Belajar Sirah Nabi Muhammad dan ‘Moral Fitness’
Oleh: Wildan dan Nurcholid Umam Kurniawan
“ Sesungguhnya tuh bahwa membangun suatu negara,
membangun ekonomi, membangun teknik,
membangun pertahanan adalah pertama-tama dan tahap utamanya
membangun jiwa bangsa ! Bukankah demikian ? Sekali lagi,
bukankah demikian ? Tentu saja keahlian adalah perlu !
Tetapi keahlian saja, tanpa dilandasi pada jiwa yang besar,
tidak akan dapat mungkin akan mencapai tujuannya.
Inilah perlunya sekali lagi mutlak perlunya
nation and character building !”
(Bung Karno, 17 Agustus 1966)
“Pengalaman adalah guru yang terbaik”, demikian kata pepatah. Namun berguru pada pengalaman orang lain juga tidak kalah baik. Apalagi berguru pada seorang Nabi yang perilakunya sangat bernilai di hadapan Tuhan maupun umat manusia. “Allah dan para malaikat memberikan rahmat kepada Nabi. Orang-orang beriman, berikanlah selawat dan salam kepadanya” (QS Al-Ahzab [33] : 56).
Menurut Shihab (2018), pakar-pakar bahasa Arab memaknai yang dimaksud dengan sirah adalah bentuk, pandangan, dan cara hidup seseorang. Bila Anda berkata: “ Dia memiliki sirah yang baik”, maka itu berarti kelakuan dan perlakuannya baik. Sejarawan memahami sirah dalam arti perjalanan hidup. Seorang penyair yang gemar sejarah berdendang : “Siapa yang menghimpun peristiwa sejarah dalam benaknya. Maka sekian usia ditambahkannya pada usianya”. Tetapi, adakah gunaya penambahan usia? Penambahan usia baru bermanfaat banyak jika penambahan itu berkaitan dengan kualitas hidup, bukan sekedar penambahan bilangan hari. Dia baru berarti jika penambahan itu disertai dengan kekayaan ide dan imajinasi karena sesaat dari rasa dan ide bisa bernilai ratusan tahun.
Bahwa pembahasan tentang sirah Nabi bermula dan bertitik tolak dari bahasan tentang Al-Qur’an dan Sunnah yang kemudian ditemukan pula di celah uraian tentang Tafsir Al-Qur’an dan Sunnah, apalagi Al-Qur’an bagi sejarawan dan ilmuwan adalah data otentik yang tidak dapat diremehkan informasinya, bahkan dapat dipertanggungjawabkan, lebih-lebih bagi umat Islam yang meyakininya sebagai kitab suci dan merupakan kitab, yang antara lain menurut Nabi: “Di dalamnya terdapat informasi tentang masa sebelum kamu, dan berita mendatang setelah kamu, juga ketetapan hukum antara kamu. Dia adalah putusan dan bukan canda”. Menurut Anni Besant (1847-1933 M, dalam Shihab, 2918), seorang teosofis terkemuka kelahiran Adyar India :
“Sangat tidak masuk akal bagi seseorang yang mempelajari kehidupan dan karakter Muhammad Saw. bila hanya mempunyai rasa hormat saja kepada beliau, karena mempelajarinya dapat melampaui rasa hormat, sehingga mempercayainya sebagai utusan Sang Pencipta”. Bagi mereka yang mengakui Muhammad sebagai Nabi, utusan Allah, dan makhluk yang paling dicintai-Nya adalah bahwa : Sosok Nabi Muhammad merupakan bukti kebenaran. Ini ditegaskan oleh Al-Qur’an dengan firman-Nya : “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Qur’an)” (QS An-Nisa [4] : 174).
Bagaimana mungkin sosok pribadi Nabi Muhammad Saw tidak menjadi bukti kebenaran. Beliau lahir dalam keadaan yatim, dibesarkan dalam keadaan miskin, tidak pandai membaca dan menulis, hidup dalam lingkungan masyarakat yang relatif terbelakang, namun beliau berhasil dalam hidupnya, keberhasilan yang tidak hanya diakui oleh generasi beliau, tetapi oleh generasi sesudah beliau hingga kini. Bukan juga hanya diakui oleh pengikut-pengikut beliau, tetapi oleh sekian banyak ilmuwan dan pakar. Mereka sepakat menyatakan dengan menggunakan berbagai tolok ukur bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah manusia agung, kalau enggan berkata “teragung” yang dikenal oleh sejarah kemanusiaan hingga kini.
Demikian kesimpulan Thomas Carlyle dalam bukunya On Heroes, Hero, Worship, and The Heroes in History dengan menggunakan tolok ukur kepahlawanan. Demikian juga Will Durant dalam bukunya The Story of Civilization in The World dengan menggunakan tolok ukur hasil karya. Begitu juga Marcus Dodds dalam Muhammad Buddha and Christ dengan menggunakan tolok ukur keberanian moral. Selanjutnya, Michel H Hart yang menyeleksi seratus tokoh sepanjang sejarah kemanusiaan menempatkan Nabi Muhammad Saw. sebagai tokoh nomor satu dengan menggunakan tolok ukur pengaruh dalam sejarah manusia (Shihab, 2018).
Al-Qur’an adalah mukjizat dan Nabi Muhammad Saw. memperagakan Al-Qur’an dalam kehidupan keseharian beliau, sebagaimana penjelasan Aisyah Ra yang melukiskan beliau sebagai Kepribadian dan tingkah laku beliau adalah cerminan dari Al-Qur’an (HR Ahmad). Karena itu, tidak keliru jika dikatakan bahwa kepribadian beliau pun adalah bukti kebenaran. Adapun aspek-aspek keteladanan beliau dalam mengaktualisasikan Al-Qur’an dapat dipelajari dalam bukunya Muhammad Shalih Al-Munajjid, judulnya “Cara Nabi Muhammad Memperlakukan Orang di Berbagai Level Sosial”, seperti
1) Cara Nabi memperlakukan isteri, keluarga dan orang-orang dekat beliau; isteri-isteri beliau, putra-putri beliau, cucu-cucu beliau, kerabat-kerabat beliau, tetangga-tetangga beliau, tamu dan tuan rumah, dan para sahabat beliau;
2) Cara Nabi memperlakukan kelompok sosial tertentu, pembantu dan budak, orang yang mengalami disabilitas, orang yang tertimpa musibah dan kesukaran, orang-orang miskin, orang-orang kaya, orang-orang yang tinggi status sosialnya, orang-orang yang memiliki kualitas-kualitas menonjol, menghadapi orang-orang yang beselisih;
3) Cara Nabi memperlakukan kelompok-kelompok yang membutuhkan metode-metode spesifik penanganan agama, memperlakukan Muslim baru (Mu’alaf), mereka yang meminta fatwa, kaum Badui, orang-orang berdosa, dan orang munafik;
4) Cara nabi memperlakukan massa secara umum, wanita, lanjut usia, dan anak-anak; dan 5) Cara Nabi memperlakukan jin dan hewan ternak.
Sejarah Ringkas Muhammad Hingga Diangkat sebagai Nabi
Tidak mungkin orang dapat mengenal Islam dengan baik, jika mengenal sejarah orang yang membawa Islam itu (Haekal, 2000).
Menurut Shamid Abdurrahman (2012) dalam bukunya “Atlas Sejarah Nabi Muhammad Saw. & Khulafaur Rasyidin”, beliau lahir di Mekah Al-Mukarramah di rumah Abu Thalib pada hari Senin, 12 Rabiulawal (Tahun Gajah), bertepatan dengan 20 April 570 M, ada pendapat mengatakan 571 M.
Ayah beliau Abdullah wafat ketika beliau berusia dua bulan dalam kandungan ibunya. Pada masa bayi, beliau tinggal di Bani Sa’ad di rumah ibu susunya, Halimah As-Sa’diyah. Ketika usia 4 tahun, ibu susunya membawanya kembali kepada ibunya, Aminah binti Wahab, dan tinggal bersama sang ibu.
Ketika usia 6 tahun, dibawah pengasuhan Abdul Muthalib, karena sang ibu wafat di Abwaa’, tempat antara Mekah dan Madinah, saat kembali dari mengunjungi keluarganya dan dikuburkan di sana. Pengasuhan berpindah kepada kakeknya yang sangat menyayangi dan mencintainya.
Abdul Muthalib wafat ketika beliau usia 8 tahun, pengasuhan berpindah ke Abu Thalib, kendati ia kurang kaya dan banyak anak. Pada saat beliau berusia 10 tahun, beliau berangkat bersama Abu Thalib untuk berdagang ke Basra di wilayah Syam. Setelah itu, beliau bekerja sebagai penggembala kambing milik penduduk Mekah dengan upah beberapa dirham.
Pada saat berusia 15 tahun, beliau ikut bersama-sama paman-pamannya dalam peperangan Al-Fujjar antara Quraisy dan Hawazin. Pada saat berusia 20 tahun, beliau juga ikut hadir bersama paman-pamannya dalam perjanjian Al-Fudhuul di rumah Abdullah bin Jad’an. Isi perjanjian itu adalah untuk menolong orang yang dizalimi sampai haknya ditunaikan.
Ketika usia 25 tahun, beliau berangkat membawa dagangan milik Khadijah ke negeri-negeri Syam untuk kedua kalinya. Setelah kembali, beliau menikah dengannya dan memperoleh beberapa anak, yaitu Al-Qasim, Abdullah, Ruqayyah, Zainab, dan Ummu Kultsum. Al-Qasim dan Abdullah wafat sebelum beliau di angkat sebagai Nabi.
Ketika beliau berusia 35 tahun, terjadi perselisihan di antara sesama klan Quraisy mengenai siapa orang yang akan meletakkan Hajar Aswad ke tempatnya semula sesudah proses renovasi selesai. Akhirnya, mereka semua rela beliau menjadi penengah masalah tersebut. Dengan bijak, beliau mengusulkan agar semua pemimpin klan-klan Quraisy ikut serta dalam peletakannya.
Ketika beliau berusia 38 tahun, mulai muncul tanda-tanda awal kenabian. Pertama, kebenciannya terhadap berhala-hala dan kehidupan bersenang-senang sejak masa kecil. Kedua, menyendiri di Gua Hira selama berhari-hari. Ketiga, wahyu pertama yang datang kepadanya berupa mimpi yang nyata di dalam tidurnya.
Ketika usia 40 tahun, Malaikat Jibril turun membawa wahyu kepada beliau di Gua Hira pada 17 Ramadan tahun 13 sebelum Hijriah. Jibril membacakan ayat-ayat pertama dari Surah Al-‘Alaq kepada beliau. Khadijah kemudian beriman dengannya. Sekelompok dari sahabat-sahabatnya juga masuk Islam secara diam-diam karena takut terhadap tindak kekerasan Quraisy.
Menurut Syaikh Muhammad Mustafa Al-Maraghi (1935, dalam Haekal, 2000), Rektor Magnificus Universitas Al-Azhar, bahwa kenabian adalah anugerah Tuhan, tak dapat dicapai dengan usaha. Akan tetapi ilmu dan kebijaksanaan Allah yang berlaku, diberikan kepada orang yang bersedia menerimanya, yang sanggup memikul segala bebannya. Allah lebih mengetahui di mana risalah-Nya itu akan ditempatkan. Muhammad Saw sudah disiapkan membawa risalah (misi) itu ke seluruh dunia, bagi si putih dan si hitam, bagi si lemah dan si kuat. Beliau disiapkan membawa agama yang sempurna, dan dengan itu menjadi penutup para Nabi dan Rasul, yang hanya satu-satunya menjadi sinar petunjuk, sekali pun nanti langit akan terbelah, bintang-bintang akan runtuh dan bumi ini pun akan berganti dengan bumi dan angkasa lain.
Kesucian para Nabi dalam membawa risalah dan meneruskan amanat wahyu itu, adalah masalah yang tak dapat dimasuki oleh kaum cendekiawan. Bagi para Nabi, sudah tidak ada pilihan lain. Mereka menerima risalah dan amanat, dan itu harus disampaikan, sesudah mereka diberi cap dengan stempel kenabian. Tugas menyampaikan amanat demikian itu sudah menjadi konsekwensi wajar bagi seorang Nabi, yang tak dapat dielakkan. Akan tetapi, tidak selamanya wahyu itu menyertai para Nabi dalam tiap perbuatan dan kata-kata mereka. Mereka juga tidak bebas dari kesalahan. Bedanya dengan manusia biasa, Allah tidak membiarkan mereka hanyut dalam kesalahan itu sesudah sekali terjadi, dan kadang mereka segera mendapat teguran.
Muhammad Saw telah mendapat perintah Tuhan guna menyampaikan amanat itu, dengan tidak dijelaskan jalan yang harus ditempuhnya, baik dalam cara menyampaikan risalah atau dalam cara mempertahannya. Pelaksanaannya diserahkan kepadanya, menurut kemampuan akalnya, pengetahuannya dan kecerdasannya, sebagaimana biasa dilakukan oleh kaum cerdik-pandai lainnya. Kemudian datang wahyu memberikan penjelasan secara tegas tentang segala sesuatu yang mengenai Zat Tuhan, keesaan-Nya, sifat-sifatnya serta cara-cara beribadat. Tetapi tidak demikian tata-cara kemasyarakatan, dalam keluarga, tentang desa dan kota, tentang negara, baik yang berdiri sendiri atau yang terikat oleh negara-negara lain.
Di samping itu masih banyak sekali bidang lain yang harus diselidiki sehubungan dengan kebesaran Nabi Saw. sebelum datangnya wahyu. Juga tidak kurang kebesaran itu yang harus diselidiki sesudah datangnya wahyu. Beliau menjadi utusan Tuhan dan mengajak orang kepada-Nya. Beliau melindungi ajakannya (dakwah) itu serta membela kebebasan para penganjurnya. Beliau menjadi pemimpin umat Islam, menjadi panglima perangnya, menjadi mufti, menjadi hakim dan organisator seluruh jaringan komunikasi dalam hubungan sesamanya dan antarbangsa. Dalam segala hal beliau dapat menegakkan keadilan.
Beliau mempersatukan bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok itu, sesuai dengan yang dapat diterima akal sehat. Beliau telah memperlihatkan kemampuannya berpikir, ketenangannya serta pandangannya yang jauh. Beliau dapat memperlihatkan kecerdasannya serta kemampuannya berpikir cepat dan tepat dengan keteguhan hati terhadap setiap kata dan perbuatan, Beliau telah menjadi sumber ilmu dan pengetahuan. Beliau menjadi lambang kefasihan, yang menyebabkan para ahli dalam bidang itu harus takluk dan menundukkan kepala, mengakui kebesaran dan kedasyatannya. Akhirnya beliau melepaskan dunia fana ini dengan rela hati atas pekerjaannya, yang juga sudah mendapat kerelaan Allah dan kaum Muslimin pula.
‘Why did Khadijah fall in love with Muhammad’?
Apakah karena Muhammad seorang pemuda “romantis” (rokok, makan –minum gratis) layaknya banyak pemuda berlaku saat ini? Tentu tidak!. Menurut Muhammad Husain Haekal (2000) dalam bukunya “Sejarah Hidup Muhammad” menggambarkan bahwa perawakan dan sifat-sifat Muhammad adalah, paras mukanya manis dan indah, perawakannya sedang, tidak terlampau tinggi, juga tidak pendek, dengan bentuk kepala yang besar, berambut hitam sekali antara keriting dan lurus.
Dahinya lebar dan rata di atas sepasang alis yang lengkung lebat dan bertaut, sepasang matanya lebar dan hitam, di tepi-tepi putih matanya agak kemerah-merahan, tampak lebih menarik dan kuat, pandangan matanya tajam, dengan bulu mata yang hitam pekat. Hidungnya halus dan merata dengan barisan gigi yang bercelah-celah. Cambangnya lebar sekali, berleher panjang dan indah. Dadanya lebar dengan kedua bahu bidang. Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak tangan dan kakinya yang tebal. Bila berjalan badannya agak condong ke depan, melangkah cepat-cepat dan pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan penuh pikiran, pandangan matanya menunjukkan kewibawaannya, membuat orang patuh kepadanya.
Dengan sifatnya yang demikian itu tidak heran bila Khadijah cinta dan patuh kepadanya, dan tidak pula mengherankan bila Muhammad dibebaskan mengurus hartanya dan dia sendiri yang memegangnya seperti keadaannya semula dan membiarkannya menggunakan waktu untuk berpikir dan merenung.
Muhammad yang telah mendapat kurnia Tuhan dalam perkawinannya dengan Khadijah itu berasa dalam kedudukan yang tinggi dan harta yang cukup. Seluruh penduduk Mekah memandangnya dengan rasa gembira dan hormat. Mereka melihat karunia Tuhan yang diberikan kepadanya serta harapan akan membawa turunan yang baik dengan Khadijah. Tetapi semua itu tidak mengurangi pergaulannya dengan mereka. Dalam hidup sehari-hari dengan mereka partisipasinya tetap seperti sediakala. Bahkan beliau lebih dihormati lagi di tengah-tangah mereka itu.
Sifatnya yang sangat rendah hati lebih kentara lagi. Bila ada yang mengajaknya bicara beliau mendengarkan hati-hati sekali tanpa menoleh kepada orang lain. Tidak saja mendengarkan kepada yang mengajaknya bicara, bahkan beliau memutarkan seluruh badannya. Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak beliau mendengarkan. Bila bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu beliau pun tidak melupakan ikut membuat humor dan bersendau-gurau, tapi yang dikatakannya itu selalu yang sebenarnya. Kadang beliau tertawa sampai terlihat gerahamnya.
Bila beliau marah tidak pernah sampai tampak kemarahannya, hanya antara kedua keningnya tampak sedikit berkeringat. Ini disebabkan beliau menahan rasa amarah dan tidak mau menampakkannya keluar. Semua itu terbawa kodratnya yang selalu lapang dada, berkemauan baik dan menghargai orang lain. Bijaksana beliau, murah hati dan mudah bergaul. Tapi juga beliau mempunyai tujuan pasti, berkemauan keras, tegas dan tak pernah ragu-ragu dalam tujuannya. Sifat-sifat demikian ini terpadu dalam dirinya dan meninggalkan pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang yang bergaul dengan beliau. Bagi orang yang melihatnya tiba-tiba, sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang bergaul dengan beliau akan timbul rasa cinta kepadanya.
Kesempurnaan paras Muhammad muda didukung pula dengan kebugaran fisik karena beliau pekerja keras, kesehatan dan kebugaran badan dan jiwa, religiusitas serta standar moral yang tinggi di kala masyarakat kebanyakan masih jahiliyah. Jahiliyahnya masa itu ditandai dengan tidak dihargainya Hak Asasi Manusia dengan tingginya perbudakan, tidak dihormatinya martabat perempuan (dengan diabaikannya hak-hak pendidikan dan kesehatan, bahkan saat itu orang malu jika punya anak perempuan, sebagian malah membunuh anak perempuannya), rasa kesukuan yang lebih tinggi dibanding kemanusiaan (sehingga kepentingan suku lebih dari segalanya – yang menjadi sumber peperangan.
Perebutan kekuasaan dan wilayah), praktik korupsi-kolusi-nepotisme yang berakar pada semua lini kehidupan masyarakat (sehingga hanya yang berduitlah yang memegang tampuk kekuasaan, untuk menumpuk harta lebih banyak lagi) dan yang paling parah adalah praktik penyembahan berhala sebagai tuhan yang mereka percayai memberi nasib baik atau buruk dalam kehidupannya. Muhammad muda, dengan hidayah dari Allah mampu menjauhi kejahiliyahan itu, kebodohan-kebodohan yang berlaku saat itu, benar-benar sebuah paduan pemuda yang sempurna yang membuat semua perempuan jatuh cinta.
Agama, Kesehatan dan Kebugaran
“Dengan ilmu hidup menjadi mudah. Dengan agama hidup menjadi terarah. Dengan seni hidup menjadi indah” (HA Mukti Ali, 1923-2004, mantan Menteri Agama RI).
“Health is not everything but without it everything is nothing”, (memang) kesehatan bukan segalanya tetapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak ada maknanya (Arthur Schopenhauer, 1788-1860). Menurut Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik (jasmani), mental (nafsani), spiritual (ruhani), maupun sosial (mujtama’i) yang memungkian setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Kesehatan berkaitan dengan sifat Tuhan Al-Rahman, Maha Kasih tanpa pilih kasih. Artinya, biarpun hamba-Nya kafir, Allah tetap kasih kepada mereka. Nikmat kesehatan, sebagai bentuk rahmat Allah kepada kita, tidak tergantung iman kita, tidak tergantung pada ibadah kita, tidak tergantung pada kesalahan kita. Tetapi tergantung pada seberapa jauh kita mengetahui masalah-masalah kesehatan (Madjid, 2015)
“There is no health without mental health”, tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa (Prince et al, 2007). Menurut Undang-Undang RI No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa, bahwa kesehatan jiwa adalah kondisi ketika seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Dengan demikian, cakupan masalah kesehatan jiwa sangat luas, merentang dari Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) sampai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, 10 Oktober 2021, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut hampir 1 miliar orang atau 1 dari 7 manusia terkena gangguan jiwa. Depresi dan Anxietas jadi gangguan terbanyak dialami dengan kerugian global akibat dua gangguan itu 1 triliun dollarAS atau sekitar Rp. 14.000 triliun tiap tahun.
Sebelum pandemi, Riset Kesehatan Dasar 2018 menyebut, pada penduduk berusia lebih dari 15 tahun ada 9,8 persen atau lebih dari 20 juta orang terkena gangguan mental emosional, 6,1 persen atau sekitar 12 juta orang mengalami depresi, dan 450.000 pengidap skizofrenia (psikosis) yang merupakan gangguan jiwa berat.
Hasil swaperiksa Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia pada April-Oktober 2020 atau sebelum puncak pandemi 1 dan 2 di Indonesia pun menunjukkan, 67,4 persen responden mengalami gangguan anxietas, 67,3 persen responden depresi, dan 74,2 persen trauma psikologik. Makin panjang pandemi, intensitas gangguan jiwa diprediksi meningkat.
Belum lagi kasus pasung dan penelantaran penderita skizofrenia atau orang dengan gangguan jiwa berat menjadi masalah serius bagi Indonesia. Demikian pula kasus penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang, kenakalan remaja, hingga bunuh diri menjadi tanda “sakit”nya masyarakat kita.
Sayangnya, bahasa Indonesia hanya mengenal dua kosa kata yang berkaitian dengan kesehatan, yaitu sehat jasmani dan sehat ruhani. Akibatnya penderita gangguan jiwa (gangguan nafsani) disamakan dengan gangguan ruhani. Terjadi stigma (cap buruk) dan diskriminasi. Individu yang mengalami masalah kejiwaan enggan mencari pertolongan ke layanan kesehatan jiwa karena merasa tidak butuh, jauh , atau takut stigma, perundungan, dan diskriminasi. Masyarakat, para pekerja media (koran, majalah, televisi, dan media sosial), bahkan tenaga kesehatan, masih ada yang menggunakan kata “gila” kepada ODGJ.
Kuatnya stigma membuat banyak penderita gangguan jiwa enggan berkonsultasi ke psikolog atau berobat ke psikiater. Stigma bersumber dari rendahnya pengetahuan dan kuatnya pandangan bahwa penyakit jiwa terkait lemahnya iman dan gangguan gaib. Akibatnya, banyak penderita tak mendapat pertolongan, produktivitasnya pun turun. Selain itu, kehidupan sosial mereka, keluarga, dan masyarakat sekitar juga terganggu.
Hingga saat ini belum ada definisi konkrit kesehatan spiritual (kesehatan ruhani). Spiritualitas dari bahasa Yunani, dari kata spiritus yang berarti menyalakan, membuat terang. Bahwa perkembangan kepribadian seseorang adalah proses spiritual (Maslow, 1997). Dalam kehidupan, spiritualitas mewujudkan dari dalam upaya mencari makna hidup (the meaning of life). Orang yang beragama Islam, apapun kehidupan maupun strata sosial-ekonominya, hidupnya akan penuh makna (meaningful) jika berusaha dengan sungguh-sungguh mengejawantahkan nilai-nilai (values) yang diajarkan Tuhan lewat Kitab Suci Al-Qur’an dan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. implementasinya. Jadi perilaku Nabi Saw. merupakan “gold standard” bagi kaum Muslimin, sebagai pembanding. Maka perilaku Nabi merupakan contoh konkrit perilaku hidup sehat spiritual bagi kaum Muslimin, karena perilaku Nabi bernilai di hadapan Tuhan maupun umat manusia.
Selama ini masyarakat tidak hanya ingin sehat fisik, bahkan ingin bugar fisiknya (physical fitness) antara lain dengan berolah raga. Sedangkan kesehatan jiwa, spiritual maupun sosial belum menjadi perhatian maupun kepedulian masyarakat secara luas. Jika ada Peringatan Hari Kesehatan Sedunia, tentunya tidak berlebihan buat kaum Muslimin, apabila Peringatan Hari Maulid Nabi menjadi titik tolak sekaligus dijadikan juga menjadi Peringatan Hari Kesehatan Spiritual atau Ruhani Umat Islam Sedunia. Karena Nabi adalah contoh nyata manusia yang tidak hanya sehat spiritual bahkan beliau bugar spiritual (moral fitness)!
‘Moral Fitness’ Nabi Muhammad
“Aku tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang luhur” (HR Malik, Ahmad dan Bukhari). Dan karena itu juga, Allah memerintahkan manusia untuk meneladani sosok agung itu (QS Al-Ahzab [33] : 21). Memang yang dituntut dari umat manusia bukan sekedar mempercayai bahwa beliau adalah utusan Allah tetapi juga menjadikan beliau teladan yang harus diikuti (QS Al-‘Araf [7] : 158), dalam Shihab, 2018.
Menurut M Quraish Shihab (2018), dalam bukunya “Membaca Sirah Nabi Muhammad Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih”, bahwa Abdullah ibn Salam, seorang pendeta Yahudi yang kemudian memeluk Islam, berucap : “ Ketika Nabi Muhammad masuk ke Madinah, orang-orang berduyun-duyun menyambut beliau. Aku pun datang untuk melihatnya. Lalu ketika kutatap wajah beliau, aku mengetahui bahwa wajah itu bukanlah wajah pembohong.
Ucapan pertama yang kudengar dari beliau adalah : “Wahai seluruh manusia, sebarluaskan kedamaian, berilah pangan, dan shalatlah di waktu malam, niscaya kalian masuk ke surga dengan penuh kedamaian” (HR Tirmidzi).
Seorang pria datang menemui Nabi dengan gemetar. Beliau menenangkannya dengan bersabda : “Tenangkan hatimu. Aku bukan raja. Aku adalah putra seorang perempuan dari suku Quraisy yang biasanya memakan dendeng” (HR Ibnu Majah dan Al-Daraqhuny).
Beliau sangat berwibawa. Wibawa itu lahir dari kedekatannya kepada Allah dan penuhnya hati dengan kecintaan, kekaguman dan pengagungan kepada-Nya serta perhatian dan kasih sayang kepada makhluk. Itulah yang melahirkan wibawa yang terpancar pada air muka, bahkan pada suara dan gerak-gerik beliau.
Wibawa, atau dalam bahasa agama mahabah, merupakan buah dari istikamah, yakni terintegrasinya kepribadian dengan nilai-nilai yang dianut. Itu lahir dan melahirkan aneka sifat terpuji. Allah berjanji : “Allah menambah hidayah-(Nya) bagi orang-orang yang telah mendapat hidayah” (QS Maryam [19] : 76). Adapun yang dimaksud dengan hidayah pada ayat ini bukan sekedar petunjuk/ informasi menyangkut kebaikan, tetapi juga kemampuan melaksanakan kebaikan itu tahap ke tahap yang lebih baik.
Dan berikut beberapa ‘moral fitness’ beliau :
1.Tulus Berdakwah
Tugas pokok para Nabi adalah berdakwah. Menyampaikan ajaran dan memberi contoh pengamalannya. Dalam berdakwah, beliau sangat gigih dan tulus. Dalam berdakwah beliau tidak menuntut upah, apalagi kekuasaan. Ketika ditawari aneka fasilitas, seperti harta, wanita, dan tahta dengan syarat menghentikan dakwahnya, beliau menolak dengan tegas.
-
Adil
Beliau menegakkan keadilan walau atas diri sendiri. Suatu ketika menjelang perang Badar,Nabi Saw. melakukan inspeksi dan menemukan Sawad ibn Ghaziyah keluar dari barisan. Tidak berbaris dengan baik dan dalam keadaan tanpa busana sehingga perutnya terlihat. Beliau menusuk perut Sawad dengan memakai semacam kayu siwak dan dengan cara yang tidak menyakitkan. Yang ditusuk itu pura-pura kesakitan dan menuntut balas.
Maka, Nabi Saw. mempersilahkannya, tapi Sawad menuntut Nabi membuka baju beliau agar perutnya yang ditusuk dengan cara yang sama. Sebab, itulah yang adil. Nabi pun membuka baju beliau, lalu sang penuntut yakni Sawad – tanpa diduga siapa pun – memeluk dan mencium Nabi. Sawad kemudian ditanya mengapa melakukan hal itu? Dia menjawab, “ Sebentar lagi akan berkecamuk perang, aku khawatir gugur dan aku ingin kulit terakhir yang menyentuh kulitku adalah kulit Nabi Saw.” (HR Abdurrazzak).
Demi penegakan keadilan beliau menegaskan : “Seandainya Fathimah putri Muhammad mencuri, niscaya kupotong tangannya” (HR Bukhari). Atas dasar penegakan keadilan itu juga beliau menegur sahabat beliau Abu Dzar yang memaki Bilal sebagai berkulit Hitam. Nabi mengecamnya sambil bersabda : “Engkau memiliki sifat Jahiliah (rasis)”, seketika Abu Dzar meminta maaf pada Bilal. Memang Islam tidak membedakan siapa pun menyangkut penegakan keadilan walaupun terhadap nonmuslim.
Ketika seorang Yahudi dituduh mencuri oleh seorang muslim, Nabi cenderung membenarkan sang muslim karena keislamannya yang mestinya menghalanginya mencuri, tetapi Allah Maha Mengetahui bahwa sang Yahudi di pihak yang benar. Maka turun ayat yang menegur Nabi – walau sikap beliau baru terbatas pada kecenderungan yang cukup beralasan itu. Ayat tersebut adalah QS An-Nisa [4] : 105.
-
Amanah/Tepercaya
Ketika delegasi kaum musyrik Mekah yang dipimpin oleh Abu Sufyan berkunjung ke Habasyah dan meminta penguasanya untuk mengusir kaum muslimin yang berhijrah ke sana, Sang Penguasa (Heraqel) bertanya tentang kepercayaan Islam dan tentang Nabi Muhammad Saw. yang dijawab oleh Abu Sufyan bahwa : “Dia (Muhammad) mengajarkan shalat, kebenaran dalam berucap dan bertindak, kesucian diri, kesetiaan memenuhi janji dan amanah”. Demikian kesaksian Abu Sufyan saat masih menjadi lawan.
Kepecayaan itu juga terlihat melalui sikap orang-orang berpunya menitipkan barang-barang berharga mereka kepada beliau, barang-barang yang beliau serahkan/perintahkan menyerahkannya kembali dengan utuh ketika beliau berhijrah. Itu dikemukakan Abu Sufyan secara terpaksa karena dia malu ketahuan berbohong jika mengucapkan sebaliknya (Sirah Ibnu Hisyam).
Di sisi lain, amanah yang di tangan beliau yang menjadi hak umat sangat beliau perhatikan untuk ditunaikan sesegara mungkin. Suatu ketika masih ada satu dari empat bagian amanat yang diberikan seseorang kepada Nabi Saw. untuk dibagi tapi belum sempat beliau bagi. Isteri beliau, Aisyah Ra. menceritakan bahwa amanat itu diletakkkannnya di bawah kepala (bantal) beliau ketika akan tidur, tetapi tidur tak kunjung datang. Aisyah merasa heran dan bertanya, “Adakah sesuatu yang mengganggu kesehatanmu atau adakah sesuatu yang disampaikan Allah kepadamu?” Nabi Saw. menjawab penyebabnya dengan bersabda, “ Aku khawatir terjadi sesuatu pada malam hari ini sedang amanah itu belum kutunaikan”.
-
Sabar
Paling tidak kesabaran beliau terbukti pada saat beliau berada di Mekah. Tiga belas tahun lamanya sejak pengangkatan beliau sebagai Nabi, beliau sabar menghadapi aneka gangguan, misalnya dilempari kotoran/ isi perut binatang saat beliau sedang sujud dalam shalat – di samping makian dan cacian. Namun, semua itu beliau hadapi dengan sabar dan bertahan, tidak meninggalkan Mekah sampai mendapat izin Allah untuk berhijrah Ke Madinah. Memang, sejak dini Allah telah berpesan kepada beliau agar bersabar sebagaimana para Nabi terdahulu bersabar.
Sementara sahabat Nabi Saw. melihat dan menyadari betapa besar gangguan kaum musyrikin terhadap beliau mengusulkan bahwa kiranya beliau memohon kepada Allah agar mereka dikutuk dan dibinasakan Allah. Namun, beliau menolak dan menyatakan “Aku tidak diutus sebagai seorang pelaknat (yang memohonkan jauhnya rahmat Tuhan terhadap siapa pun) tapi akut diutus sebagai rahmat” (HR Muslim).
Beliau menolak tawaran malaikat membinasakan penduduk Thaif yang mengganggu beliau sedemikian parah sampai berlumuran darah. Beliau berucap “Sungguh aku mengharapkan kiranya Allah mengeluarkan dari keturunan mereka orang-orang yang menyembah Allah Yang Mahamulia lagi Mahaagung dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu” (HR Bukhari).
-
Lapang Dada
Diriwayatkan bahwa Zaid ibn Sa’nah, salah seorang ulama Ahl Kitab, pernah menyampaikan< “Semua tanda-tanda kenabian telah saya lihat pada wajah Nabi Muhammad Saw. Kecuali dua yang saya lihat hanya ia yang memilikinya : kelapangan dadanya mengalahkan ajakan kepicikan dan perlakuan picik terhadapnya tidak menambahnya kecuali kelapangan dada. Maka aku berbaik-baik kepadanya agar dapat bergaul lebih dekat untuk mengukur kelapangan dadanya ….. Maka, aku menjual kurma kepadanya dengan harga utang untuk dibayar sekian hari kemudian.
Tetapi, sebelum jatuh tempo aku datang menarik bajunya, sambil memandangnya dengan pandangan penuh amarah lalu berucap, ‘Hai Muhammad! Tidakkah engkau mau membayar utangmu? Demi Allah kalian putra-putra Abdul Mutthalib senang menunda pembayaran utang. Dan ini telah saya ketahui setelah bergaul dengan kalian”.
Umar bin Khathab yang hadir ketika itu marah dan berkata, “Hai musuh Allah! Apakah engkau berucap terhadap Rasulullah seperti apa yang aku dengar? Kalau aku tidak berhati-hati karena khawatir terjadinya sesuatu yang amat buruk, pasti aku penggal kepalamu!”. Rasul Saw. yang mendengar dan melihat sikapku – ujar Sayyidina Umar – menegurku, menghadap agar aku tenang lalu sambil tersenyum beliau bersabda, “Saya dan dia lebih membutuhkan sesuatu daripada apa yang terjadi ini. (Yakni) Engkau memintaku melunasi utang dengan baik dan memintanya bersikap baik dalam menuntutnya”.
Lalu Nabi Saw. memerintahkan Sayyidina Umar Ra. membayar si penagih dan memberinya hadiah karena Umar telah menakutkannya.
Si Yahudi Ahl Al-Kitab itu kemudian memceritakan maksud sikapnya itu sambil berkata, “Aku bersaksi di hadapanmu bahwa aku telah ridha terhadap Allah selaku Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Nabi”.
Kisah di atas diriwayatkan oleh Ibnu Hibban At-Thabrani, Al-Hakim.
-
Dermawan
Kedermawan beliau sangat menakjubkan. Bukan saja karena beliau tidak mengharapkan ucapan terima kasih atau pujian di balik itu, tapi juga karena beliau memberi apa yang ada dalam genggaman tangan beliau kendati beliau
dan keluarga butuh. Dalam konteks ini juga Nabi Saw. bersabda, “Seandainya
aku memiliki emas sebanyak pegunungan Uhud, tidak akan sangat menyenangkan hatiku bila berlalu tiga hari (lalu itu kubagikan) dan tidak ada lagi yang tersisa dariku kecuali apa yang saya sisakan untuk membayar utang” (HR Bukhari).
Karena itu tidak seorang peminta pun yang beliau tolak kecuali jika memang beliau benar-benar tidak memiliki sesuatu. Dan dalam kasus hampa tangan pun tidak jarang beliau menganjurkan yang berpunya di antara sahabat-sahabat beliau agar memenuhi harapan si peminta. Demikian itu karena beliau malu untuk mempermalukan yang minta. Sebab itu beliau berpesan, “Janganlah menolak peminta, walau ia datang menunggang kuda” (HR Abu Daud). Dalam riwayat lain, “Walau engkau melihat dua gelang emas menghiasi tangannya”.
-
Rendah Hati
Beliau dikenal sangat rendah hati dan sederhana. Berkali-kali beliau menegaskan bahwa semua manusia sama kemanusiaannya, yang membedakan adalah takwanya. Memang sesekali beliau menyebut keistimewaan beliau, tetapi itu karena informasi tentang keistimewaan tersebut dibutuhkan dalam konteks pemahaman ajaran agama. Itu pun beliau sampaikan sambil menekankan kalimat wa la fakhr, yang antara lain berarti :
Aku menyampaikan bukan dengan maksud membanggakan diri, tetapi tanda syukur. Beliau, misalnya, bersabda: “Aku adalah yang paling terkemuka di antara putra-putri Adam wa la fakhr. Di tanganku panji puji-pujian kepada Allah wa la fakhr. Tidak seorang Nabi pun sejak Adam sampai selainnya kecuali berada di bawah panjiku wa la fakhr. Saya adalah orang pertama yang bangkit dari bumi (setelah kematian semua makhluk)” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Beliau – sebagaimana dituturkan oleh sahabat dan pembantu beliau – memakai pakaian yang kasar, menunggang keledai, duduk di tanah, memerah susu kambing dan duduk makan di lantai. Beliau sering bersabda, “Aku hanyalah seorang hamba. Aku makan sebagaimana seorang hamba makan dan duduk sebagaimana seorang hamba duduk” (HR Abdurrazzaq).
-
Setia dan Penuh Kasih
Beliau adalah sosok yang penuh kasih dan selalu berinteraksi harmonis dengan siapa pun yang dikenalnya. Sifat ini terekam oleh sejak beliau kecil. Di umur belasan tahun, beliau merengek agar diikutkan oleh kakeknya Abdul Mutthalib ke Syam.
Di umur sekitar enam puluh tahun, beberapa sahabat mendengar tangis beliau yang cukup menyedihkan ketika beliau menziarahi kubur ibundanya.
Ketika ibu susunya, Halimah As-Sa’diyah, berkunjung menemuinya, beliau menyambutnya dengan seruan “Ibuku! Ibuku!” sambil menghamparkan serbannya untuk diduduki Sang Ibu susu, dipeluk dan diciuminya ibunya itu. Penuh hormat dan kasih.
Ketika beliau bertemu dengan pengasuh beliau di masa kecil – berkulit hitam dan tidak fasih berbahasa – beliau menyambutnya sambil bersabda, “ Siapa yang ingin kawin dengan penghuni surga, hendaklah dia menikahi perempuan ini, Ummu Aiman”.
Kasih sayang beliau tidak hanya tertuju kepada manusia, tetapi juga kepada binatang bahkan benda-benda tak bernyawa yang beliau beri nama-nama seakan-akan benda-benda itu adalah makhluk-makhluk hidup yang siap memberi dan menerima persahabatan dan kasih sayang.
-
Kesatria
Ketika Nabi Saw. masih di Mekah, Ubay ibn Khafaf, salah seorang tokoh kaum musyrik, sambil menunggang kuda, mengancam akan membunuh beliau. Nabi – kendati di Mekah belum banyak pengikut beliau – menyatakan, “ Dengan izin Allah, saya, insya Allah, akan membunuhmu”. Nah, dalam perang Uhud, saat Nabi sedang terluka, Ubay datang menantang Nabi dan enggan dihadapi oleh selain Nabi. Maka, beliau tampil menghadapinya saat si musyrik itu menunggang kudanya. Nabi melemparnya dengan lembing sehingga ia terjatuh dari kuda, lalu Nabi mendatanginya untuk menusuk lehernya yang mengakibatkannya tewas dalam perjalanan pulang dari Uhud. Ubay ibn Khalaf adalah satu-satunya manusia yang “memperoleh kehormatan” dibunuh Nabi Saw.
Seorang pegulat terkenal pada masa beliau bernama Rukanah pernah menantang beliau bergulat. Nabi menerima tantangannya dan mampu melumpuhkan sang pegulat (HR Abu Daud).
Beliau adalah sosok pemberani. Sahabat beliau sering melayani beliau Anas ibn Malik menceritakan bahwa suatu ketika di Madinah terjadi suara yang demikian keras sehingga menimbulkan rasa takut penduduk. Tiba-tiba Nabi Saw. datang dengan mengendarai kuda dan pedang terhunus, sambil menenangkan penduduk, “Jangan takut! Jangan takut!” (HR Bukhari dan Muslim).
Sahabat Nabi Al-Bara’ menyampaikan bahwa ketika pasukan kaum Muslimin kocar-kacir dalam perang Hunain, dan sebagian mereka lari, Nabi Saw. tetap bertahan sambil menunggang bagal (merupakan keturunan silang antara kuda betina dan keledai jantan) dan berseru memanggil pasukan, “Aku adalah Nabi. Aku putra Abdul Mutthalib. Ya Allah, curahkanlah pertolongan-Mu” (HR Bukhari dan Muslim). Selanjutnya, Al-Bara’ menyampaikan, “Bila situasi gawat dan perang berkecamuk, kami justru berlindung di sekitar Nabi Saw.” (HR Ahmad).
-
Tawakal Setelah Usaha Maksimal
Tawakal setelah usaha maksimal yang diperagakan Nabi Saw. terlihat dengan jelas antara lain dalam sikap beliau pada saat Hijrah dan Perang Badar. Pada saat hijrah, setelah menempuh sekian banyak langkah untuk mengamankan perjalanan ke Madinah, antara lain dengan mempersiapkan tunggangan, petunjuk jalan (pemberi informasi), dan bekal perjalanan, kemudian beliau berlindung dalam satu gua.
Ketika beliau dan Sayyidina Abu Bakar berada dalam gua, sekumpulan kaum musyrik yang mencari beliau tiba di mulut gua. Sayyidina Abu Bakar Ra. sangat gelisah, takut, dan khawatir. Jangan sampai Nabi tertangkap sehingga risalah kenabian tidak berlanjut. Namun, ketika itu, Nabi menenangkan beliau, “ Jangan takut dan sedih, Allah bersama kita (baca QS At-Taubah [9] : 40).
Beliau tenang dan menenangkan karena tidak ada lagi yang dapat dilakukan dalam gua itu kecuali tawakal kepada Allah setelah usaha maksimal. Ini berbeda dengan sikap beliau ketika Perang Badar. Ketika itu beliau khawatir dan terus-menerus berdoa hingga selendang beliau terjatuh, “Ya Allah jika Engkau membinasakan kelompok penganut agama Islam ini maka Engkau tidak akan disembah lagi di bumi” (Ucapan beliau agaknya disebabkan karena beliau sadar bahwa beliau adalah Nabi terakhir yang diutus Allah sehingga bila beliau dan pasukan gugur maka tidak akan ada lagi Nabi yang berjuang untuk penegakan ajaran Ilahi). Sayyidina Abu Bakar Ra. menenangkan beliau dengan berucap, “Cukup! Cukup! Allah pasti mewujudkan apa yang dijanjikan-Nya kepadamu (membela dan menenangkanmu)”.
Sikap Nabi yang berbeda dengan sikap beliau di gua itu disebabkan oleh kesadaran beliau tentang tanggungjawab yang besar terhadap penyebaran agama dan keselamatan pasukan, padahal ketika itu beliau khawatir, jangan sampai upaya-upaya beliau belum maksimal.
Suatu ketika beliau bersandar sambil berteduh di bawah sebuah pohon setelah kembali dari perang yang terjadi di musim panas. Beliau terlena. Dan tanpa beliau sadari, pedang beliau yang tergantung di dahan pohon diambil oleh seseorang. Sambil menghunusnya, orang itu berkata kepada Nabi, “Siapakah yang dapat melindungimu dari pedang ini?”. Nabi menjawab, “Allah”. Mendengar suara Nabi yang demikian tegas dan penuh percaya diri, sang musyrik gemetar dan pedang Nabi yang dipegangnya terjatuh dari tangannya. Nabi kemudian mengambil pedang itu lalu bertanya, “ Kini, siapakah yang dapat melindungimu?”. Sang musyrik terdiam. Nabi Saw. lalu membiarkannya pergi tanpa mengganggunya sedikit pun (HR Bukhari dan Muslim).
Sikap & perilaku Nabi Saw. sebagaimana diuraikan sekelumit di atas – masih banyak lainnya – , melahirkan wibawa, tapi wibawa yang tidak dibuat-buat, sebab beliau selalu tampil tersenyum bahkan tidak jarang bercanda – canda yang tidak mengandung kebohongan atau melampui batas.
Seorang wanita berusia senja datang kepada Nabi mohon didoakan agar masuk surga. Nabi bersabda, “Tidak ada orang tua di surga”. Wanita tua itu sedih beranjak pulang sambil menangis. Tetapi, Nabi Saw. meminta agar dia kembali, lalu beliau sampaikan bahwa kelak dia akan menjadi muda belia. “Di surga tidak orang tua. Yang tua menjadi muda”. Begitu sabda Nabi kepadanya sambil membaca firman Allah, “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka dengan penciptaan sempurna dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya” (QS Al-Waqi’ah [56] : 35–37). Pulanglah wanita tua itu penuh sukacita dan kabar gembira.
Di kali lain, seorang datang kepada Nabi Saw. meminta seekor unta untuk dijadikan tunggangan. “Akan kuberi engkau anak unta”, Kata Nabi. Orang itu berkata setengah keberatan, Yang kuperlukan adalah tunggangan! Bagaimana bisa anak unta menjadi tunggangan?”. Nabi Saw. menjawab dengan bergurau, “Bukankah unta dewasa yang menjadi tunggangan adalah anak unta juga?” (HR Abu Daud).
Konon, suatu ketika, Nabi bersama Sayyidina Ali makan kurma. Nabi bercanda dengan meletakkan biji kurma di tempat Sayyidina Ali meletakkan biji kurma yang telah dimakannya. Beberapa saat kemudian Nabi bercanda, “ Alangkah banyak kurma yang telah engkau lahap”. Sayyidina Ali menanggapi candaan itu dengan candaan serupa, “Ya. Tetapi yang makan kurma dengan bijinya, lebih banyak yang dimakannya”.
Walhasil, Nabi Saw. bercanda dan menoleransi canda sahabat-sahabat beliau tapi itu tidak mengurangi wibawa beliau bahkan itu menambah simpati siapa saja yang mengenal beliau.
Bahwa kisah Zaid ibn Haristah – yang dirawat Nabi Saw. setelah diculik dan diperjualbelikan – yang dapat menjadi salah satu bukti betapa yang mengenal beliau sangat bersimpati kepada beliau. Kisahnya bermula ketiak Zaid kecil diculik dan diperjualbelikan, sehingga akhirnya sampai ke tangan Khadijah Ra. isteri Nabi. Khadijah kemudian menghadiahkan Zaid kepada Nabi. Setelah sekian lama, ayah Zaid setelah mengetahui putra kandungnya ada pada Nabi Saw ia sampaikan bersedia menebus putranya dengan harga seberapa pun, tetapi nabi memberinya solusi lain, “Biarlah Zaid memilih. Jika dia memilih kembali ke orang tuanya maka kuizinkan dia kembali tanpa tebusan. Bila dia ingin menetap bersama Nabi, biarlah keluarganya mengizinkan menetap”. Zaid memilih hidup bersama Nabi karena simpatinya yang sangat mendalam kepada beliau. Dari peristiwa inilah juga Nabi mengumumkan bahwa Zaid adalah putranya (bacalah QS Al-Ahzab [33]: 37).
Kekaguman terhadap penampilan dan budi pekerti Nabi Saw. mengantar sekian banyak anggota masyarakat yang bertemu dengan Nabi Saw. langsung percaya bahwa beliau adalah Nabi kendati belum mengetahui dengan baik ajaran yang beliau sampaikan. “Sesungguhnya engkau (wahai Nabi Muhammad) berada di atas budi pekerti yang luhur” (QS Al-Qalam [68}: 4).
Akhirnya, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS Ar-Ra’ad [13 ]: 11). Maka,
Berhati-hatilah dengan pikiranmu, sebab akan jadi kata-kata
Berhati-hatilah dengan kata-katamu, sebab akan jadi perbuatan
Berhati-hatilah dengan perbuatanmu, sebab akan jadi kebiasaan
Berhati-hatilah dengan kebiasaanmu, sebab akan jadi watak
Dan berhati-hatilah dengan watakmu, sebab akan menentukan nasibmu !
Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul
Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak dan Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul serta Dosen FK-UAD