Statement Ketum NU dan Menag RI Membuka Jalan Kelompok Eksklusif

ketum nu

Foto Dok SA

Statement Ketum NU dan Menag RI Membuka Jalan Kelompok Eksklusif

Oleh: Sudarnoto Abdul Hakim

Pernyataan KH Said Aqil Siradj dan Yaqut Cholil Qoumas baru-baru ini menimbulkan kontroversi. KH. Aqil mengatakan semua jabatan seperti Menteri Agama, MUI termasuk  Khatib dan Imam-imam masjid haruslah dipegang oleh orang-orang NU. Bahkan dua tahun yang lalu dengan nada dan spirit yang sama, Kiyai Aqil menegaskan bahwa seluruh kepala KUA se-Indonesia haruslah dipegang oleh orang NU. Jika bukan orang NU, maka akan salah semua.

Ini adalah Syuhudan Diniyyan, Syuhudan Siyasiyan yaitu peran dan posisi keagamaan dan politik NU yang harus diwujudkan. Langkah-langkah yang efektif harus dilakukan agar semua jabatan itu jangan sampai dipegang oleh orang-orang yang bukan NU. Sementara, Yaqut juga mengatakan bahwa Kementerian Agama itu adalah hadiah negara kepada NU, bukan kepada umat Islam.

Sehubungan dengan itu, sebagai akademisi dan pengamat sosial politik dan keagamaan, saya merasa terusik dengan pandangan dua tokoh elit muslim Indonesia ini dan terdorong untuk  menyampaikan beberapa catatan.

Saya merasa heran dan sangat menyesalkan terhadap statemen yang dibuat justru oleh dua tokoh penting yaitu Ketua Umum PB. NU dan Menteri Agama RI. Hemat saya, seharusnya Kiayi Aqil memiliki kemauan, awareness dan kemampuan untuk menampilan Ormas Islam NU sebagai salah satu kekuatan civil society muslim Indonesia yang secara jujur dan terbuka mengatakan bahwa republik ini dibangun oleh banyak elemen bangsa. NU hanyalah salah satu saja dari sejumlah elemen bangsa yang ikut berperan penting memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Fakta sejarah peran para ulama dan Kiyai dari Pondok Pesantren dan NU tak terbantahkan. Sudah banyak hasil riset yang menggambarkan peran-peran penting para Kiyai dan Ulama Nusantara ini. Akan tetapi, peran para tokoh muslim lainnya dari Muhammadiyah, PERSIS, PERTI, NW dan sebagainya juga sangat penting dan menentukan dalam perjuangan sejarah bangsa Indonesia. Jadi Indonesia ini adalah negeri banyak orang, bukan negerinya warga NU.

Sikap yang sama seharusnya juga ditampilkan oleh Menteri Agama RI, Yaqut. Sebagai seorang aktivis dan pimpinan sebuah ormas pemuda muslim yang sangat terkenal, dari keluarga santri dan saat ini menjabat sebagai Menteri Agama RI semestinya mengerti betul sejarah pergerakan dan perjuangan bangsa Indonesia dan secara khusus sejarah kementerian agama. Sudah banyak hasil riset yang dilakukan oleh para sarjana dan peneliti dari Indonesia dan dari luar tentang sejarah kementerian agama ini. Secara akademik dan ilmiyah, statement Menteri Agama tidak bisa dipertanggung jawabkan bahwa Kementerian Agama itu adalah hadiah dari negara untuk NU. Perlu dihindari dan menahan diri untuk tidak memberikan pandangan atau statement emosional dan  tidak bisa dipertanggung jawabkan secara akademik. Menghargai karya-karya sejarah yang kredibel secara ilmiyah itu sangat penting karena ini sekaligus mencerminkan sikap hormat seorang Menteri kepada ilmu pengetahuan.

Demokrasi memberikan ruang yang equal kepada semua warga bangsa untuk memainkan peran-peran dalam bidang-bidang yang diminati. Semua warga bangsa secara konstitusional dan politik memperoleh jaminan dan perlindungan untuk berkiprah secara maksimal. Karena itu, prinsip prinsip seperti meritokrasi, professional, partisipatif, inklusif dan berkeadilan menjadi penting dalam demokrasi. Saya memandang, statement kiyai Aqil dan Menag berpotensi mengabaikan dan bahkan melanggar berbagai prinsip demokrasi  dalam mengelola negara ini. Padahal NU, di mana Kiai Aqil dan Yaqut menjadi tokoh penting, dikenal  sebagai salah satu Ormas Islam yang mengusung dan memperjuangkan pandangan Washatiyah. Saya menghawatirkan statemen Kiai Aqil dan Menag Yaqut ini justru berpotensi membuka jalan bagi kelompok eksklusif di kantong NU dan pasti ini akan membahayakan bagi upaya mainstreaming Washatiyatul Islam dan demokrasi.

Saya menyadari ini adalah hak kiyai Aqil dan Menag untuk memperjuangkan warga NU agar memperoleh posisi sosial keagamaan dan politik secara maksimal. Semangat ini juga muncul di ormas-ormas Islam dan apalagi organisasi politik yang lain. Akan tetapi, diperlukan cara-cara atau Manhaj yang bersesuaian dengan Etika dan prinsip demokrasi, menghargai keberadaan warga bangsa yang lain dan yang juga sangat penting tidak mengelabuhi sejarah. Bersahabat dan sekaligus berkompetisi yang sehat dan beradab di kalangan anak bangsa sangatlah penting agar negeri dan bangsa ini tidak oleng.

Sudarnoto Abdul Hakim, Akademisi dan Pengamat sosial Kegamaan dan Politik

Exit mobile version