YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ada yang berbeda pada acara Bedah Karya Sejarah Muhammadiyah edisi ini (15/10). Pertama, selain karena edisi ini diadakan pada Jumat malam. Kedua, tidak ada karya khusus yang didiskusikan serta, ketiga, terdapat dua pembicara yang memantik diskusi. Keduanya adalah Riswinarno, S.S., M.M., Ketua Program Studi (Kaprodi) S1 Sejarah Kebudayaan Islam, UIN Sunan Kalijaga, dan, Dr. Mutiah Amini, M.Hum selaku Kaprodi Ilmu Sejarah, Universitas Gadjah Mada.
Jalannya diskusi mengangkat tajuk “Histrografi dan Tema-Tema Kajian Sejarah Muhammadiyah di Perguruan Tinggi Negeri”. Di samping karena baru perguruan tinggi negeri yang memiliki program studi ilmu sejarah, bahasan ini harapannya bisa memantik perguruan tinggi Muhammadiyah/Aisyiyah untuk juga membuka jurusan yang sama.
Kehadiran dua pemuka akademik dari dua perguruan tinggi malam ini memberi gambaran menarik mengenai produksi karya ilmiah sejarah Muhammadiyah. Dimulai dari pemaparan Riswinarno, berdasarkan data katalog skripsi dan tesis sejak tahun 2013, terjadi peningkatan penulisan karya sejarah Muhammadiyah pada 2019. Meskipun demikian, pada tahun-tahun lainnya memang masih sedikit yang menulis sejarah Muhammadiyah.
Di antara karya-karya sarjana dan pascasarjana, tema sejarah Muhammadiyah yang paling diminati adalah ketokohan atau menuliskan biografi. Beberapa tokoh yang disoroti dalam diskusi ini seperti Haji Malik Karim Amrullah, Siti Baroroh Baried, Siti Munjiah, Siti Bariyah, Said Tuhuleley, Ahmad Syafii Maarif, serta Mas Mansur.
Menurut Riswinarno, kegemaran pada tema ketokohan ini dikarenakan mayoritas latar belakang mahasiswa UIN berangkat dari tradisi pesantren. “… hubungan guru-murid itu masih terbawa,” pungkasnya, “Bahkan, kami sampai ada moratorium untuk tidak menulis tokoh laki-laki, kiai”.
Lalu, di urutan kedua ialah tema tentang sejarah lokal Muhammadiyah. Tema umum lainnya yang ditulis para mahasiswa adalah sejarah kecil seperti, sejarah Kampung Nitikan, sekolah Muhammadiyah di suatu daerah, maupun sejarah Muhammadiyah di suatu desa. Pada urutan ketiga yang jumlahnya semakin sedikit peminat ialah tema-tema sosial-politik yang dikaitkan dengan Muhammadiyah, seperti sejarah paguyuban tukang becak, Partai Komunis Indonesia, dan isu Kristenisasi.
Pembicara kedua, Mutiah Amini, memulai dengan refleksi pada historiografi Muhammadiyah yang sudah dibangun Harry Benda, James Peacock, dan Mitsuo Nakamura yang menulis Persyarikatan sebagai institusi dan gerakan. Padahal, ada banyak aspek penting lain dari Muhammadiyah yang belum ditulis.
Mengenai karya ilmiah mahasiswa, Mutiah Amini mendapati bahwa menulis sejarah lokal Muhammadiyah adalah tema yang paling digemari, baik tingkat sarjana, pascasarjana, dan doktoral. Di bawah tema sejarah lokal, ada juga mahasiswa yang menulis sejarah pendidikan dan fasilitas kesehatan dan biografi tokoh Muhammadiyah. Salah satu yang diingat adalah karya disertasi Suwarno (almarhum), dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Berjudul “Muhammadiyah dan Masyumi di Yogyakarta, 1945-1960”.
Pada sesi diskusi, hadir pula di sana Prof. Sjafri Sairin, Guru Besar Antropologi, Universitas Gadjah Mada, dan Dr. Muhammad Sungaidi, MA. dari Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Keduanya saling berbagi ide dan pengalaman mengenai penulisan sejarah Muhammadiyah.
Akhir kata, sebagai epilog dan mengawali juga sambutan diskusi, Bu Wiwid Widyastuti mengingatkan bahwa Kongres Sejarawan Muhammadiyah akan diselenggarakan secara luring dan daring pada November. Sebelum hari H juga akan dibuka pelatihan penulisan sejarah lokal dan pembuatan pariwisata Muhammadiyah. (ykk)