Merayakan Kebhinekaan dan Kepak Sayap Kebhinekaan
Oleh: Ilhamsyah Muhammad Nurdin
Di tahun belakangan ini, penulis seolah melihat ramai sekali kampanye tentang kebhinekaan, sedangkan semboyan Indonesia adalah soal kebhinekaan. Dimana secara konstitusional, hal tersebut telah diatur dalam pasal 36A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi “Lambang Negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Begitu pun tertera dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 66 tahun 1951 tentang Lambang Negara, semboyan tersebut ditulis dalam Bahasa Jawa kuno yang berbunyi ”Bhinneka Tunggal Ika” dengan arti berbeda-beda tetapi tetap satu. Semboyan tersebut tertera dalam lambang negara berupa burung Garuda dengan perisai yang berisikan Pancasila, lebih tetapnya berada dicengraman cakar burung Garuda yang ditulis diatas pita putih.
Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” ketika dilihat dari konsepnya seolah-olah bersifat kontradiksi. Kedua konsep itu adalah “Bhineka” dan “Tunggal Ika”. Konsep Bhineka mengakui adanya keanekaragaman sedangkan konsep tunggal menginginkan adanya kesatuan. Keanekaragaman dicirikan oleh adanya perbedaan, sedangkan kesatuan dicirikan oleh adanya kesamaan. Jika kedua hal tersebut dipahami dan dilaksanakan dengan tekanan yang berbeda atau tidak seimbang, maka akan dapat menimbulkan kondisi yang berbeda pula. Manakala segi keanekaragaman yang menonjolkan unsur perbedaan itu ditampilkan secara berlebihan, maka tindakan itu tergolong melanggar kodrat perbedaan, karena perbedaan adalah kodrat sekaligus berkah yang tak terhindarkan.
Perbedaan dalam kebhinekaan merupakan suatu realitas, karena itu perbedaan tidak perlu lagi untuk dibeda-bedakan. Membeda-bedakan perbedaan justru akan dapat menimbulkan bahaya perpecahan, perceraian, perpisahan, kehancuran dan keretakan. Perbedaan dalam kebhinekaan perlu dikelola dengan cara mendayagunakan aneka perbedaan menjadi modal sosial untuk membangun kebersamaan.
Karena kesatuan dicirikan oleh adanya kesamaan, maka untuk mewujudkan cita-cita kesatuan ditengah-tengah kebhinekaan diperlukan adanya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk melihat kesamaan pada sesuatu yang berbeda itu. Secara individu, setiap manusia adalah berbeda baik dilihat dari segi fisiknya maupun mentalnya. Setiap manusia merupakan subjek yang otonom. Namun demikian, setiap manusia memiliki kesamaan, yaitu sama-sama manusia. Demikian juga dalam konteks ke Indonesiaan, terdapat beragam suku, agama, ras dan golongan yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda, tetapi semuanya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama bangsa Indonesia.
Merayakan Kebhinekaan dan Kepak Sayap Kebhinekaan
Merayakan berasal dari kata dasar raya dan merupakan kata kerja, sehingga merayakan dapat menyatakan suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertian dinamis lainnya. Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata merayakan diartikan sebagai memuliakan (memperingati, memestakan) hari raya (peristiwa penting). Seperti contoh merayakan hari proklamasi Republik Indonesia, merayakan hari lahir dan lain sebagainya. Dengan begitu merayakan kebhinekaan bisa diartikan secara sederhana sebagai tindakan memuliakan peristiwa penting berupa kebhinekaan.
Merayakan kebhinekan diangkat menjadi topik dialektika dalam jumpa dan rasa serta cinta di Muktamar IMM XIX. Muktamar IMM XIX sebagai musyawarah tertinggi di tingkatan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah menjadi satu momentum pertemuan besar gagasan kader Ikatan_sehingga sangat disayangkan jika musyawarah tertinggi yang dikedepankan adalah urusan perut. Sebagaimana pesan Ayahanda Dr. Haedar Nashir dalam muktamar sebelumnya untuk bermusyawarah dengan hati yang tulus, pikiran yang jernih, dan cerdas.
Kepak sayap bisa dikatakan dalam jenis kiasan sehingga penggunaannya bukan dalam arti yang sebenarnya dengan begitu kepak sayap bisa diartikan sebagai memperluas dan memperlebar. Sehingga kepak sayap kebhinekaan bisa diterjemahkan sebagai memperluas atau memperlebar kebhinekaan.
Kepak sayap kebhinekaan kini ramai menjadi tagline di baliho dan billboard yang dipasang diberbagai tempat bergambar foto Puan Maharani yang kini menjadi ketua DPRR RI dan juga ketua DPP PDIP. Bambang Wuryanto selaku DPP PDIP Bidang Pemenangan pemilu mencoba menjelaskan maksud isi tagline di baliho dan billboard yang beredar yang dikutip dalam detikcom pada tanggal 06 Agustus 2021. Kepak sayap diasosiaikan sebagai burung yang memiliki kerja sama di sayap kanan dan kirinya. Burung yang terbang pasti ada kerja sama sayap kiri dan kanan, kepaknya berirama. Seandainya burung garuda, di sana ada Bhineka Tunggal Ika. Kebhinekaan maknanya persatuan. Kita terdiri dari berbagai suku bangsa, bagaimana kebhinekaan hidup dengan kerja sama.
Merayakan kebhinekaan atau kepak sayap kebhinekaan?
Keragu-raguan akan informasi pengetahuan masyarakat bangsa ini akan semboyan bangsa sendiri menjadi satu asumsi awal penulis, apakah memang masyakat bangsa Indonesia tidak mengetahui Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa ini dan berbeda-beda tetap satu adalah maksud dari Bhineka Tungkal Ika? Dari keraguan tersebut menghadirkan tesis awal bahwasanya akan sangat tidak mungkin masyarakat Indonesia tidak mengenal semboyannya, toh sedari mengenyam pendidikan paling dasar saja informasi pengetahuan terkait hal tersebut sudah disampaikan.
Akan tetapi akan muncul anti tesis baru terkait tesis di awal tadi adalah bisa juga mungkin saja hari ini informasi pengetahuan tentang semboyan bangsa ini sudah tidak diajarkan di pendidikan paling dasar. Dengan begitu, sintesis dari tesis dan anti tesis tersebut dapat diambil jika kita punya data terkait apakah informasi pengetahuan diajarkan atau tidak.
Keragu-raguan penulis berlanjut ketahapan selanjutnya. Jika asumsi awal penulis adalah masyarakat Indonesia mengetahui tentang pengetahuan semboyan bangsa ini tapi mengapa dalam keseharian kita masih saja menemukan diskriminasi soal perbedaan, apakah semboyan Bhineka Tunggal Ika hanya sebatas simbol belaka? Atau memang masyakat bangsa ini mengalami krisis pemahaman tentang semboyan bangsa ini?
Dengan begitu, menjadi tesis awal penulis terkait pertanyaan tersebut adalah masyarakat bangsa ini kuat di teori kurang di impelentasi. Akan tetapi menjadi anti tesis berikut yang muncul adalah masyarakat bangsa ini minim pengetahuan tentang pemahaman maksud pengetahuan Bhineka Tunggal Ika. Artinya baru tataran tahu tapi belum mengerti atau paham tentang apa yang diketahui itu. Sintesis yang muncul adalah kita masih dalam tataran memprediksi atau lebih tepatnya kita dalam tataran kira-kira. Artinya apa? Artinya adalah kita minim informasi data tentang seberapa masyarakat ini paham dan seberapa yang paham tapi tidak mengimplementasikan_lagi-lagi tentang data.
Sehingga, apakah kemudian kebhinekan itu harus kita rayakan atau dikepakkan?
Pertanyaan tersebut yang kemudian menjadi stimulul awal, apakah kita harus merayakan kebhinekaan atau kepak sayap kebhinekaan.
Berhenti merayakan kebhinekaan hanya dalam tataran wacana tanpa aksi. Artinya, percuma jika kita punya wacana yang sudah disepakati bersama dalam perjumpaan musywararah tertinggi tapi berhenti tataran wacana tanpa diimplementasikan.
Berhenti kepak sayap kebhinekaan tanpa teladan yang menjadi cerminan tindakan. Artinya, percuma jika ramai tagline kebhinekaan yang beredar dalam bentuk baliho dan billboard yang dipasang dimana-mana tapi implementasi tindakan dari orang atau lembaga tidak sesuai dengan apa yang dikampanyekan.
Pada intinya adalah sah-sah saja kita merayakan kebhinekaan selama tidak hanya dalam tataran euforia semata dan sah-sah juga kita kepak sayap kebhinekaan selama apa yang dikampayekan sejalan dengan tindakan. Hemat penulis adalah merayakan kebhinekaan bisa bergandengan tangan bersamaan kepak sayap kebhinekaan.
Wallahu a’lam bishawab
Ilhamsyah Muhammad Nurdin, Ketua DPD IMM DIY