Haruskah Isteri Berpuasa Sunah dengan Izin Suami?
Oleh: Wawan Gunawan Abd. Wahid
Pendahuluan
Islam mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berprestasi dalam berbagai lapangan kehidupan (QS. 3:195;1697;40:44). Karena itu, ketika al-Qur’an menyatakan bahwa manusia ideal adalah individu yang bertakwa (QS.49:13) pernyataan itu pun terbuka untuk laki-laki dan perempuan. Ajaran ini pada gilirannya meniscayakan setiap individu memiliki otonomi atas perbuatannya (QS.17:19;53:39;6:164), yaitu setiap orang dianugerahi kebebasan dan pilihan untuk melakukan sesuatu atas keasadaran dan kemauannya dan bertanggungjawab atas pilihannya itu.
Ajaran Islam yang egaliter itu seolah tidak efektif manakala dihadapkan pada berjibunnya perilaku pemeluknya yang masih memposisikan laki-laki dan perempuan berselisih dengan prinsip-prisip luhur diatas. Ini utamanya disebabkan oleh pemaknaan dan penafsiran terhadap nas-nas al-Quran dan al-Hadis. Salah satu produknya adalah pemahaman terhadap hadis Nabi yang menyimpulkan bahwa seorang perempuan Muslimah tidak diperkenankan berpuasa sunah tanpa izin suaminya. Hadis yang bertalian dengan persoalan ini, antara lain, diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Shahabat Abu Hurairah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ (رَوَاهُ اْلبُخَارِيُّ)
”Seorang perempuan tidak boleh melakukan puasa sunah saat suaminya menyertainya kecuali dengan izinnya”.
Dalam Shahih al-Bukhari hadis di atas dijumpai dalam kitab an-nikah. Dengan redaksi yang berbeda hadis ini diriwayatkan pula oleh Shahih Muslim pada kitab az-zakah bab ajr al-khazin wa al-mar’ah idza tahaddaqat min Bayti Zawjiha, Sunan Abi Daud pada kitab ash-Shaum bab al-Mar’ah Tshumu Bighayri Idzni Zaujiha, Sunan at-Turmudzi pada kitab ash-Shaum, Bab Man Jaa-a fi Karaahiyat Shaum al-Mar’ah Illa bi Idzni Zawjiha, Sunan ad-Darimi pada Kitab ash-Shaum Bab an-Nahyi an Shaum al-Mar’ah Tathawu’an Illa bi Idzni Zawjiha, Sunan Ibn Majah pada Kitab ash-Shiyam bab fil Mar’ah Tashumu Bighayri Idzni Zawjiha dan terakhir Musnad Ahmad bin Hanbal pada entri nama Shahabat Abu Sa’id al-Khudri.
Dari Ibadah Menjadi Ma’shiyah?
Puasa sunah adalah salah satu ekspresi ibadah yang dilakukan seorang Muslim dan Muslimah. Kata ibadah secara etimologis berasal dari kata ’abada-ya’budu-’ibadatan yang bermakna ketundukan, pengabdian dan sejenisnya (al-Jurjani;1985:151). Dalam terminologi ajaran Islam, kata ibadah merujuk pada segala sesuatu yang dilakukan pemeluknya dengan diniatkan sebagai pengabdian kepada Sang Maha Pencipta Yang mesti diberi pengabdian (al-Ma’bud) sebagaimana yang dikandung Surat adz-Dzariyat (QS.51:56).
Pengabdian seorang Muslim dan Muslim luas sekali macam dan cakupannya selain dibatasi dengan beberapa ketentuan. Berdasarkan hadis tertelaah diatas, para ulama berpandangan, berbeda dengan laki-laki seorang istri dibatasi dengan ketentuan yang khusus. Dalam hal mengerjakan ibadah puasa sunah istri mesti beroleh izin suaminya. Ia diharamkan untuk menuaikan puasa sunah tanpa izin suaminya. Manakala ia memaksakan diri untuk menunaikan puasa sunah alih-alih memperoleh pahala sebaliknya ia diganjar dosa karena telah melakukan perbuatan yang diharamkan. Hanya mazhab Hanafi yang berpandangan, istri sedemikian telah menunaikan perbuatan makruh.
Peralihan nilai puasa isteri dari sejatinya berpahala menjadi berdosa dikarenakan isteri dinilai melakukan penyimpangan dengan pembiaran terhadap suaminya dan memilih ibadah yang ”hanya” bernilai sunah. Dalam kaitan ini, an-Nawawi (1972.VII:113), misalnya, mengatakan bahwa seorang isteri dalam kondisi apapun mesti siap untuk ”didatangi” suaminya karena itu merupakan kewajibannya dan dalam kondisi tersebut isteri tidak boleh mengerjakan ibadah yang berharga sunah. Pandangan ini menjadi arus utama yang dipahami kalangan ummat Islam sebagaimana terbaca dari berbagai buku dan terdengar dari ceramah agama yang menguraikan ibadah perempuan.
Mengembalikan pada Prosedur
Muhammad al-Gazali (1989), cendikiawan aktifis Muslim asal Mesir, melalui bukunya, as-Sunnah an-Nabawiyyah Bayn ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, telah mengingatkan kaum Muslimin untuk bersikap cermat dalam membaca hadis Nabi. Ia menunjukkan bahwa hadis Nabi acapkali dipahami sedemikian menjauh dari pesan awal yang disabdakan Nabi. Untuk terhindar dari pemahaman hadis yang tidak utuh ada prosedur yang mesti ditahapi dalam membaca hadis Nabi. Berikut ini, antara lain, tiga langkah simultan (Isma’il:1994; al-Qaradlawi:1993) yang mesti dilalui seorang pembaca hadis. Ketiga langkah dimaksud adalah:
Pertama, menempatkan hadis Nabi dalam bingkai penjelas al-Quran. Ketentuan ini memaksudkan bahwa al-Quran merupakan rujukan pertama dan utama sebagai tempat bermuaranya seluruh ketentuan dalam Islam. Sedangkan al-hadis merupakan penjelasan rinci dari kandungan al-Quran. Sebagai penjelasan yang berasal dari sang manusia penuntun tidak mungkin hadis Nabi bertentangan dengan kandungan al-Quran. Ketika dirasakan terjadi pertentangan antara hadis Nabi dengan ayat al-Quran 3 kemungkinan sedang terjadi. (1) dipastikan bahwa hadis tersebut tidak sahih;(2) telah terjadi pemahaman yang kurang tepat dan (3) terjadi perentangan semu antara hadis dengan al-Quran.
Dalam kaitan ini al-Qaradlawi menampilkan contoh hubungan antara hadis fiimaa saqat as-samaau al-’usyr, (bahwa atas hasil pertanian yang diairi dengan curah hujan dikenai zakat sepersepuluh) dengan nash ayat al-Quran Surah al-An’am ayat 141 wahuwalladzii ansya-a jannaatin ma’rusyaatin wa ghayra ma’rusyaatin wannakhla wazzar’a mukhtalifan ukuluhu wazzaytuuna warrummaana mutasyabihan wa ghayra mutsyaabih kuluu min tsamarihi idzaa atsmara wa aatuu haqqahu yauma hashaadih, (Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa tapi tak sama (rasanya). Makanlah buahnya tatkala berbuah dan tunaikanlah zakatnya saat memetik hasilnya).
Sementara praktek masyarakat membatasi objek zakat itu pada empat jenis hasil pertanian yang berupa biji-bijian dan buah-buahan atau terbatas pada makanan pokok sementara hasil pertanian dan perkebunan seperti teh, kopi, apel mangga, kapas, tebu dan lain sebagainya yang juga menjadi produk agro industri yang diperdagangkan saat ini tidak dijadikan sebagai objek zakat. Praktek semacam ini hanya terjadi karena hadis dipisahkan dari ayat al-Quran.
Kedua, menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam satu kesatuan tema. Cara ini selain menghindarkan dari jebakan pemahaman yang parsial dan (kemungkinan) pertentangan antarhadis pada saat yang bersamaan dapat menghadirkan pemahaman hadis yang utuh. Salah satu contoh klasik yang patut dikedepankan adalah hadis-hadis yang berkaitan dengan keharusan menggunakan sarung, celana atau yang sejenisnya hingga di atas mata kaki. Pendapat ini didasarkan pada hadis-hadis yang menyebutkan ancaman keras terhadap orang yang berpakaian hingga di bawah mata kaki.
Simpulan demikian merupakan hasil pembacaan yang tidak menyatukan hadis tersebut dalam satu kesatuan tema tentang berpakaian. Sebagaimana diketahui, bahwa hadis yang berkaitan dengan kecaman dan ancaman terhadap pelaku isbal itu disabdakan Nabi saw kepada orang-orang yang berpakaian dengan motivasi kesombongan. Dalam satu kesempatan Rasulullah saw menghilangkan kekhawatiran shahabat terdekatnya, Abu Bakar radliyallahu ’anhu yang jubahnya melampui mata kakinya dengan sabdanya:”Anda tidak termasuk orang-orang yang melakukannya karena kesombongan”.
Ketiga, memastikan antara pemahaman tekstual dan kontekstual terhadap hadis. Ketika manusia Nabi saw hadir di tengah masyarakat Arab ia memerankan multifungsi. Selain sebagai penyampai risalah Allah (Rasululullah), ia pun memainkan peran sebagai pribadi, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim dan lain sebagainya. Karena itu hadis yang dinyatakan Nabi saw merefleksikan peran-peran yang berragam itu. Ketika hadis Nabi dipahami suasana kebatinan yang kompleks itu mesti dihadirkan kembali. Dengan pigura tersebut suatu hadis dapat dipahami secara tekstual atau kontekstual.
Salah satu contoh yang terkait dengan ini adalah nasihat Nabi saw kepada seorang shahabat yang menunaikan shalat Jum’at langsung berangkat dari ladangnya dengan berpakaian lusuh dan badan berkeringat tanpa mandi terlebih dahulu. Ketika aroma baju yang dikenakan shabat ini tertiup angin dan tercium hidung Rasulullah saat disabdakannya: idza araada ahadukum an ya’tiyal jum’ata fal-yaghtasil” (apabila diantara anda sekalian hendak menunaikan shalat jum’at maka ia harus mandi). Dengan hadis itu mazhab Zhahiri berpendapat bahwa mandi jumat itu berhukum wajib dan dengan memperhatikan sabab wurud hadis jumhur menyatakan bahwa mandi jum’at itu berhukum sunah.
Membaca Ulang Hadits
Sebagai seorang manusia pilihan yang bergelar uswah hasanah Rasulullah saw senantiasa melahirkan perbuatan dan pernyataan yang sarat kearifan yang berkeadilan. Sebagai seorang yang diberi hak penafsir terhadap al-Qur’an tidak mungkin tafsirannya bertentangan dengan ajaran utama al-Quran. Di depan telah ditegaskan jika pemahaman terhadap hadis yang ditelaah ini berkesimpulan bahwa seorang istri yang berniat puasa sunat harus meminta izin kepada suaminya ketika sang suami ada di di rumah, maka kesimpulan itu bertentangan dengan prinsip otonomi ang diajarkan al-Qur’an. Bagaimana memahami hadis ini sehingga tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur’an? Dengan menggunakan prosedur pemahaman hadis yang disajikan terdahulu pemahaman yang dihasilkan adalah:
Pertama, hadis yang ditelaah ini tidak bertentangan dengan ayat al-Quran tentang otonomi perempuan. Membaca hadis ini secara seksama mengantarkan pada simpulan bahwa hadis ini hanya memuat nasihat Rasulullah saw kepada pasangan suami isteri yang dirundung perselisihan sengit dalam membina rumahtangganya karena satu sama lain mengambil posisi ekstrim. Istri terlalu ”rajin” dalam mengerjakan kebajikan rupa tetapi mengabaikan hal-hal lain yang juga harus diperhatikannya.
Sementara suami adalah seorang yang longgar dalam menunaikan kewajiban agama –sebagaimna ditunjukan dengan pelaksanan shalat shubuh kesaingan- terlalu menuntut untuk diberi haknya. Pertengkaran terjadi karena satu sama lain merasa benar dan meyakini dirugikan oleh pasangannya. Nasihat Nabi muncul tatkala isteri melaporkan kepada Nabi tentang perselishan itu sebagaimana terbaca dalam redaksi hadis yang diriwayatkan Abu Daud dari Shahabat Abu Sa’id berikut ini:
ٍعَنْ أََبِى سَعِيْدٍ قَالَ جَاءَتِ امْرَأَة ٌإِلىَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ نَحْنُ عِنْدَهُ فَقَالَتْ ياَ رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ زَوْجِيْ صَفْوَانَ بْنَ الْمُعَطَّلِ يَضْرِبُنِيْ إِذَا صَلَّيْتُ وَ يُفْطِرُنِيْ إِذَا صُمْتُ وَ لاَ يُصَلِّى صَلاَة َالْفَجْرِ حَتىَّ تَطْلُعَ الشَّمْسُ قَالَ وَ صَفْوَانُ عنْدَهُ فَسَأَلَهُ عَمَّا قَالَتْ فَقاَلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَمَّا قَوْلُهاَ يَضْرِبُنِي إِذَا صَلَّيْتُ فَإِنَّهَا تَقْرَأُ بِسُوْرَتَيْنِ وَقَدْ نَهَيْتُهَا قَالَ لَوْ كَانَتْ سُوْرَةً وَاحِدَةً لَكَفَّتِ النَّاسَ وَأَمَّا قَوْلُهَا يُفْطِرُنيِ فَإِنَّهَا تَنْطَلِقُ فَتَصُوْمُ وَ أَناَ رَجُلٌ شَابٌّ فَلاَ أَصْبِرُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ لاَ تَصُوْمُ إِمْرَأَةٌ إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا وَأَمَّا قَوْلهُاَ إِنِّي لاَ أُصَلِّى حَتّىَ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِناَّ أَهْلُ بَيْتٍ قَدْ عُرِفَ لَنَا ذَاكَ لاَ نَكاَدُ نَسْتَيْقِظُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ قَالَ فَإِذَا اسْتيْقَظْتَ فَصَلِّ (رَوَاهُ أَبوُ دَاوُدَ)
”Seorang perempuan menemui Nabi saw saat kami (para Shahabat) bersamanya kemudian perempuan itu berkata:wahai Rasulullah saw sungguh suami saya Shafwan bin al-Mu’aththal biasa memukul saya ketika saya menunaikan shalat dan menyuruh saya membatalkan puasa ketika saya berpuasa sunah sementara dia sering menunaikan shalat shubuh ketika matahari telah terbit”. Abu Sa’id melanjutkan:”(Kebetulan) Shafwan ada dengan Rasulullah dan iapun ditanyai Rasulullah tentang pengaduan istrinya tadi. Shafwan berkata:wahai Rasulullah saw tentang laporannya bahwa saya memukulnya ketika mengerjakan shalat karena dia membaca ”dua surat” padahal saya sudah melarangnya.
Abu Sa’id berkata:”lalu Rasulullah saw bersabda: andai saja dibaca satu surat saja itu sudah cukup”. Adapun tentang laporannya bahwa saya membatalkan puasa karena dia dengan seuka hatinya erpuasa padahal saya pria masih belia saya pun tidak tahan”. Kemudian Rsulullah saw bersabda:seorang isteri tidak boleh berpuasa sunah kecuali dengan izin suaaminya”. ”Adapun tentang laporannya bahwa saya mengerjakan shalat shubuh ketika matahari terbit sesungguhnya seisi rumah sudah mengetahui hal itu (karena) kami tidak dapat bangun tidur hingga matahari terbit”. Rasulullah saw bersabda:”Tatkala kamu bangun segeralah tunaikan shalat”.
Kedua, apabila hadis yang ditelaah ini diletakkan bersama dengan hadis-hadis lain yang terjalin dalam tema rumah tangga sakinah, antara lain, tersebutlah hadis yang mengusung ajaran Nabi betapa suami istri harus saling mendukung dalam menunaikan kebajikan kepada Allah. Spirit saling mendukung itulah yang dapat menciptakan rumah tangga yang mengundang rahmat Allah hadir di dalamnya. Salah satu hadis Nabi riwayat an-Nasai dari Abu Hurairah menyebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ (رَوَاهُ النَّسَائِيُّ)
”Dari Abu Hurairah dia berkata:”Rasulullah saw bersabda: Allah menganugerahi karunia kasih sayaNya kepada seorang suami yang bangun di tengah malam kemudian mengerjaka shalat malam lalu ia membangun isterinya lalu istreinyapun menuaikan shalat. Ketika isterinya sulit bangun ia mencipratinya dnegan air. Allah pun memberikan karunia kasih sayangNya kepada seorang isteri yang bangun di tengah malam kemudian dia mengerjakan shalat malam lalu ia bangunkan suaminya dan iapun mengerjaan shalat malam. Ketika suaminya sulit bangun ia mencipratinya dengan air”
Dengan terang hadis diatas menunjukkan bahwa baik suami maupun isteri dianjurkan untuk saling mendukung dalam mengerjakan ibadah termasuk ibadah yang berkualifikasi sunah. Dengan terang hadis diatas pun tidak ada satu patah kata Nabi yang enyebutkan isteri harus minta izin terlebih dahulu ketika menunaikan shalat malam. Dalam format pasangan rumah tangga demikian tidak lagi terdengar kata ”perintah” dan ”larangan”. Yang memenopang rumahtangga seperti ini adalah saling pengertian dan dukungan terhadap satu sama lain.
Dengan sendirinya kata izin tidak lagi diperlukan karena izin secara psokologis menunjukkan adanya dominasi yang satu atas yang lain atau terkuasainya yang satu oleh yang lain (Thahir az-Zawi,tt:127) padahal masing-masing suami dan isteri sama-sama memiliki hak otonomi untuk melakukan kebajikan. Dalam kesatuan tema rumah tangga sakinah juga dijumpai hadis-hadis tentang melakukan hubungan suami isteri itu sepatutnya dilandasai dengan semangat mu’asyarah bil-ma’ruf. Poin mu’asyarah bil ma’ruf mengajarkan sepasang suami isteri bahwa malam hari adalah waktu yang ”normal” untuk menunaikan hubungan suami isteri (waja’alnallayla libaasaa dan antum libasun lahunna wa hunna libaasun lakum). Satu hal yang tidak ditunaikan oleh pasangan Shafwan bin al-Mu’aththal bersama isterinya.
Ketiga, memperhatikan konteks disabdakannya (sabab wurud) hadis Nabi sebagaimana terbaca dari matan hadis riwayat Abu Daud dan beranjak dari kedua argumentasi di atas patut dipahami bahwa sabda Nabi yang secara harfiyah bermakna larangan itu sesungguhnya tidak memuat ajaran yang universal yang mutlak yang menjadi ketentuan umum karena apa yang disajikan hadis sekedar sebuah kasus khusus yang memuat pesan temporal yang ditujukan kepada pasangan suami isteri yang belu
Preseden dari Putusan Tarjih Muhammadiyah
Hasil pembacaan kembali hadis diatas sesungguhnya bukan merupakan jalan baru dalam pemahaman hadis Nabi. Jika menelusuri literatur yang tersedia dijumpai contoh-contoh lain yang menjadi presedennya. Salah satu contoh yang telah mengklasik adalah tentang kesalahpahaman ummat terhadap hadis Abu Bakrah berkenaan dengan kepemimpinan perempuan yang dihimpun oleh al-Bukhari, at-Turmudzi, an-Nasai serta Ahmad bin Hanbal. Berikut hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari sahabat Abu Bakrah radliyallahu ’anhu:
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَة (رَوَاهُ اْلبُخَارِيُ)
Artinya:”Dari Abu Bakrah ia bercerita:sungguh Allah memberikanku anugerah pada peristiwa perang unta lewat satu kalimat yang aku dengar dari Rasulullah saw, tatkala aku nyaris ikut dengan pasukan unta dan berperang mendukung mereka. Dia berkata, ketika sampai berita kepada Rasulullah saw bahwa bangsa Farsi mengangkat seorang anak perempuan Kisra sebagai ratu mereka Rasulullah bersabda: kaum yang menyeranhkan persoalan kepada perempuan tidak akan mendapatkan keberhasilan”.
Dalam hadis diatas terungkap bahwa shahabat Abu Bakrah yang mengungkap kembali hadis di atas ke tengah khalayak ummat ketika ia menceritakan pengalamannya bagaimana ia pertamakali mendengar hadis tersebut dari Nabi saw kemudian ia menggunakannya sebagai pertimbangan untuk tidak ikut terlibat dalam perselisihan antara Ali bin Abi Thalib dengan Siti ’Aisyah yang berujung tragedi berunta itu (waq’atul jamal). Bahkan terbaca secara harfiyah pernyataan Abu Bakrah cenderung mendiskredikan posisi yang diambil Siti Aisyah.
Secara berhati-hati dan seksama Asma Muhammad Ahmad Ziyadah menelusuri hadis ini dan membahas berbagai hal yang terkait dengan hadis tersebut termasuk bukti-bukti historis bahwa para shahabiyat Nabi sejak awal sudah terlibat dalam perjuangan politik kaum Muslimin awal. Dalam karya geniusnya, Dawr al-Mar’ah as-Siyasi fi ’Ahd an-Nabiy wa al-Khulafa ar-Rasyidin (2002) Asma tiba pada satu simpulan bahwa apa yang dimaksudkan Nabi saw dalam sabdanya yang termuat dalam hadis riwayat Abu Bakrah itu berbeda secara diametral dengan apa yang dipahami ummat.
Dalam hadis itu sungguh Nabi tidak bermaksud untuk melarang perempuan menjadi pemimpin tetapi Senyatanya Nabi saw sedang menilai kepemimpinan perempuan yang tidak berkualifikasi sebagai pemimpin yang mengakibatkan kebangkrutan bangsanya. Dalam hal ini berlaku kaidah yang berbunyi al-’ibrah bikhususisabab laa bi’umumilafzh, ungkapan yang tercakup dalam nash merupakan peristiwa khusus dan karenanya tidak berlaku umum. Terbacalah bahwa hadis Abu Bakrah diatas hanya mengandung muatan peristiwa yang kasuistik yang tidak berlaku secara universal. Paham inipun dianut oleh Putusan Tarjih Muhammadiyah sebagaimana terungkap dalam Adabul Mar’ah fil Islam (1982). Demikianlah terhadap hadis puasa sunah pun berlaku cara pembacaan yang sama.
Wallahu A’lam bish-Shawab.
Wawan Gunawan Abd. Wahid, Alumni angkatan pertama Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut (1978-1984), Mengajar di Fak. Syrai’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber: Majalah SM No 24 Tahun 2008