dr.Hm. Khaeruddin Hamsin, Lc. LLM. selaku Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah sebagai narasumber.
Dr. Hm, Khaeruddin Hamsin mengatakan bahwa memahami kembali makna ar-ruju’ ila al-Qur’an wa as-sunnah di Muhammadiyah itu bukan sesuatu yang baru, jika kita melihat kembali bahwa sejak awal memang Muhammadiyah telah mengusung slogan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
“Salahkah slogan kembali ke Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam Muhammadiyah?” Menurutnya bukan suatu kesalahan, karena anjuran perintah Rasulullah Saw memang mestinya kita kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan yang kedua karena Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan tajdid, bahwa dalam tajdid tersebut Muhammadiyah seharusnya kembali ke Al-Qur’an dan As-Sunnah karena ketika kita kaji bahwa tidak ada gerakan pemberharuan yang tidak mengusung slogan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Seperti pada pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan Anggaran Dasar Muhammadiyah yang telah dikutip di atas dengan menyatakan bahwa “Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid, bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah”.
Khaeruddin pun menyampaikan bahwa Muhammadiyah kembali bukan sekedar slogan namun memang menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah itu sebagai sumber utama dalam segala persoalan-persoalan keagamaannya yang mungkin perlu diperhatikan.
“Seperti Majelis Tarjih, itu adalah satu lembaga yang tentu berbeda dengan tarjih yang ada dalam usul fikih, kalau tarjih dalam usul fikih yang menurut ar razi adalah menguatkan salah satu dalil atas dalil yang lain sehingga diketahui mana yang kuat lalu diamalkan yang lebih kuat dan ditinggalkan yang tidak kuat,” tuturnya.
Beliaupun menambahkan bahwa di dalam Muhammadiyah tidak seperti itu pemahamannya, tarjih yang melakukan persuatu kajian dalam persoalan-persoalan keagamaan itu memaknai tarjih dengan diperluas pemakaiannya. Sehingga meliputi evaluasi berbagai pendapat fikih yang sudah ada mengenai masalah untuk menentukan yang mana yang lebih dekat kepada semangat Al-Qur’an dan As-Sunnah dan mana yang lebih maslahat untuk diterima. Dan bawasanya tarjih itu merupakan lembaga yang mengkaji persoalan-persoalan melalui ijtihad atau upaya yang keras untuk menemukan kesimpulan-kesimpulan hukum.
“Mengapa Muhammadiyah harus beritijhad?” dalam hal ini beliau menyampaikan bahwa adanya masalah dalam pemaknaan Nas yang tidak cukup dengan mengetahui arti lafaz semata. Berarti Al-Qur’an dan As-Sunnah memerlukan pikiran, tidak sekedar hanya mengambil lafadz-lafadz dalam Al-Qur’an dan yang ada di dalam hadist, lantas itu dijadikan sebagai suatu keputusan keagamaan. Namun kita menyadari jika kita kembali pada Nas yang dijadikan sumber rujukan tanpa didasari dengan perangkat keilmuan yang seharusnya. (iza)