Islam yang Mengindonesia
Oleh Prof Dr. Haedar Nashir, M.Si.
Islam sebagai agama terakhir yang sempurna dan paripurna adalah satu dan berlaku umum atau universal (QS Al-Maidah: 2, Ali Imran: 19). Namun Islam dalam kenyataan hidup pemeluknya tidaklah tunggal dan paripurna, sebab dipengaruhi dan beradaptasi dengan kebudayaan, situasi, dan berbagai faktor yang betsifat historis dan sosiologi tergantung para pemeluk itu berada yang membentuk meragaman wujud keislaman. Prinsip-prinsip Islamnya secara umum sama, tetapi cabang dan perwujudan keislamannya yang beragam, sehingga melahirkan “satu Islam banyak ragam mu’amalah Islam dan wajah keumatan”. Lahirlah ragam muslim dan masyarakat Islam Arab, muslim dan masyarakat Islam Eropa, muslim dan masyarakat Indonesia, dan sebagainya dalam satu rumpun Islam.
Alhamdulillah masyarakat muslim Indonesia merupakan penduduk mayoritas di negeri tercinta ini. Islam datang ke kepulauan Indonesia secara damai tanpa perang dan kekerasan, yang membentuk kepribadian masyarakat muslim yang moderat dan tidak ekstem serta keras. Perang terjadi ketika penjajah Barat masuk ke negeri ini, yang juga ikut mempemgaruhi sikap umat Islam terhadap Barat, sebagaiman hal serupa terjadi sebaliknya. Tetapi secara umum masyarakat Islam Indonesia memiliki karakter yang khas, yang membentuk Islam atau Muslim yang mengindonesia. Karena asimilasi keislaman dan keindonesiaan itu positif, maka penting menyambung matarantai keislaman dan keindonesiaan itu menjadi komitmen seluruh umat Islam Indonesia.
Karakter Keindonesiaan
Islam Indonesia itu khas baik kehadiran maupun karakter keislamannya dlam diri umat muslim. Islam datang ke kepulauan Indonesia sejak akhir abad ketujuh menjrut Buya Hamka atau pada abad sesudahnya menurut para ahli sejarah, keadaanya ketika agama Hindu telah mengakar kuat dalam masyarakat setempat. Islamisasi bukan sekadar berarti penerimaan ajaran secara doktrinal tetapi sekaligus pengorbanan untuk akomodasi terhadap perubahan dan tuntutan zaman dalam proses akulturasi yang normal tanpa kehilangan esensi dan prinsip ajaran.
Di sinilah Islamisasi bukan sekadar proses internalisasi ajaran sebagaimana doktrin ortodoksi Islam, tetapi sekaligus penghadapan Islam dengan sejarah dan kebudayaan di mana Islam itu hadir, tumbuh, dan berkembang. Dalam proses Islamisasi yang diwarnai persambungan dan perubahan itulah gerak pemurnian Islam yang berpijak pada ortodoksi Islam berjalan dinamik dengan pembaruan sebagai jawaban atas tantangan zaman, yang melahirkan corak Islam yang pusparagam di kepulauan Nusantara (Abdullah, 1974).
Adaptasi umat Islam dengan keindonesiaan yang saat itu didominasi pemeluk Hindu berkangsung secara kultural, bukan politik. Dalam pandangan Harry J. Benda, di pulau Jawa terutama, “ Hinduisasi” atau lebih tepat “Indianisasi” tembus secara mendalam dan meninggalkan bekas lama sekali (Benda, 1974: 36). Dalam kaitan ini penghadapan Islam dan kebudayaan Nunastara bercorak animstik dan Hindu inilah yang kemudian melahirakan dinamika dan corak Islam yang beragam di negeri ini, yang melekat dengan keindonesiaan. Di sejumlah komunitas umat terdapat pengaruh yang kental dari kehinduan itu sehingga melahirkan apa yang oleh Clifford Geertz disebut “agama Jawa” atau “abangan”, sedangkan yang lebih “murni” disebut “santri”.
Kendati umat Islam terbentuk setelah masyarakat yang beragama Hindu, selain yang beragama aseli setempat, tetapi Islam atau umat Islam telah tertanam kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Menurut antropolog Koentjaraningrat, bahwa di daerah-daerah yang belum amat terpengaruh oleh kebudayaan Hindu, agama Islam mempunyai pengaruh yang mendalam dalam kehidupan penduduk di daerah yang bersangkutan. Demikianlah keadaannya misalnya di Aceh, di Banten, di Panta Utara Jawa, dan di Sulawesi Selatan. Adapun lain-lain daerah di Sumatra seperti Sumatra Timur, Sumatra Barat, dan Pantai Kalimantan, mengalami proses pengaruh yang sama (Koentjaraningrat, 1976).
Sebaliknya, menurut antropolog dari Universitas Indonesia itu, “di daerah-daerah di mana pengaruh kebudayaan Hindu itu kuat dan telah mengembangkan suatu corak tersendiri seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur, agama Islam dirobah menjadi suatu agama yang kita kenal dengan nama agama Jawa. Adapun orang yang menganut ajaran-ajaran dan syari’ah agama Islam secara taat, disebut dalam bahasa Jawa orang Islam Santri.
Sudah tentu orang Islam Santri itu tidak hanya ada di daerah pesisir di Jawa Tengah dan Jawa Timur saja; mereka ada juga tersebar di seluruh Jawa, hanya saja ada daerah-daerah di mana orang Santri itu dominan merupakan sebagian besar dari penduduk, seperti misalnya di daerah-daerah pesisir utara Jawa Timur, tetapi ada pula daerah-daerah di mana orang Santri itu hanya merupakan suatu minoritas, seperti misalnya di daerah Yogya, Surakarta, Madiun, dan lain-lain.”.
Di sinilah pentingnya memahami sejarah dan kondisi sosiologis masyarakat Islam Indonesia terrmasuk untuk kepentingan dakwah dan membangun keislaman di negeri ini. Seraya dengan itu mesti dipertimbangkan tidak mudah membawa kultur keislaman dari negeri lain meskipun sama-sama Islam, lebih-lebih yang bertentangan dengan watak dan kebudayaan masyarakat Islam Indonesia. Kebudayaan di manapun memang dinamis dan terbuka pada pengaruh luar, tetapi semuanya memerlukan adaptasi yang cerdas, bijak, dan tidak memaksakan seakan prinsip Islam seperti pakaian cadar dan sejenisnya. Demikian pula dengan watak masyarakat di negeri lain yang boleh terbentuk keras oleh alam yang keras, yang kemudian diadopsi ke Indonesia seolah ajaran padahal lebih merupakan ekspresi keislaman. Meski, muslim Indonesia pun tentu tidak perlu ekslusif dsn chauvinistik seolah merasa yang terbaik di muka bumi.
Karakter Moderat
Proses Islamisasi yang kultural dalam proses asimialsi yang kental mengindonesia itu, menjadikan Islam Indonesia itu menjelma sebgaai masyarakat muslim moderat atau “wasathiyyah”, bukan umat yang keras dan ekstrem seperti di tempat lain. Kelompok moderat atau ”umat tengahan”, yaitu kelompok Islam yang memiliki sikap keberagamaan sebagi berikut: (1) Kemoderatan dalam berkeyakinan sebagaimana sikap ”ummat wasatha”, (2) Mudah dalam kewajiban dan hukum, serta ringan dalam praktiknya, (3) Menghilangkan kesempitan dan keberatan dalam menjalankan kewajiban dan hukum, (4) Terbukanya pintu rukhshah atau keringanan, (5) Kontinyu dalam beribadah walaupun sedikit, (6) Kemoderatan dalam perilaku dan berinteraksi, (7) dan Moderat dalam menjalankan peraturan (Az-Zuhaili, 2005).
Secara sosiologis masyarakat Islam yang diwakili dua organisasi Islam besar yakni Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama mewakili arus tengah atau moderat Islam di Indonesia. Muhammadiyah lebih bercorak gerakan modern, sedangkan Nahdlatul Ulama sering dusebut tradisional, meskipun saat ini kedua kategorisasi tersebut tidak lagi kontras. Secara umum corak Islam radikal terutama yang melakukan perjuangan Islam melalui cara-cara keras dan kekerasan sebagaimana yang menguat pada era reformasi kendati jumlahnya kecil, bukan merupakan arus besar masyarakat Islam Indonesia, dengan kata lain merupakan bentuk anomali atau berlainan dari karaktr umum masyarakat Islam Indonesia yang moderat.
Karakter Islam yang moderat sejalan dengan watak masyarakat Indonesia pada umumnya yang majemuk, sehingga menumbuhkan Islam dan masyarakat Islam yang toleran, terbuka, damai, dialogis, menjunjungtinggi kerjasama, dan menjauhkan diri dari sikap ekslusif, keras, dan konflik. Masyarakat Indonesia yang majemuk bukan saja dari segi agama, tetapi juga budaya dan orientasi politik, sehingga melahirkan keragaman dan dinamika perilaku sosial yang kompleks. Kemajemukan bahkan telah menjadi karakter khas masyarakat Indonesia sejak awal, yang memperoleh legitimasi politik ketika Indonesia merdeka tahun 1945 dengan konsensus nasional menjadikan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, serta menjadikan Bhineka Tunggal Ika sebagai wahana sosial-budaya dan politik untuk menyatu dalam keragaman.
Dalam dinamika masyarakat Indonesia yang majemuk itulah maka masyarakat muslim arus besar yang berkarakter moderat memperoleh ruang sosiologis yang senapas dan sejalan, sehingga melahirkan integrasi nasional yang kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sinilah sumbangan Islam dan masyarakat Islam di Indonesia terhadap integrasi nasional dan kemajemukan sosial di Indonesia. Dengan demikian terjadi proses integrasi keislaman dan keindonesiaan secara kultural dalam proses sejarah yang panjang, yang membentuk karakter Islam yang mengindonesia.
Artinya Islam yang dipraktikkan di Indonesia betul-betul membumi sejalan dengan dan memberi sibghah pada masyarakat Indonesia yang reiljius dan Islami dalam watak umum moderat. Kondisi yang simbiosis-mutualistik ini tidak menghilangkan prinsip Islam tetapi memebentuk keislaman umat muslim Indonesia yang “ummatan wasatha” berkarakter keindonesiaan.
Sumber: Majalah SM Edisi 1 Tahun 2020