JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengadakan Pengajian Umum dengan mengangkat tema “Keberagaman dan Nasionalisme Kaum Muda” pada hari Jum’at (15/10). Acara tersebut menghadirkan Prof. Dr. H. Syafiq A. Mughni, MA. Selaku Ketua PP Muhammadiyah dan Prof. Najib Burhani, Ph.D. selaku Wakil Ketua PP Muhammadiyah, Diyah Puspitarini, S.Pd., M.Pd. selaku Ketua Umum PP Nasyiatul Aisyiyah.
Prof. Dr. H. Syafiq A. Mughni, MA. dalam sambutannya menyampaikan bahwa Muhammadiyah telah menemukan cara yang tepat untuk menghubungkan keagamaan dengan nasionalisme ini karena adanya konsep darul ahdi wa syahadah, yang merupakan rumusan paling bagus untuk menyelesaikan semua perdebatan dan persengketaan sekitar hubungan antara agama dan negara, atau masalah keagamaan dan masalah nasionalisme.
“Sesungguhnya masalah nasionalisme pernah diperdebatkan di kalangan umat Islam karena adanya problem masalah konsep bangsa yang di dalam Al-Qur’an disebut bangsa dalam arti keras, tetapi kemudian mengalami transformasi di dalam masa modern. Maka sebuah bangsa itu tidak hanya diikat oleh darah dan keturunan tetapi diikat oleh kepentingan bersama. Sehingga jika kita melihat pada abad-abad yang lalu bahwa kecintaan kepada tanah air itu dipromosikan sehingga menjadi spirit bagi seluruh bangsa-bangsa yang ingin merdeka pada saat itu,” tambah Prof Syafiq.
Selanjutnya Prof. Najib Burhani, Ph.D. memaparkan bahwa jika kita berbicara tentang nasionalisme mungkin kita dapat merujuk kepada apa yang pernah disampaikan oleh salah satu pendiri bangsa kita yaitu Ir. Soekarno, yang dimana nasionalisme itu suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat bahwa rakyat itu satu golongan, satu “bangsa”.
“Kita memiliki tantangan-tantangan nasionalisme mulai dari kemajemukan Indonesia, kemudian konsep-konsep trans-nasionalisme diantaranya memandang konsep negara bangsa itu sebagai ‘assabiya dan menolak nation-state dan kemudian mempromosikan Khilafah, itu adalah bagian daripada tantangan daripada nasionalisme yang kalau di Muhammadiyah diantaranya sudah dijawab di darul ahdi wa syahadah,” ungkap Prof Syafiq.
Dirinya pun menjelaskan bahwa ada tantangan yang lain seperti kewarganegaraan ganda, yang artinya kewarganegaraan yang tidak hanya dibatasi oleh negara atau oleh satu warga negaraan. Dan adapun yang sering kita hadapi bersama yaitu post-truth diantaranya yang sering kita lihat seperti beberapa kejadian yang terjadi belakangan ini tentang bagaimana konsep daripada kenegaraan nasionalisme yang menolak keberadaan mereka yang berbeda.
“Generasi Milenial itu kerap digambarkan sebagai sosok dengan nilai-nilai kosmopolitan terutama karena bantuan teknologi informasi serta komunikasi yang terbuka terhadap perbedaan, meyakini nilai kemanusiaan yang universal. Mereka percaya bahwa gagasan baik yang dapat diambil dimana saja terlepas dari akar-akar primordialnya,” tambahnya.
Diyah Puspitarini, S.Pd., M.Pd. ikut menjelaskan bahwa terkait kondisi anak muda sekarang di milenial ini sangat terhubung dengan banyak dunia di berbagai negara dan tentunya sudah lintas batas dan waktu, hal ini menjadi sebuah tantangan untuk kita semua.
“Adapun lunturnya nasionalisme dikalangan anak muda itu terjadi karena modernisasi, hal ini menjadikan anak-anak muda tidak cukup akrab dengan bangsanya sendiri dan tidak cukup bangga dengan bangsanya sendiri. Kemudian tidak paham dengan pancasila dan dasar negara, ideologi negara yang bersifat dogmatis dan tidak memahami sejarah bangsa serta adanya praktis nasionalisme yang masih formalitas. Dengan begitu anak muda harus mengisi bangsa dengan karya nyata untuk mewujudkan perdamaian,” tuturnya. (iza)