Jerat Pinjaman Online Perspektif Hukum

Jerat Pinjaman Online Perspektif Hukum

Oleh: Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum

Fenomena pinjaman online (pinjol) kian meresahkan. Bagaimana tidak, bunga kredit yang tinggi, eksploitasi data pengguna atau si peminjam serta intimidasi yang dilakukan oleh pihak pinjol terhadap mereka yang tidak mampu membayar terkesan bar-bar dan kerap tidak beradab sehingga tidak heran ditemukan peristiwa bunuh diri yang disebabkan ketidakmampuan si peminjam membayar pinjaman online. Pantas diberi apresiasi atas tindakan kepolisian yang melakukan penggerebakan sejumlah pinjol yang meresahkan tersebut, sehingga berhasil mengamankan dana pinjol sebesar Rp20,4 miliar yang diduga sebagai dana pinjol illegal seperti yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Namun upaya tersebut jauh panggang dari api. Masih banyak rakyat yang terperangkap pada tawaran menggiurkan pinjol ini.

Akan tetapi citra pinjol tak selamanya dinilai negative, pujian terhadap pinjol pernah dilontarkan oleh Presiden Presiden Jokowi pada seperti yang disampaikan pada November 2020 lalu, Presiden Presiden Jokowi menilai aliran kredit dari para perusahaan pinjol di Indonesia luar biasa. Hal itu adalah karena nilai kreditnya meningkat cukup tinggi dalam beberapa waktu terakhir. Data yang dikantongi Presiden Presiden Jokowi mencatat para pinjol telah mengalirkan kredit mencapai Rp128,7 triliun per September 2020. Jumlah tersebut pun mengalami lonjakan sebesar 113 persen dari raihan pada September 2019. Tingginya aliran kredit dari pinjol sejalan dengan jumlah pemain yang terus bertambah dari waktu ke waktu. pada tahun 2020, setidaknya ada 89 perusahaan pinjol yang terdaftar di OJK, dan berkontribusi Rp9,87 triliun pada transaksi layanan jasa keuangan. Sementara sumbangan kredit dari pinjol berskema equity crowdfunding mencapai Rp15,5 triliun.

Bak Cendawan di musim hujan, munculnya pinjol ini dianggap sebagai pelabuhan terakhir bagi masyarakat yang tertekan dalam keadaan ekonom apalagi dalam keadaan pandemic seperti saat ini, Adapun pinjaman online biasanya didapatkan melalui aplikasi-aplikasi yang tersedia secara terang-terangan di google maupun melalui pesan kenomor pribadi, berbagai cara digunakan oleh platform pinjaman online untuk mencapai ke pelanggannya, selain itu berbagai tawaran yang menarik tentu menggiur masyarakat untuk melakukan pinjaman yang mana salah satunya adalah “pencairan dana dalam 5 menit” dan sebagainya. Hal ini merupakan trik tipu-tipu yang biasanya dilakukan oleh pinjaman online yang tidak berbadan hukum atau illegal untuk menggiur mata para masyarakat menengah ke bawah.

Cara instan meminjam uang via aplikasi dalam jaringan (daring) yang menjerat para nasabah dengan bunga kredit yang mencekik serta ancaman teror dari perusahaan pinjol, membuat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (19/10) turut bersuara. Menurut dia, apabila korban pinjol diteror karena tidak membayar utangnya, maka bisa melaporkannya kepada kantor polisi terdekat. “Kalau tidak membayar lalu ada yang tidak terima, diteror, lapor kepada kantor polisi terdekat. Bahkan beliau menganjurkan untuk tidak perlu membayar utang pinjol tersebut. Sontak statement beliau menuai pro kontra. Disatu sisi mau bagaimana pun membayar hutan adalah kewajiban bagi si peminjam namun praktik ‘teror’ dan intimidasi bagi oknum pinjol yang sewenang-wenang membuat ucapan pak menteri ada benarnya.

Transaksi pinjol merupakan hubungan perjanjian yang mempunyai ruh ‘pacta sunt servanda dianggap sebagai asas fundamental karena asa tersebut melandasi lahirnya suatu perjanjian. Asas pacta sunt servanda berasal dari bahasa latin yang berarti ‘janji harus ditepati’ (agreements must be kept), sehingga dalam hukum positif rumusan normanya menjadi: setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang dibuatnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa pinjol adalah hubungan ‘take or leave it’ yang memberikan pilihan kepada si peminjam jika menyetujui syarat yang diajukan oleh si pinjol maka silahkan ambil atau tidak bila sebaliknya karena menggunakan kontrak atau perjanjian yang cenderung menggunakan model klausula baku yang di beberapa Negara pun sudah ditolak.

Dalam Hukum Islam, asas pacta sunt servanda dikenal dengan asas al-hurriyah (kebebasan). Asas al-hurriyah merupakan prinsip dasar dalam hukum perjanjian/akad. Berdasarkan asas al-hurriyah, para pihak diberikan kebebasan melakukan perjanjian. Para pihak diberikan kebebasan untuk melakukan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi/materi, mekanisme, model perjanjian, menetapkan mekanisme penyelesaian sengketa, dan sebagainya. Tidak ada paksaan dalam melakukan perjanjian. Namun kebebasan tersebut tidaklah bersifat absolut. Meski diberikan kebebasan dalam melakukan perjanjian tentunya ada batasan-batasan yang harus patuhi, yaitu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam (syariah). Dengan kata lain, para pihak diberikan kebebasan dalam melakukan perjanjian selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

Pada dasarnya telah diatur di dalam Bab XIII Buku Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang mana diatur di dalam pasal 1754 yang berbunyi: Pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.

Dapat disimpulkan bahwa pasal di atas adalah suatu aktifitas terjadinya pemberian suatu barang dengan suatu perjanjian serta syarat dimana pihak kedua/yang meminjam harus mengembalikan dengan jumlah barang yang sama dan jumlah yang sama. Adapun perjanjian ini tentunya harus dilandaskan oleh pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi : Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat; 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang.

Bahwa syarat pertama dinamakan syarat subjektif, karena mengenai orang atau subjek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan, dua syarat terakhir dinamakan syarat objektif, karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Maka pada dasarnya jika salah satu dari kedua syarat objektif dan subjektif tidak terpenuhi maka perjanjian dianggap tidak sah, yang mana antara lain jika tidak terpenuhinya syarat objektif maka perjanjian adalah batal demi hukum, sedangkan jika syarat subjektif tidak terpenuhi maka pihak pertama atau pihak kedua dapat meminta pembatalan perjanjian atau dengan kata lain perjanjian dapat dibatalkan.

Adapun menegenai pengertian layanan pinjaman online serta dasar hukumnya diatur di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016/Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (“POJK 77/2016”) Pasal 1 angka (3) yang menyebutkan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.

Selain itu, lanjut di dalam Pasal 1 Angka (6) POJK menyebutkan bahwa penyelenggara Layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi adalah: Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Maka disini penyelenggara merupakan suatu entitas yang berbeda dengan pemberi pinjaman, Adapun mengapa kedua entitas ini dibedakan? Aturan ini telah diatur secara khusus di dalam Pasal 18 POJK 77/2016 yang menyatakan bahwa: Perjanjian pelaksanaan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi meliputi: 1. perjanjian antara Penyelenggara dengan Pemberi Pinjaman; dan 2. perjanjian antara Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman.

Dalam suatu layanan pinjaman online terdapat 3 elemen yaitu: 1. Penyelenggara; 2. Pemberi pinjaman (Pasal 1 angka 8 POJK 77/2016); 3. Penerima pinjaman (Pasal 1 angka 7 POJK 77/2016). Adapun dalam hal penyelenggara wajib untuk melakukan pendaftaran serta perizinan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan pasal Pasal 7 POJK 77/2016 yang menyebutkan, “Penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK.” Tentunya aturan ini bertujuan agar tercapainya kontrol secara merata terhadap layanan peminjaman online.

Adapun jika tidak terpenuhinya kewajiban ini oleh si penyelenggara maka akan ada sejumlah sanksi yang dapat dikenakan terhadap penyelenggara yang diatur di dalam Peraturan OJK Pasal 47 ayat (1) POJK 77/2016 yang menyatakan: Atas pelanggaran kewajiban dan larangan dalam peraturan OJK ini, OJK berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap Penyelenggara berupa: 1. peringatan tertulis; 2. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; 3. pembatasan kegiatan usaha; dan 4. pencabutan izin. Perlu digarisbawahi bahwa sanksi administratif berupa surat peringatan dapat dilangkahi yaitu langsung kepada sanksi denda, pencabutan izin serta pembatasan kegiatan usaha. Yang mana selain itu dapat dikenakan secara sendiri tersendiri maupun secara bersamaan dengan sanksi lainnya.

Masalah pinjol adalah gunung es dari pohon besar sistem ekonomi kapitalisme modern. Kegagalan negara mewujudkan jaminan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat yang tidak berdasarkan perangkap utang serta struktur perputaran kapital yang didominasi high-net-worth individual/institution yang tujuannya adalah memperbanyak laba dan melindungi nilai kekayaan mereka melalui skema yang sangat berpotensi financial crime menjadi salah satu titik krusialnya adalah Dark Money (pendanaan politik untuk menempatkan figur/kelompok tertentu dalam pemerintahan yang berwenang membentuk regulasi). Adanya aturan hukum akan memberikan kepastian hukum yang melahirkan sebuah perlindungan kepada masayarakat.

Dugaan bocornya data menjadi salah satu ‘pemantik’ eksistensi tawaran pinjol pada telepon genggam kita. Kepada mereka yang sudah terjerat justru semakin ditawari dengan lebih gencar agar semakin terjerat. Harus benar-benar ada pemimpin yang berani memberhentikan total bisnis pinjol ini, tak peduli legal maupun ilegal, dan menggantinya dengan model pemberdayaan ekonomi baru yang jauh dari skema jerat bunga dan utang. Perlu dan mendesak dilakukan pembersihan total terhadap orang-orang pemerintahan dan otoritas yang selama ini disuapi duit dari permainan bisnis ini, mulai dari hulu hingga hilir. Jika itu tidak terjadi maka negara ini akan dipenuhi makhluk pemimpin jadi-jadian yang dihasilkan melalui pemilu jadi-jadian untuk memperdaya pemilih menggunakan duit hitam tadi.

Dr. Abdul Hakim Siagian, Pakar Hukum Sumatera Utara, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumatera Utara yang membidangi Hukum/HAM.

Exit mobile version