Bagaimana Pandangan Muhammadiyah tentang Syiah, HTI, dan Tarekat Shiddiqiyyah?

Pandangan Muhammadiyah tentang Syiah, HTI, dan Tarekat Shiddiqiyyah

Pertanyaan:

Bagaimana pandangan Muhammadiyah terhadap aliran Syiah, HTI dan Tarekat Sdiddiqiyyah. Mohon pencerahannya.

Akhmad Musofah, di Batam (Disidangkan pada Jum‘at, 2 Jumadilakhir 1442 H / 15 Januari 2021 M)

Jawaban:

Terima kasih atas pertanyaan yang diajukan. Untuk menjawab pertanyaan saudara, jawaban akan kami bagi dalam tiga bagian.

Syiah

Berbicara tentang pandangan Muhammadiyah terkait Syiah, penting untuk diketahui makna dari kata Syiah secara bahasa hingga ia menjadi satu istilah yang merujuk pada kelompok tertentu.

Secara harfiah atau literal, kata “syiah” dapat ditemukan di dalam kamus-kamus bahasa Arab. Selain itu kata ini juga digunakan di dalam al-Qur’an dan hadis. Menurut Ibnu al-Jauzi kata Syiah berserta derivasinya mengandung setidaknya empat makna berdasarkan konteksnya masing-masing. Pertama, Syiah berarti adalah kelompok yang berpecah-pecah atau firaq; kedua, Syiah yang berarti keluarga dan keturunan [Q.S. al-Qashash (28): 15]; ketiga, Syiah bermakna pemeluk agama atau umat (ahl al-millah) [Q.S. Maryam (19): 69]; dan keempat, Syiah yang memiliki arti aneka ragam tendensi keliru (al-ahwa’ al-mukhtalifah) [Q.S. al-An‘am (6): 65].

Dalam hadis, kata Syiah juga secara umum bermakna pengikut. Ini misalnya tampak dari hadis berikut ini,

عَنْ مِقْسَمٍ أَبِي الْقَاسِمِ مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ نَوْفَلٍ قَالَ خَرَجْتُ أَنَا وَتَلِيدُ بْنُ كِلَابٍ اللَّيْثِيُّ حَتَّى أَتَيْنَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ وَهُوَ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ مُعَلِّقًا نَعْلَيْهِ بِيَدِهِ فَقُلْنَا لَهُ هَلْ حَضَرْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ يُكَلِّمُهُ التَّمِيمِيُّ يَوْمَ حُنَيْنٍ قَالَ نَعَمْ أَقْبَلَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ يُقَالُ لَهُ ذُو الْخُوَيْصِرَةِ فَوَقَفَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُعْطِي النَّاسَ قَالَ يَا مُحَمَّدُ قَدْ رَأَيْتَ مَا صَنَعْتَ فِي هَذَا الْيَوْمِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجَلْ فَكَيْفَ رَأَيْتَ قَالَ لَمْ أَرَكَ عَدَلْتَ قَالَ فَغَضِبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ وَيْحَكَ إِنْ لَمْ يَكُنْ الْعَدْلُ عِنْدِي فَعِنْدَ مَنْ يَكُونُ فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نَقْتُلُهُ قَالَ لَا دَعُوهُ فَإِنَّهُ سَيَكُونُ لَهُ شِيعَةٌ يَتَعَمَّقُونَ فِي الدِّينِ حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهُ كَمَا يَخْرُجُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ يُنْظَرُ فِي النَّصْلِ فَلَا يُوجَدُ شَيْءٌ ثُمَّ فِي الْقِدْحِ فَلَا يُوجَدُ شَيْءٌ ثُمَّ فِي الْفُوقِ فَلَا يُوجَدُ شَيْءٌ سَبَقَ الْفَرْثَ وَالدَّمَ قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ أَبُو عُبَيْدَةَ هَذَا اسْمُهُ مُحَمَّدٌ ثِقَةٌ وَأَخُوهُ سَلَمَةُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَمَّارٍ لَمْ يَرْوِ عَنْهُ إِلَّا عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ وَلَا نَعْلَمُ خَبَرَهُ وَمِقْسَمٌ لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ وَلِهَذَا الْحَدِيثِ طُرُقٌ فِي هَذَا الْمَعْنَى وَطُرُقٌ أُخَرُ فِي هَذَا الْمَعْنَى صِحَاحٌ وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ.

Dari Miqsam Abu al-Qasim, budak Abdullah bin al-Harits bin Naufal, dia berkata: Aku keluar bersama Talid bin Kilab al-Laitsi hingga kami mendatangi ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash yang ketika itu sedang tawaf di Baitullah dengan menenteng kedua sandal di tangannya, lalu kami berkata kepadanya: Apakah kamu hadir saat Rasulullah saw diajak bicara oleh al-Tamimi pada perang Hunain? Ia lantas menjawab: Ya, ketika itu ada seorang lelaki dari bani Tamim yang biasa dipanggil Dzu al-Khuwaishirah datang dan berdiri di depan Rasulullah saw yang saat itu sedang memberikan sesuatu kepada orang-orang, kemudian dia (Dzu al-Khuwaishirah) berkata: Wahai Muhammad, apa kamu melihat apa yang telah kamu perbuat pada hari ini?

Rasulullah saw menjawab: Ya, lalu apa yang kamu lihat? Ia menjawab: Aku tidak melihatmu berlaku adil. Dia (‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash) lalu berkata: Rasulullah saw pun marah mendengar pernyataannya itu seraya berkata: Celakalah kamu, jika keadilan tidak ada pada diriku, lalu ada pada siapa? Kemudian ‘Umar bin al-Khatab berkata: Wahai Rasulullah, tidakkah lebih baik kita membunuhnya saja? Beliau menjawab: Tidak, biarkanlah ia, sebab sungguh ia akan mempunyai sebuah kelompok yang terlalu mendalam dalam urusan agama hingga mereka keluar daripadanya sebagaimana anak panah keluar dari busurnya, ia dicari-cari di bagian depannya tidak ada, di bagian tengahnya juga tidak ada, dan di bagian belakangnya juga tidak ada, dan ternyata ia telah meluncur menembus ulu hati dan mengucurkan darah segar [H.R. Ahmad].

Menurut Ibnu Manzhur dalam Lisan al-‘Arab, salah satu makna Syiah secara bahasa adalah pengikut dan pembela seseorang. Sejalan dengan Ibnu al-Manzhur, Raghib al-Ashfahani mendefinisikan Syiah sebagai pendukung yang aktifitasnya memperkuat dan menyebarkan pengaruh seseorang (man yataqawwa bihim al-insan wa yantasyiruna ‘anhu).

Makna di atas adalah makna Syiah secara bahasa. Dalam perkembangannya kata Syiah ini kemudian merujuk pada kelompok tertentu, yaitu mereka para Sahabat Nabi yang berpihak kepada, mendukung, dan setia berjuang bersama Ali bin Abi Thalib tatkala dan selama pertikaian berlangsung pasca wafatnya Khalifah Utsman bin ‘Affan. Setelah itu, dalam perjalanannya lagi, kata Syiah mengalami pergeseran makna, yaitu menjadi makna yang menunjuk pada keyakinan (akidah), cara pandang menyeluruh (worldview), pola pikir (mindset) dan kerangka berpikir (intellectual framework) yang memengaruhi penerimaan atau penolakan seseorang terhadap suatu informasi, menentukan pemahaman, dan mewarnai penafsiran orang terhadap fakta dan peristiwa. Pada titik ini, Syiah tidak hanya satu macam saja, akan tetapi telah bermetamorfosis menjadi berbagai macam sekte. Oleh karenanya, dalam sejarah Islam hingga hari ini kita mengenal banyak sekte Syiah, seperti Syiah Kaisaniyyah, Syiah Imamiyyah (Rafidhah), Syiah Ghulat, Syiah Ismailiyyah, Syiah Zaidiyyah, dan lain sebagainya.

Dari penjelasan di atas, tampak bahwa Syiah memiliki ragam yang berbeda-beda dan tidak hanya satu jenis. Berkaitan dengan Syiah ini, dalam pandangan Muhamamdiyah, ada beberapa kriteria yang menjadi tolok ukur suatu paham telah keluar dari koridor Islam atau belum. Tolok ukur tersebut adalah: pertama, Muhammadiyah meyakini bahwa hanya Nabi Muhammad yang memiliki predikat maksum; kedua, Muhammadiyah meyakini bahwa Nabi Muhammad tidak menunjuk siapa pun pengganti beliau sebagai Khalifah. Kekhalifahan setelah beliau diserahkan kepada musyawarah umat, sehingga kekhalifahan Abu Bakar, ‘Umar bin Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib adalah sah; ketiga, Muhammadiyah menghormati Sahabat Ali bin Abi Thalib sebagaimana Sahabat-sahabat Nabi yang lain, tetapi Muhammadiyah tidak mengkultuskan salah satu atau lebih dari Sahabat; keempat, Muhammadiyah menerima al-Sunnah al-Maqbulah sebagai salah satu sumber ajaran Islam, selain al-Qur’an, dan tidak terbatas pada hadis-hadis yang melalui jalur Ahlul Bait.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa apabila ada orang atau kelompok yang tidak sesuai dengan tolok ukur di atas, maka orang atau kelompok itu telah berbeda dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang dipahami oleh Muhammadiyah.

Namun demikian perlu diketahui juga bahwa Muhammadiyah dalam Muktamar ke-47 di Makassar tahun 2015 lalu telah mengeluarkan beberapa rekomendasi penting terkait beberapa isu penting. Di antaranya Muhammadiyah mendorong adanya dialog intensif antara Sunni-Syiah untuk meningkatkan komitmen “saling memahami persamaan dan perbedaan, komitmen untuk memperkuat persamaan dan menghormati perbedaan, serta membangun kesadaran historis bahwa selain konflik, kaum Sunni dan Syiah memiliki sejarah kohabitasi dan kerjasama yang konstruktif dalam membangun peradaban Islam.” Rekomendasi ini menegaskan bahwa meskipun ada perbedaan mendasar dan prinsipil antara Suni dan Syiah bukan berarti pintu dialog telah tertutup. Dalam hal ini Muhammadiyah justru mendorong adanya dialog intensif antara keduanya.

HTI

HTI atau Hizbut Tahrir Indonesia adalah kepanjangan tangan dari Hizbut Tahrir yang didirikan oleh Taqiyuddin al-Nabhani di Palestina tahun 1953. Keduanya memiliki visi dan ideolagi politik yang sama, yaitu penegakan sistem khilafah Islamiyah. Bagi mereka, khilafah merupakan satu-satunya sistem politik yang legitimated dan sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Karenanya, sistem politik selain khilafah dianggap sebagai sistem yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Selain mengampanyekan khilafah, HTI secara khusus dan Hizbut Tahrir pada umumnya tidak mengakui tasawuf sebagai ajaran Islam. Menurut mereka, tasawuf berasal dari India dan bukan murni berasal dari Islam. Selain itu, mereka juga menolak segala ideologi terutama yang berasal dari luar Islam, seperti demokrasi, kapitalisme, sosialisme, dan lain sebagainya. Selain itu HTI juga dianggap hanya mengakui hadis mutawatir, dan menolak hadis ahad karena menurut mereka hanya menghasilkan pengetahuan yang bersifat zhan – tidak qath’i.

Dari beberapa prinsip ajaran HTI di atas, tampak ada beberapa perbedaan mendasar dengan Muhammadiyah. Terkait tasawuf yang ditolak oleh HTI, oleh Muhammadiyah tidak semua tasawuf itu ditolak. Penjelasan terkait tasawuf ini akan lebih rinci dibahas di bagian setelah ini (di bagian Tarekat Shiddiqiyyah).

Adapun dalam persoalan politik kenegaraan, Muhammadiyah telah memiliki sikap tersendiri. Dalam Muktamar yang ke-47 di Makassar, Muhammadiyah telah memutuskan bahwa Negara Pancasila (Republik Indonesia) sebagai Dar al-‘Ahdi wa al-Syahadah. Artinya, Negara Pancasila merupakan hasil  konsensus nasional (dar al-‘ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al-salam). Negara ideal yang dicita-citakan Islam adalah negara yang diberkahi Allah karena penduduknya beriman dan bertaqwa [Q.S. al-A’raf (7): 96], beribadah dan memakmurkannya [Q.S. al-Dzariyat (51): 56; Hud: 61], menjalankan fungsi kekhalifahan dan tidak membuat kerusakan di dalamnya [Q.S. al-Baqarah (2): 11, 30], memiliki relasi hubungan dengan Allah (hablun min Allah) dan dengan sesama (hablun min al-nas) yang harmonis [Q.S. Ali ‘Imran (3): 112], mengembangkan pergaulan antarkomponen bangsa dan kemanusiaan yang setara dan berkualitas taqwa [Q.S. al-Hujarat (49): 13], serta menjadi bangsa unggulan bermartabat (khairu ummah) [Q.S. Ali ‘Imran (3): 110].

Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia adalah ideologi negara yang mengikat seluruh rakyat dan komponen bangsa. Pancasila bukan agama, tetapi substansinya mengandung dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa Pancasila itu Islami karena substansi pada setiap silanya selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam Pancasila terkandung ciri keislaman dan keindonesiaan yang memadukan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan (humanisme religius), hubungan individu dan masyarakat, kerakyatan dan permusyawaratan, serta keadilan dan kemakmuran (Lihat selengkapnya Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah Ke-47).

Terkait penerimaan hadis sebagai sumber ajaran, Muhammadiyah dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah menerangkan bahwa hadis yang dapat diterima adalah al-sunnah al-maqbulah. Al-Sunnah al-Maqbulah ini apabila dirinci adalah hadis shahih li-dzatihi, shahih li-ghairihi, hasan li-dzatihi, dan hasan li-ghairihi. Artinya, menurut Muhammadiyah, tidak hanya hadis mutawatir yang dapat dijadikan dasar argumentasi. Hadis ahad ketika sanad dan matannya maqbul, maka ia juga dapat dijadikan hujjah.

Selain hal-hal di atas, perbedaan lain antara Muhammadiyah dan HTI dalam praktik keagamaan adalah terkait dengan penggunaan hisab/rukyat dalam penentuan awal bulan hijriah. Muhammadiyah memedomani hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal yang saat ini sedang berupaya beranjak kepada konsep kalender hijriah internasional, sementara HTI memedomani konsep atau kriteria rukyat global, yaitu apabila di muka bumi ini ada satu tempat yang berhasil rukyat, maka seluruh dunia sudah masuk bulan baru.

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa ada beberapa perbedaan sikap dan pandangan keagamaan antara Muhammadiyah dan HTI, antara lain dalam memandang tasawuf, politik kenegaraan, dan hadis sebagai sumber ajaran Islam serta dalam praktik penentuan awal bulan Hijriah.

Tarekat Shiddiqiyah

Tarekat memiliki arti jalan, cara, metode, sistem, mazhab, aliran, haluan, keadaan dan atau tiang tempat berlabuh. Menurut istilah tasawuf, tarekat berarti perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan diri yang harus ditempuh oleh seseorang untuk dapat mendapatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Sebagai jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, orang yang melakukan tarekat tidak dibenarkan meninggalkan syariat, bahkan pelaksanaan tarekat merupakan pelaksanaan syariat agama.

Agar dapat melaksanakan tarekat dengan baik, seorang murid hendaknya mengikuti jejak dan melaksanakan perintah serta anjuran yang diberikan mursyid (guru)nya. Ia tidak boleh mencari-cari keringanan dalam melaksanakan amaliah yang sudah ditetapkan, dan dengan segala kekuatannya ia harus mengekang hawa nafsunya untuk menghindari dosa dan noda yang dapat merusak amal. Ia juga harus memperbanyak zikir, wirid dan doa, serta memanfaatkan waktu seefektif dan seefisien mungkin. Untuk tidak melanggar hukum-hukum agama, murid harus belajar ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat.

Biasanya untuk melaksanakan aktivitas tarekat secara baik, pengikut tarekat dimasukkan ke sebuah tempat khusus yang dinamakan ribat (tempat belajar), zawiyat (tempat ibadah kaum sufi) atau khandaq. Di tempat inilah amaliah tarekat dilaksanakan, baik berupa zikir, ratib, pembacaan wirid-wirid atau syair-syair tertentu yang diiringi dengan bunyi-bunyian seperti rebana dan melakukan gerakan-gerakan menari mengiringi wirid yang dibaca, maupun berupa pengaturan nafas yang berisi zikir tertentu.

Tarekat banyak muncul pada abad keenam dan ketujuh Hijriah, ketika tasawuf menempati posisi penting dalam kehidupan umat Islam dan dijadikan sebagai filsafat hidup. Pada periode ini tasawuf memiliki aturan-aturan, prinsip, dan sistem khusus, sedangkan sebelumnya, tasawuf dipraktikkan secara individual di sana-sini tanpa adanya ikatan satu sama lain. Dalam perkembangan selanjutnya, tarekat menjadi semacam organisasi atau perguruan, dan kegiatannya pun semakin meluas, tidak terbatas hanya kepada zikir dan wirid atau amalan-amalan tertentu saja, tetapi juga pada masalah-masalah lain yang bersifat duniawi (Bisri M Djaelani, Enslikopedi Islam, Panji Pustaka Yogyakarta, cetakan pertama, juni 2007, Hlm. 391-392).

Tarekat terbelah menjadi beberapa golongan, di antaranya: Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Khalwatiyah, Tarekat Sammaniyah, Tarekat Tijaniyyah, Tarekat Qadiriyah, Tarekat Shiddiqiyah dan lain-lain. Tarekat Shiddiqiyah merupakan satu-satunya dari 46 tarekat yang berkembang di dunia, yang berpusat di Indonesia, yaitu di desa Losari Kecamatan Ploso Kabupaten Jombang Jawa Timur. Tarekat ini sesungguhnya pernah muncul di beberapa negara, akan tetapi kemudian hilang. Hanya di Jombang itulah satu-satunya kelompok tarekat yang masih tersisa dan eksis hingga hari ini. Nama tarekat ini (yaitu Shiddiqiyah), menurut mursyidnya yaitu Kyai Muchtar Mu‘thi, dinisbatkan kepada Abu Bakar al-Shidiq.

Tarekat Shiddiqiyyah berkembang melalui 3 fase, yaitu: (1) fase perjuangan (pertumbuhan kembali setelah masa vakum); (2) fase perkembangan pertama; dan (3) fase perkembangan kedua. Fase pertama, yaitu fase perjuangan dimulai pada sekitar tahun 1959-1969. Pada fase ini Shiddiqiyyah diibaratkan sebagai perahu yang tenggelam lama di lautan sampai dilupakan oleh yang empunya dan orang-orang yang merawatnya. Fase ini Kyai Muchtar menyosialisasikan ajaran Shiddiqiyyah kepada orang-orang yang berada di sekelilingnya dan sekaligus mereka yang mau menjadi muridnya.

Adapun fase kedua, yaitu fase perkembangan pertama, diawali sekitar tahun 1970-1999. Pada fase ini, murid-murid sang guru Shiddiqiyyah, yang sudah menjadi mursyid tarekat juga, sudah dapat membantu dalam memperjuangkan Shiddiqiyyah secara gigih. Pada fase ini, mursyid mengangkat murid-murid Shiddiqiyyah yang sudah mumpuni dan cakap keilmuan lahir dan batinnya diangkat sebagai khalifah-khalifah yang bertugas membantu mursyid dalam berbagai hal terkait dengan pengajaran dan pendidikan Shiddiqiyyah, terutama menyosilisasikan dan membangun opini publik tentang Shiddiqiyyah kepada masyarakat. Khalifah-khalifah yang diangkat diperintahkan untuk mengajarkan Shiddiqiyyah di berbagai wilayah baik di Jombang dan di luar Jombang, sehingga dengan cara ini maka Shiddiqiyyah dapat diikuti oleh calon-calon murid di berbagai wilayah di Jawa dan bahkan di seluruh Indonesia. Dalam fase ini, murid-murid Shiddiqiyyah berasal dari berbagai manca daerah, misalnya Lamongan, Surabaya, Jember, Madiun, Yogyakarta, Jakarta dan lain-lain.

Selanjutnya, fase ketiga, yaitu fase perkembangan kedua dari tarekat ini dimulai sejak tahun 2000. Pada fase ini Tarekat Shiddiqiyyah, sebagai doktrin spiritual merasa perlu untuk lebih mengoordinasikan antar anggotanya, sehingga pada tanggal 30 Rajab tahun 1422 H/ 25 Maret 2000 M didirikan Organisasi Shiddiqiyah (ORSHID) yang dijiwai manunggalnya keimanan dan kemanusiaan. Organisasi ini bertujuan untuk menjembatani dan memfasilitasi gerak perjuangan para anggota tarekat tersebut.

Beberapa ajaran pokok dari tarekat Shiddiqiyah ini adalah: (1) doktrin teosofi, dan (2) pandangan tentang manusia dan kebangsaan. Doktrin teosofi yang dimaksud di sini adalah konsep yang menggambarkan kebijaksanaan ketuhanan terkait dengan upaya manusia untuk membangun hubungan yang harmonis dengan tuhannya. Dengan demikian, dalam konteks ini menurut tarekat Shiddiqiyah, manusia memerlukan seperangkat pemahaman dan pengetahuan terkait dengan dirinya sendiri sebagai hamba, alam sebagai tempat manusia berada serta Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Mencipta. Lebih lanjut teosofi  mengarahkan sebuah proses praktis yang memberi arah bagaimana manusia melakukan teknik-teknik mendekatkan diri pada Allah yang ditempuh dengan bentuk-bentuk ritual zikir dan sebagainya.

Pokok pangkal ajaran tarekat Shiddiqiyah adalah Lailahaillallah. Kalimat Lailahaillallah dalam perspektif tarekat ini memiliki banyak  nama, antara lain kalimat tauhid, kalimat ‘urwatul wutsqo, dan lain-lain. Kalimat Lailahaillallah yang jumlah hurufnya ada 12 ini, kemudian menurut mereka memiliki kaitan dengan kehidupan manusia, yaitu: usia manusia semalam 12 jam, usia manusia siang 12 jam, dan satu tahun ada 12 bulan. Tidak berhenti di situ, mereka kemudian mengaitkan dengan hal-hal lain yang tidak memiliki dasar argumentatif dalam nas agama (lihat selengkapnya dalam Muhammad Shodiq, Tarekat Shiddiqiyyah di Tengah Masyarakat Urban Surabaya, 2016).

Ajaran pokok kedua tarekat Shiddiqiyah tentang pandangan manusia dan kebangsaan dapat dijumpai dalam 8 Kesanggupan yang menjadi pedoman mereka. 8 Kesanggupan itu ialah: (1) Sanggup taat kepada Allah Ta’ala, bakti kepada Allah Ta’ala; (2) Sanggup taat kepada Rasulullah, bakti kepada Rasulullah; (3) Sanggup taat kepada orang tua (Ibu-Bapak); (4) Sanggup bakti kepada sesama manusia; (5) Sanggup bakti kepada Negara Republik Indonesia (untuk  warga Negara Indonesia); (6) Sanggup cinta tanah air Indonesia (untuk warga Negara Indonesia); (7) Sanggup mengamalkan tarekat Shiddiqiyyah; (8) Sanggup menghargai waktu (Selengkapnya lihat dalam Muhammad Shodiq, Tarekat Shiddiqiyyah di Tengah Masyarakat Urban Surabaya, 2016).

Dalam Muhamamdiyah, istilah tarekat hampir tidak pernah digunakan, baik sebagai landasan berpikir maupun implementasi gerakan. Hal ini karena Muhammadiyah memiliki manhaj tersendiri yang berbeda dengan tarekat pada umumnya. Sikap Muhammadiyah terkait tarekat secara umum, sesungguhnya dapat terbaca dalam fatwa tarjih yang terbit pada Majalah Suara Muhammadiyah Nomor 3 Tahun 2015. Sikap ini pada gilirannya dapat dijadikan pijakan untuk melihat tarekat Shiddiqiyyah atau tarekat-tarekat yang lain. Ketika itu ada seorang penanya yang menanyakan alasan Muhammadiyah tidak bertarekat.

Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa meskipun tujuan ibadah dari Muhammadiyah dan tarekat secara umum sama, yaitu bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun dalam praktiknya terdapat beberapa hal yang berbeda. Realisasi Muhammadiyah dalam mendekatkan diri kepada Allah dijelaskan dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) butir ke-3 dan ke-4. Dalam butir ke-3 MKCH, dijelaskan bahwa Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: (a) al-Qur’an: kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw; dan (2) Sunnah Rasul: penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.

Adapun dalam butir ke-4 MKCH, ditegaskan bahwa Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang: (a) akidah. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam; (b) akhlak. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia; (c) ibadah. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah saw, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia; dan (d) muamalah duniawiyah. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya muamalat duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah swt.

Lebih penting lagi, Muhammadiyah baru-baru ini sedang mengembangkan produk Tarjih berupa Risalah Akhlak di mana di dalamnya dibahas bagaimana posisi dan urgensi akhlak menurut Muhammadiyah. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa corak tasawuf yang diterima di Muhamamdiyah adalah tasawuf akhlaki, yang menjadikan ihsan sebagai landasan utama; bukan tasawuf dan tarekat yang mengamalkan ajaran-ajaran yang tidak memiliki dasar dalam al-Qur’an dan Sunnah.

Demikian jawaban dari kami. Semoga bermanfaat.

Wallahu alam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 14 Tahun 2021

Exit mobile version