Menyatukan Katak dan Tikus
Oleh: Riki Dhamparan Putra
“Persaudaraan Universal merupakan keharusan metafisis”
(Ahmad Syafii Maarif)
Ada dua jenis tikus di dalam kumpulan Masnawi karya Maulana Jalaluddin Rumi, kitab syair tasawuf yang menurut Nicholson mulai disusun saat Rumi mendekati usia tujuh puluh tahun (pada kisaran 662 Hijriah), Pengantar dalam “The Mathnawi of Jalalu’ddin Rumi” Buku V & VI terjemahan Reynold A Nicholson. Cambridge University Press, 1934. Tikus pertama, Tikus Yang Memimpin Unta, yang merupakan pantulan dari kenyataan beragama yang absurd, yang timbul tatkala seseorang berpengetahuan dangkal ngotot menjadi pemandu jalan bagi yang berpengetahuan lebih dalam dan lebih bijaksana. Si tikus, yang merupakan simbol dari kedangkalan spritual, baru menyadari kekeliruannya tatkala mereka hendak menyeberang sungai yang baginya sangat besar dan dalam, tetapi hanya sebetis bagi si unta. Dikisahkan, si tikus bertobat, menyerahkan tali panduan kepada unta dan menumpang di punggungnya supaya selamat (Lihat MA-AARIF – E – MATHNAVI, A Commentary of the Mathnavi of Moulana Jalaluddin Rumi. Hakim Muhammad Akhtar Shaheeb, hal 93. Dipublikasikan oleh Kutub Khana Mazhari. Karachi – Pakistan (tanpa tahun).
Tikus kedua, kisah persahabatan antara seekor tikus darat dan katak air yang saleh sebagaimana tercantum dalam Masnawi buku VI. Menurut para pengkajinya, buku VI merupakan bagian yang fokus membahas Tauhid, tak kecuali kisah katak dan tikus. Point yang khas dari Tauhid Jalaluddin Rumi sebagaimana dikatakan Annemarie Schimmel, karena menggandung di dalamnya seluruh pencapaian tasawuf yang diketahui orang hingga abad 13 CE (Mystical Dimensions of Islam. 1975. The University of North Carolina Press). Senada dengan itu, Seyyed Hossein Nasr menyebut Masnawi dapat juga dipandang sebagai ‘tribute’ bagi para wali-wali tasawuf di era terdahulu. Melalui Masnawi, katanya, mutiara-mutiara ajaran dari para perintis tasawuf seperti Hallaj, Attar, Sana’i, hingga Ibn Arabi dihadirkan kembali di panggung sejarah Islam (Rumi and Sufi Tradition. Studies in Comparative Religion, Vol. 8, No. 2 (Spring 1974) abad 13 C.E, yang kemudian ternyata begitu berpengaruh hingga abad-abad sesudahnya.
Dari sudut pandang kita yang awam, puisi tasawuf Rumi memiliki daya tarik besar, terutama karena daya motivasi dan equality. Lirik-lirik puisinya, bukan hanya pengajaran, tetapi dapat membangkitkan gairah yang kuat pada kehidupan religius. Sebuah ciri yang tergambar dalam sebait puisinya yang paling banyak dikutip: “Jika engkau tidak bisa berjalan/datanglah kepada Tuhanmu dengan merangkak…”
Dengan ungkapan itu, Rumi berpesan bahwa keluasan Kasih Sayang Tuhan tidak terbatas, melainkan meliputi setiap keadaan, tak kecuali yang paling lemah imannya. Oleh karena itu seseorang menurut Maulana tak boleh menyerah dalam proses mencapai kesadaran tertinggi tentang Keesaan, sebab Keesaan adalah hak yang sama bagi semua makhluk, bahkan bagi yang paling berdosa: “Andai melulu hanya mereka yang saleh boleh datang kepadaMu/ kepada siapakah mereka yang berdosa akan memanjatkan doanya? ”(Lihat dalam Tangisan Hati Rumi, Osman Nuri Toqbas, 2005. Terj.Indonesia oleh Andi Nurbaethy)
Dalam kisah Katak dan Tikus, tidak terbatasnya kasih sayang Tuhan itu digambarkan lebih dramatik. Tikus yang menyadari adanya pemisah alamiah di antara ia dan Katak yang tidak mungkin dijembatani, telah mengeluh dengan nada nyaris putus asa:
“Wahai suluh penuntun pikiran/ Saat aku ingin bercakap denganmu tentang rahasia/ Engkau sedang berenang di kedalaman air/ Engkau tidak dapat mendengar betapapun keras dan pilu ratapan pencinta memanggilmu/…/ (Reynold A.Nicholson, The Mathnawi of Jalaluddin Rumi. Hal 405 baris 2665)
Begitulah Tikus berkata. Selanjutnya, terinspirasi oleh kisah kuno tentang dua sahabat, Tikus dan Katak sepakat mengaitkan ujung kaki mereka masing-masing dengan seutas tali yang amat kuat. Masing-masing akan menggerakkan tali itu sebagai tanda keinginan bertemu. Selain sebagai alat komunikasi, nantinya akibat kaki yang terikat tali itu, keduanya terbebas dari alam keterbatasan menuju udara kebebasan yang tulen (Tauhid) setelah Burung Kematian Attar menyambar Sang Tikus dan dengan demikian menerbangkan Sang Katak juga.
Terjemahan professor Reynold A.Nicholson yang kita baca menggambarkan Katak sebagai misal jiwa yang telah mengenal ruhnya, dan Tikus itu misal jiwa di dalam badan yang merindukan ruh itu. Dikatakan, utuhnya sebuah kehidupan terjadi karena tubuh dan ruh tidak terpisah, melainkan menyatu dalam seutas tali: “Tubuh itu seperti tali di kaki ruh, yang menghela ruh itu turun dari surga ke bumi”
“Ketika Katak meninggalkan Tikus untuk kembali ke dalam air, ia bahagia dalam kelepasannya. Tapi Tikus itu menariknya kembali // …// Jika bukan karena menarik Tikus yang pikirannya tidak pernah diam, Katak akan larut dalam kenyamanannya sendiri di kedalaman air. ”
Bait ini menegaskan, kenyamanan spritual yang statis, dan hanya dialami sendiri bukan ideal dalam capaian kerohanian Jalaluddin Rumi. Capaian kerohanian tidak selayaknya membuat aktivisme berhenti dan seseorang terperangkap oleh kenyamanan asketiknya. Untuk itu seseorang perlu terus menggugah kenyamanan itu dengan gelora pikiran, yang pada sajak ini digambarkan sebagai karakter Sang Tikus. Itulah sebabnya Sang Katak memerlukan tali untuk terhubung dengan Tikus.
Bagi Katak, tali itu adalah bagian dari kesadaran untuk mewujudkan tanggungjawabnya pada kehidupan di bumi. Sedangkan Tikus itu, tak lain dari kehidupan itu sendiri yang terus bergerak, yang juga memerlukan tali agar terhubung dengan visi rohani di kediaman Sang Katak yang tenang. Tarik menarik antara alam roh pada Katak dan alam jiwa pada Tikus itu lah yang menjadi sumber dari adanya penderitaan sekaligus gairah spritual:
“Seberapa banyak derita yang telah terjadi karena menarik tali itu?” kata Rumi pula pada puisi tersebut.
Tauhid Universal
Tauhid merupakan akar dari tasawuf. Boleh dikatakan, ilmu dan pengamalan tasawuf muncul sebagai hasil dari upaya sungguh-sungguh pelakunya untuk mencapai kedudukan Tauhid yang murni. Yakni Tauhid yang lebih dari sekedar pengakuan dan pernyataan, dan dapat dirasakan sebagai pengalaman khas dari seorang yang telah mencapainya.
Dalam keyakinan umum orang tasawuf, usaha untuk mencapai kedudukan Tauhid yang murni itu adalah wajib hukumnya berdasar perintah Al Qur’an. Tak heran, kalau perdebatan dalam dunia tasawuf akan berkait selalu di seputar persoalan Tauhid. Perkembangan ilmu tasawuf dengan demikian juga merupakan pengembangan ilmu Tauhid berdasarkan capaian-capaian yang berbeda dari masing-masing penghayat tasawuf.
Secara historis, asal-usul tasawuf sebagai ilmu, umumnya diyakini merupakan pengetahuan yang diajarkan langsung kepada para sahabat secara khusus oleh Nabi Saw, hingga akhirnya berkembang serupa aliran sungai-sungai yang bercabang-cabang, dan bermuara ke lautan-lautan yang juga berbeda-beda di sepanjang waktu. Sementara tasawuf sebagai gairah, bermula dari ikhtiar para sahabat untuk meniru kehidupan Rasulullah Saw yang selalu wara’ dalam setiap keadaan. Maka lazim dikutip orang kisah Imam Hasan Al Basri saat menjawab pertanyaan Ali Bin Ali Thalib (r.a) kepadanya di dalam sebuah masjid:
“Apakah yang dapat menyelamatkan dunia, dan apa yang akan menghancurkannya?” Hasan Basri menjawab: “Yang akan menyelamatkan dunia adalah wara’ dan yang menghancurkannya adalah sifat thamak”. (Kisah ini juga telah dikutip oleh Aboe Bakar Atjeh dalam bukunya “Pengantar Ilmu Tarekat”. Diterbitkan FA. H. M. TAWI & SON).
Kisah ini menggambarkan model pengamalan sekaligus pengertian tasawuf yang paling sederhana di tahap permulaan kemunculannya. Mengingat Nabi Saw sendiri pernah mengatakan “Sungguh aku diutus untuk memperbaiki akhlak manusia” maka bersesuaianlah pendapat yang mengatakan inti agama Islam itu adalah tasawuf. Bahkan bila mengutip perkataan Aboe Bakar Atjeh, agama itu sendiri sudah merupakan tasawuf.
Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa dalam sejarah ada pertentangan hebat kalangan agama dan pengikut tasawuf seakan-akan keduanya tidak berhubungan?
Jawab yang mungkin relevan adalah karena ilmu tasawuf itu sendiri juga berkembang, baik pengamalan, pengekspresian, dan perannya dalam kehidupan sosial budaya. Sementara pada saat bersamaan, umat Islam secara umum rupanya telah gagal membangun dialog demi beradaptasi dengan perkembangan itu.
Waktu Masnawi disusun, perkembangan tasawuf sudah mengisi halaman sejarah Islam selama setengah milenium lebih, baik sebagai daftar yang cemerlang, maupun di sisi kelamnya. Di antara yang cemerlang adalah peran guru-guru tasawuf dalam kebangkitan ilmu pengetahuan yang pikiran-pikiran itu masih menjadi pegangan masyarakat manusia hingga di era internet ini. Sementara sisi kelamnya antaranya kisah brutal kekuasaan agama menghukum mati perintis-perintis kemajuan ilmu tasawuf, pembid’ahan praktek tasawuf plus pembakaran kitab-kitab tasawuf, tak kecuali pertikaian di antara kalangan kelompok-kelompok tasawuf itu sendiri.
Latar sejarah itu, dapat membantu kita untuk melihat posisi Masnawi dan tujuan tasawufnya di antara capaian tasawuf lain. Tasawuf Rumi, jelas menjadi antitesa dari perpecahan itu dengan menawarkan solusi universal berupa Tauhid yang menjunjung aktivisme kemanusiaan. Perihal keuniversalan itu, terdapat sebuah catatan mengisahkan, sufi Sirajuddin telah mengundang Rumi untuk mempertanyakan alasannya membenarkan semua capaian Tauhid dari berbagai aliran dan juga agama. Di akhir percakapan itu dikisahkan, Sirajuddin terpojok dan telah menghina Rumi dengan kata-kata kasar. Tetapi dengan mengejutkan Rumi malah menanggapi penghinaan itu dengan perkataan: “Kata-katamu itu pun benar”.
Tidak sulit bagi kita sekarang untuk melacak keuniversalan tasawuf Rumi. Seperti tergambar dalam uraian Annemarie Schimel, selain pengaruhnya yang luar biasa di wilayah berbahasa Persia, Asia Tengah, Turki dan subcontinent Indo-Pakistan hingga abad ke 15-17 C.E, puisi tasawuf Rumi juga mencerminkan pengetahuan dan penguasaannya atas ide-ide kerohanian terdalam dari khazanah Yunani – Kristen, Persia kuno, hingga Upanishad di India. Bishop Michael James Nazir Ali malah mengatakan, sulit membayangkan akan ada yang mampu meringkas “hati Injil Yesus Kristus” seperti yang dilakukan Rumi dalam beberapa baris dari Masnawinya (Iqbal, Rumi, And The Sufi Tradition). Pernyataan-pernyataan semacam ini, menegaskan kembali kebenaran pendapat Nicholson tentang Rumi pada 1898, ia (Rumi) adalah seorang “The Greatest Mystical poet of any age”.
Cinta Yang Aktif
Adalah cinta yang menjadi kekuatan utama tasawuf Rumi, kata Annemarie Schimmel pula. Yakni cinta yang dapat dialami manusia tetapi bersumber pada cinta Tuhan. Kalau demikian, keuniversalan tasawuf Rumi dimungkinkan karena adanya landasan cinta itu. Dan kalau Rumi dikatakan penyair mistik terbesar sepanjang zaman, tak lain karena kekuatan cinta di dalam pusinya. Tetapi apakah cinta?
Tentu tidak ada kemampuan tulisan ini mengurai makna cinta dari puisi Rumi secara panjang lebar, seperti yang dimaksud Schimmel. Namun jika dicari maknanya dalam kisah Tikus dan Katak yang sedang kita bicarakan, maka cinta itu merupakan kekuatan yang mampu menyatukan dua dunia yang secara unsur alami berbeda dan habitatnya terpisah. Sekalipun secara nalar wajar itu mustahil, tetapi melalui penggunaan dongeng sebagai sarana penyampaian pesan, toh memudahkan kita memahami bahwa kemustahilan dapat saja terjadi.
Ada banyak tuturan yang berat-berat untuk dicerna, perihal cinta dan seluk beluknya yang termuat di kisah Katak dan Tikus ini. Namun secara sederhana dapat kita pahami beberapa pesannya. Antara lain, pertama, kekuatan cinta itu menurut sajak ini bersifat aktif dan memotivasi. Dikatakan aktif, karena cinta membangkitkan hasrat murni untuk mencari dia yang dicinta. Rumi telah menggunakan metafor ‘dahaga’ sebagai pengandaian hasrat aktif itu:
“Cinta itu dahaga yang ingin dibebaskan (dengan minum) dan mencari dia yang ingin dibebaskan. Cinta dan yang dicintai, mengikat tumitnya satu lain, seperti kaki siang yang terikat di kaki malam.”
Betapa lembut dan indahnya ungkapan ini. Pertama kata dahaga, yang mengingatkan kita pada satu ayat dalam Al Qur’an: “Dan bahwasanya, jika mereka tetap lurus di jalan itu, niscaya Kami akan lepas dahaga mereka dengan memberi minum yang segar” (Qur’an surah Al Jin ayat 16.). Ayat ini populer di kalangan pengikut tarekat dan kerap dijadikan landasan untuk menjelaskan apa itu tarekat.
Kata kedua, tumit, membawa pembayangan kita pada sebuah tumpuan langkah, suatu landasan gerak, yang mengandaikan tasawuf adalah dunia yang dinamis dan tidak terpisah dari kehidupan. Sedang kata siang dan malam, umpama kesatuan yang tidak dapat diceraikan, walaupun terdiri dari unsur dan bentuk yang berbeda. Dapatkah kita bayangkan semua hari hanyalah siang atau hanyalah malam? Dapatkah kita bayangkan jika ada pencinta yang diam saja di kamar kontrakannya sembari membayangkan kekasih angannya? Cinta seperti itu adalah cinta palsu. Sedang cinta dalam tasawuf adalah cinta asli, cinta yang menuntun dan menguatkan semangat seorang kekasih mencari kekasih hati.
Pesan kedua yang mengandung nilai aktivisme adalah kewajiban berdialog sebagai proses yang harus dilalui dalam mewujudkan cinta. Kata penyair lain, cinta dimulai dengan kata. Begitu pula kekariban antara Katak dan Tikus dalam Masnawi, bermula dari kata: ”di tepian sungai itu setiap pagi/…/ dengan penuh gairah mereka bercakap-cakap dan saling mendengarkan satu sama lain…”
Betapa pentingnya pertemuan, yang berarti berdialog secara intens, sampai-sampai Katak rela mengikat kakinya ke ujung kaki Tikus demi saling terhubung. Namun proses ini menurut Rumi memerlukan latihan pemurnian hati dan pembebasan pikiran dari debu prasangka supaya dapat mencapai tujuan. Secara ekplisit, itu diungkapkannya melalui perkataan penutur: “mereka bercakap dari hati ke hati// mengosongkan dada dan pikiran dari prasangka jahat..”
Tampaklah, syarat utama untuk terwujudnya sebuah percakapan yang tulen adalah terbukanya hati dan bebasnya nafsu dan pikiran dari prasangka. Bila syarat ini tidak terpenuhi, berbicara tak lebih dari sekedar monolog, karena si pembicara pada dasarnya hanya mengatakan sesuatu untuk menegakkan santing (kehendak sendiri) saja, tanpa mempedulikan santing lawan bicaranya. Pembicaraan semacam itu hanya akan menciptakan drama tanpa kenyataan.
Dunia Rumi tidak mentolerir model berbicara yang monologis seperti itu. Sebab berbicara bagi dunia Rumi, merupakan jembatan untuk saling mengenal demi menuju suatu penyatuan eksistensial di balik selubung perbedaan lahiriah. Suatu rangkaian dari proses pemurnian Tauhid atau penyatuan menuju Keesaan Tuhan. Maka menurut Masnawi, sebuah pembicaraan yang tulen idealnya menghasilkan banyak hikmah. Antara lain bertambahnya pemahaman yang baik, energi spritual yang meningkat, dan menumbuhkan perasaan intim satu sama lain. Maka dikatakan dalam puisi itu:
“Ketika dua hati duduk (berdialog) dengan penuh intim// seratus ribu tabir rahasia akan tersingkap bagi mereka..”
Begitulah kisahnya, keintiman dan kerelaan untuk saling mendengarkan antara Katak dan Tikus pada hakikatnya mengandung visi tentang nilai pertemuan yang mempersatukan. Ditegaskan pada puisi itu, hati yang dipersatukan dalam perbedaan merupakan karunia Ilahi yang besar ” buat makhluknya. Bersambung