Al-Jalil, Allah yang Maha Luhur
Di dalam Al-Quran tidak ada sebutan “Al-Jalil” untuk nama Allah. Hanya saja, Al-Quran menyebut dua kali kata “dzul-Jalali wal-Ikram”. Yaitu, dalam QS Ar-Rahman 27 dan 78. Dari sinilah kemudian muncul sebutan Al-Jalil untuk sifat Allah.
Al-Jalil, sebagaimana dalam Lisan Al-‘Arab, adalah salah satu sifat-sifat Allah yang menunjukkan bahwa Dia-lah yang memiliki keagungan dalam pengertian yang seluas-luasnya, yang mengacu kepada kesempurnaan sifat. Al-Jalil berasal dari kata “al-jillah” yang berarti “unta besar”.
Menurut Ar-Raghib dalam Mufradat Alfazhil Quran, ada perbedaan antara al-jalaalah dan al-jalal. Al-jalaalah adalah kekuasaan yang besar, sedangkan al-jalaalu tanpa ta marbutah adalah sebuah sifat yang memang dikhususkan kepada Allah dan tidak bisa digunakan untuk selain-Nya. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam QS. Ar-Rahman 27, “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.”
Makna Al-Jalil menunjukkan keagungan kekuasaan-Nya dan kebesaran urusan-Nya. Dia-lah al-Jalil yang membuat kecil setiap keagungan selain-Nya dan membuat rendah setiap yang tinggi selain-Nya. Meresapi makna Al-Jalil berarti memandang dan menempatkan Allah dalam kehidupan dunia ini. Urusan agama Allah adalah di atas segalanya. Keyakinan dan segala sikap perilaku harus bersandar pada ketentuan Allah. Tidak ada perbuatan kecil, jika diterima oleh Allah yang Maha Luhur dan Maha Besar.
Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda, “Termasuk bentuk pengagungan kepada Allah adalah memuliakan seorang muslim yang telah beruban, para pembaca Al-Qur’an yang tidak bersikap berlebihan dan tidak pula bersikap jauh dari bacaannya, serta memuliakan penguasa yang adil.” (HR. Abu Dawud) Dalam Hadits Qudsi juga disebutkan,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: المُتَحَابُّونَ فِي جَلَالِي لَهُمْ مَنَابِرُ مِنْ نُورٍ يَغْبِطُهُمُ النَّبِيُّونَ وَالشُّهَدَاءُ [رواه الترمذي]
Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku, maka mereka itu akan memiliki mimbar-mimbar dari cahaya yang diinginkan pula oleh para nabi dan para syahid.” (HR. Tirmidzi)
Seseorang yang meyakini Allah Yang Maha Luhur dan Maha Besar berarti mencintai Allah di atas segalanya. Ia akan lebih mengutamakan ibadah kepada Allah daripada sibuk dengan pekerjaannya. Ia akan mendahulukan urusan Allah dan Hari Akhir ketimbang dunianya. Dan, ia tidak akan memperbudak dirinya untuk sekedar urusan dunia, apalagi menghiba dan melacurkan diri untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan. Wallahu a’lamu.
Bahrus Surur At-Tibyaniy, Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah Sumenep
Sumber: Majalah SM Edisi 2 Tahun 2019