Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) adalah badan pembantu pimpinan Pesyarikatan guna membumikan visi sosial Muhammadiyah. Visi sosial Muhammadiyah adalah mendasarkan pada Al-Qur’an surat Al-Ma’un yang sejak kelahirannya diajarkan oleh KH Ahmad Dahlan. Tiga ayat awal dari surat Al-Ma’un ini memberi inspirasi bagi dikembangkannya berbagai aktivitas untuk memberdayakan masyarakat yang miskin dan terpinggirkan, tetapi sekaligus dengan itu mendorong juga upaya serius dalam rangka menjamin ketersediaan pangan yang halal dan thayib. Kalau “tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” menjadi salah satu indikator dari para pendusta agama, maka jaminan bagi ketercukupan pangan bagi orang miskinpun menjadi sesuatu yang perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh.
Ketika Muktamar Muhammadiyah ke-44 dilaksanakan di Jakarta tahun 2000, sudah dirintis sebuah lembaga yaitu Lembaga Pemberdayaan Buruh, Tani dan Nelayan (LPBTN) yang menjadi cikal bakal lahirnya Majelis Pemberdayaan Masyarakat. Lembaga tersebut diprakarsai oleh Dr Moeslim Abdurrahman. Bersama-sama dengan sejumlah aktivis Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), lembaga ini mengembangkan pilot project pendampingan dan advokasi melalui radio komunitas.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, Jawa Timur, tahun 2005, muncul pemikiran untuk memperluas jelajah dan kerja-kerja pemberdayaan dan menjadikan PKO sebagai tenda besar pelayanan dan keberpihakan sosial Muhammadiyah secara terpadu dan lebih luas. Tercetusnya komitmen pemberdayaan sosial dan segenap potensi masyarakat dan umat ini tidak terlepas dari tuntutan yang dihadapi oleh Muhammadiyah untuk dapat berpihak dan membela problem-problem masyarkat di akar rumput dan komunitas mustadh’afin dalam berbagai ruang lingkup dan variasinya.
Sebagai majelis baru, Majelis Pemberdayaan Masyarakat dihadapkan pada tantangan internal dan eksternal yang sangat besar. Tantangan internal berhadapan dengan belum terbentuknya majelis ini sampai ke tingkat struktur Muhammadiyah cabang, belum sinerginya semua elemen Persyarikatan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan pemberdayaan, dan ketersediaan sumber daya. Adapun tantangan eksternal berkaitan dengan kemiskian struktural, luluh-lantaknya modal sosial masyarakat, dan rendahnya partisipasi warga berkaitan dengan kebijakan publik.
Dalam konteks inilah, peran Majelis Pemberdayaan Masyarakat tidak lagi harus berkutat dengan wacana dan pergulatan intelektualisme semata-mata, melainkan perlu mengejawantahkannya pada tingkat praksis sosial yang lebih nyata dan lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan umat. Majelis Pemberdayaan Masyarakat bekerja dengan semangat al-Maun melintasi sekat ideologi, suku, dan struktur kelembagaan baik Muhammadiyah maupun negara.
Dalam menjelaskan cara kerja aktivitas pemberdayaan dalam berbagai konteks, Majelis Pemberdayaan Masyarakat mengacu pada pendekatan ekologi perkembangan manusia (ecology of human development) dan lingkungannya yang menyatakan bahwa intervensi sosial harus dapat menyentuh seluruh level relasi antar-individu dan lingkungannya. Berdasarkan konsep tersebut, bidang garap yang akan diberdayakan oleh majelis adalah: 1). Penyadaran masyarakat tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara, 2) Pengembangan kebutuhan dasar dan pendapatan masyarakat (yang miskin dan termarjinalisasi), 3) Advokasi kebijakan, terutama yang berhubungan dengan kebijakan publik yang tidak akomodatif dan sensitif terhadap kebutuhan masyarakat luas maupun komunitas-komunitas yang termarjinalisasi, 4) Pengembangan pusat krisis (crisis centre) yang ditekankan pada recovery centre di tingkat regional dan wilayah yang berfungsi sebagai respons cepat dan antisipasi terhadap problem sosial di masyarakat.
Melalui pendekatan-pendekatan tersebut, filosofi pemberdayaan yang dikembangkan oleh MPM adalah “mengembangkan cebong yang hanya mampu hidup di dalam kolam kecil menjadi katak yang dapat meloncat ke mana-mana”. Karena itu, peran Majelis Pemberdayaan Masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat ialah: 1. Sebagai fasilitator dan koordinator program pemberdayaan yang dilakukan oleh Muhammadiyah (termasuk organisasi otonom dan amal usaha) dalam berbagai skala dan variasi/konsentrasi kegiatan, 2. Sebagai inspirator dan motivator bagi warga Muhammadiyah untuk mengembangkan jiwa prososial dan voluntarisme, 3. Sebagai mediator individu, lingkungan, dan sistem yang lebih luas. (Imron Nasri)