Menyatukan Katak dan Tikus (2)
Lanjutan
Oleh: Riki Dhamparan Putra
Dengan hati yang telah terikat satu sama lain itu, kisah Katak dan Tikus berlanjut pada perjalanan yang lebih berat dan panjang, yang akan membukakan cakrawala Keesaan yang lebih luas. Namun dalam tulisan sederhana ini cukuplah kita ulas beberapa topik saja. Yakni, vitalnya makna dialog untuk mencapai kesalingpengertian, bagaimana itu membuka peluang bagi terwujudnya hal yang mustahil – sebagaimana mustahilnya melihat tikus dan katak berdamai. Dan yang terlebih pokok adalah benang merah yang bisa ditarik dari pesan puisi itu: bahwa dialog merupakan bagian dari proses pengejawantahan nilai Tauhid di muka bumi.
Abad-abad ketika kisah simbolik Katak dan Tikus ini diangkat Rumi ke dalam Masnawinya, merupakan era yang penting dalam sejarah kebudayaan Islam. Para sejarawan mengatakan, abad 13 C.E merupakan titik awal dari proses transformasi berbagai cabang ilmu Keislaman, sebagai hasil interaksi dengan capaian kebudayaan-kebudayaan yang berbeda, baik di Asia Tengah, Asia Minor, Selatan bahkan Timur sebagai dampak dari penaklukan Mongol atas wilayah-wilayah Islam.
Kontak ilmu pengetahuan yang di abad-abad 9-12 C.E berlangsung melalui transliterasi dan pengalaman interteks para cendikiawan Muslim dengan pengetahuan Yunani kuno, India dan Persia pra Islam, kini berlangsung secara empirik melalui kontak budaya yang massif. Pada saat bersamaan, para ulama berupaya mengelaborasi syariah agar terintegrasi ke dalam filsafat dan tasawuf, mengembangkan formula baru dari ilmu pemerintahan dan menyesuaikan diri dengan situasi baru.
Di bidang ilmu Ketuhanan, inilah era saat sufisme mendominasi kebudayaan dan pemikiran dunia Islam. Baik wilayah yang menolak, maupun oligarki-oligarki baru pendukung Mongol yang bertumbuhan, telah memanfaatkan guru-guru tasawuf yang mengungsi untuk membantu mereka secara praktis. Keterlibatan guru-guru tasawuf dalam proses pendirian dinasti baru – seperti misalnya yang berlangsung di kesultanan Delhi, Mamluk, dan bekas Abbasid – dengan demikian menjadi titik awal dari terlibatnya kaum sufi ke dalam politik praktis. Sejarah mencatat, perkembangan selanjutnya akan memiliki pengaruh besar pada model pengembangan syiar Islam dan politik Islam di wilayah-wilayah lebih jauh seperti di Asia Tenggara.
Invasi Mongol dan kejatuhan kesultanan-kesultanan Islam, jelas menurunkan kepercayaan masyarakat kepada penguasa-penguasa politik, situasi yang akhirnya membuka peluang bagi jaringan-jaringan kaum sufi untuk meningkatkan pengaruh di lapangan sosial dan budaya karena sufisme dianggap sebagai obat penyembuh dari luka akibat kehancuran. Tetapi yang terpenting juga adalah interaksi budaya yang meningkat di antara banyak wilayah taklukan Mongol, sebagai blessing in disguises dari politik Mongol yang cenderung memberdayakan kepandaian, bahasa-bahasa, kebiasaan, serta potensi politik lokal wilayah taklukannya untuk menutupi kekurangan keahlian administrasi dan tata negaranya.
Dari segi tasawuf, patut ditimbang pula, daya lentur dalam ajaran-ajaran sufi, telah membuatnya mampu beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan maupun capaian budaya di tempat yang mereka datangi. Suatu prestasi yang dibelakang hari justru menjadi masalah bagi kelompok ini lantaran kearifan semacam itu sering dikecam sebagai praktek menyimpang dari ajaran agama oleh kelompok konservatif.
Bagi Rumi sendiri, latar belakang sejarah yang semacam itu tentu menginspirasi perkembangan tasawuf dan sastranya. Antara 1215 – 1220 C.E, Genghis Khan menaklukan Bukhara, Samarkand, Balkh dan wilayah Khwarizmia lainnya. Seperempat abad kemudian, Hulagu menghancurkan kekhalifahan Abbasid di Baghdad pada 1258. Sebelum penaklukan Baghdad itu, Ayah Rumi, Baha’uddin Valad yang merupakan seorang sepuh sufi Khorasan, membawa keluarganya meninggalkan Balkh menuju Baghdad, Makah, lalu ke Konya Turki atas undangan raja Aladdin Kikhbad yang memerintah Seljuk Romawi ketika itu.
Walaupun ada yang berkata Rumi telah telah mendapat ijazah tasawuf dari Fariduddin Attar saat keluarganya di Bukhara, tetapi secara intens baru di Konya itulah ia menekuni tasawuf di bawah bimbingan Burhanuddin Tirmidzi selama sembilan tahun. Konya yang tidak terinvasi Mongol, memberi peluang pada Rumi untuk mengembangkan tasawufnya. Masnawi sendiri, menurut Schimmel, baru ditulis atas desakan Husamuddin Celebi, seorang muridnya yang paling cemerlang, yang sebenarnya menjadi teman diskusinya dalam menyusun Masnawi.
Seperti arus yang tidak terbendung, Masnawi melintasi batas-batas regional dan bahkan melintasi batas zaman – menurut istilah Nicholson di atas. Jika menggunakan komentar Seyyed Hossein Nasr, rupanya bukan hanya gurun dan bukit rohani Parsi dan Indo-Pakistan yang telah disinari cahaya Masnawi. Dalam sejarah Turki, tarekat Maulawi yang didirikan Rumi berperan vital saat pendirian dinasti Ottoman – sebuah dinasti yang kemudian eksis selama ratusan tahun dan dapat dianggap semacam kebangkitan lain di dunia Islam setelah runtuhnya kekuasaan Islam di Asia Tengah dan Persia oleh Mongol.
Mungkin karena pengaruh semacam itu pula, yang membuat penyair dan filsuf Mohammad Iqbal menjuluki Maulana Rumi dengan sebutan “Raja Rum”. Bagi Iqbal sendiri, Rumi sangat berarti karena berkatnya “petala bumi saya yang tandus telah menjadi emas// dan hamburan debu menjadi kembang api kemegahan..”(Asrar i Khudi). Bila kita lacak makna kata debu antara Iqbal dan Sa’di Al Sirazi misalnya, jelas ada lompatan dramatis yang hendak diungkap Iqbal. Sebab di tangan Sa’di: “debu yang dilemparkan tinggi ke langit, tetap hanyalah debu. Sementara bagi Iqbal, halnya menjadi lain. Tiap aktivitas, ternyata membawa potensi keajaiban selaku pengubah.
Dapatlah kita bayangkan betapa besarnya pengaruh dan peran Maulana Rumi dalam lompatan spritual seorang Sir Iqbal. Dengan Rumi pula ia melakukan mi’raj intelektual dan spritual, bertemu dengan para Nabi, para auliya perintis tasawuf, pendeta-pendeta Zoroaster dari Persia kuno, monisme Vedanta, dan filsuf-filsuf zaman yang cemerlang sebagaimana bisa kita nikmati dalam Asrar-i- Khudi (Rahasia Diri). Pesona tasawuf Rumi bagi Iqbal, bukan semata batu uji bagi dunia tasawuf dan pemikiran filsafat lain, tetapi juga suluh yang menerangi jalan pencarian Iqbal.
Kurang lebih, keintiman Iqbal dan Rumi tak jauh berbeda dengan keintiman yang tergambar dalam kisah Katak dan Tikus dalam kisah Masnawi yang kita urai di atas. Sebuah keintiman yang dilandasi oleh rasa tanggungjawab, sebagai perwujudan kongkrit dari cinta yang gaib. Maulana Rumi adalah suluh bagi nalar suci yang gelisah dalam kerinduannya pada ‘Sang Raja’, dan Iqbal umpama nalar suci itu (Terdapat pengayaan penyebutan dalam cara subjek Tikus menyebut Sang Katak menurut terjemahan Nicholson. Tetapi eksplisit, Sang Katak telah disebut sebagai “O Lamp of Intelligence”).
Hubungan intim Rumi dan Iqbal, menurut bishop Michael James Nazir Ali, berlangsung begitu dalam. Tasawuf Rumi menyertai evolusi pemikiran tasawuf Iqbal, dari yang mulanya bersifat monisme panteistik (wahdat al wujud) dalam menilai Rumi, ke fase yang lebih evaluatif di mana aktivisme kemanusiaan mendapat tempat yang utama. Suatu capaian yang menurut peneliti, menegaskan watak tasawuf Qur’an pada mistik Rumi dan Iqbal, di dalam keuniversalannya.
Annemarie Schimmel mengatakan, di tangan Iqbal, aspek dinamis Rumi menjadi relevan dengan pikiran-pikiran filsafat modern abad 20 C.E. Pernyataan itu mengandaikan, bahwa Iqbal telah membuka pintu yang lebar bagi eksistensi mistik dunia Timur abad 13 ke dalam kehidupan abad 20 C.E. Di dunia Islam, wujudnya adalah cita kebangkitan peradaban melalui rekonstruksi atas pikiran-pikiran beku dan baku yang diimani selama berabad-abad oleh umat Islam.
Lumpuh Tanpa Cinta
Menurut Buya Syafii Maarif, bangunan peradaban yang diidealkan Iqbal sejatinya merupakan satu bangunan anggun yang mengawinkan warisan kebajikan Timur dan Barat, yang dalam sajak Iqbal sendiri diungkapkan sebagai perkawinan antara intelek dan cinta. Buya Syafii telah mengutipkan petikan sajak itu untuk melengkapi esainya tentang Muhammad Iqbal (Ahmad Syafii Maarif. Nyanyian Keabadian Iqbal, Telinga Mana yang Masih Hirau?. Republika 03 September 2019):
“Di Barat, intelek adalah sumber kehidupan.
Di Timur, Cinta adalah dasar kehidupan.
Melalui Cinta, Intelek tumbuh berkenalan dengan Realitas,
Dan Intelek memberikan stabilitas kepada pekerjaan Cinta,
Bangkitlah dan letakkan fondasi sebuah dunia baru,
Melalui perkawinan Intelek dengan Cinta.”
Pada masa sekarang, barangkali terminologi Barat dan Timur tidak dapat lagi sepenuhnya digunakan untuk mengidentifikasi peradaban. Oleh karena pada kenyataannya, warisan pemikiran Barat telah menjadi mesin utama dinamika peradaban di berbagai belahan dunia. Namun demikian, dalam pandangan Buya Syafii, kemajuan peradaban saat ini berjalan timpang, bukan saja dalam arti sosial ekonomi, tetapi karena kemajuan itu membawa manusia jauh dari nilai-nilai Al Qur’an. Atau lebih tepatnya, terpisah dari Cinta Ilahi akibat dari gempuran sekularisme.
Dalam dunia yang sudah tersekularisasi itu, Islam yang saat ini berada di buritan pincit peradaban global, tentu dituntut untuk merumuskan strategi peradaban yang lebih mengena, yang dapat membebaskannya dari keterpurukan dan membawanya setara dengan peradaban-peradaban lain yang sudah maju. Pada moment inilah, pandangan Iqbal tentang perkawinan antara akal dan cinta tetap relevan, bahkan urgen.
Sayangnya, menurut Buya Syafii, hal itu tak kunjung terjadi. Tanggapan global dunia Islam terhadap laju sekularisme dan neo-imperialisme Barat itu justru berujung pada benturan yang menciderai nilai-nilai Islam itu sendiri. Alih-alih menyadari keuniversalan sebagai bagian dari umat manusia, yang menguat justru politik identitas dan ekstrimisme. Padahal idealnya, menurutnya yang dikedepankan bukan kekerasan perlawanan, melainkan koreksi internal umat dan kemauan untuk melihat diri secara jujur.
Persaudaraan Universal
Kata yang kerap digunakan digunakan Buya Syafii untuk menggambarkan situasi umat Islam global saat ini adalah kelumpuhan, yang terjadi “semata-mata karena kebodohan dan kecerobohan umat yang hobinya berpecah belah dan menguras energi untuk sesuatu yang sia-sia” (Krisis Arab Dan Masa Depan Dunia Islam, hal.189. Maarif Istitute. 2018). Lagi-lagi, Buya Syafii berpendapat, faktor utama yang menimbulkan kebodohan yang melumpuhkan itu adalah kegagalan umat Islam memahami intisari kitab sucinya sendiri, yang sebenarnya telah menawarkan obat bagi semua penyakit yang diderita umat ini.
Masih dari lubuk kearifan Mohammad Iqbal, Buya Syafii kerap mengingatkan pentingnya bagi umat yang sedang terhina ini membangun lagi persatuan dan persaudaraan universal jika ingin bangkit dari kejatuhannya. Untuk itu ia telah mengutip sebait pesan dalam Asrar-i-Khudi; ikat kembali dedaunan yang berserakan ini/hidupkan hukum cinta! (Krisis Arab Dan Masa Depan Dunia Islam, hal.189. Maarif Istitute. 2018).
Lebih detail, dalam satu risalah yang membahas surat al-Hujurat ayat 10 dan 13, yang dipublikasikan secara berseri di rubrik resonansinya, ia menguraikan, betapa ide persaudaraan universal itu merupakan perintah yang jelas dalam Al Qur’an (Rubrik “Resonansi”. Republika. 13/01/2015, 20/01/2015, 27/01/2015). Ia menyimpulkan, terbuka dua pilihan bagi umat Islam saat ini untuk bersaudara atau terus bermusuhan dengan “memaksa” bumi ini untuk semakin menjadi membara. Alquran menurutnya, tidak diragukan lagi memerintahkan agar umat manusia menggiring bola sejarah ke arah pilihan yang pertama: mewujudkan persaudaraan universal demi keamanan ontologis manusia.
Terkandung sebuah pesan menantang pada pernyataan ini. Artinya, umat Islam ditantang untuk memulihkan kembali wawasan Kitab Suci-nya yang telah tercemar oleh sejarah kepentingan geopolitik, sektarian, nafsu kekuasaan, yang menurut Iqbal sebenarnya adalah ‘orang asing’ di dalam Islam itu sendiri.