MAKASSAR, Suara Muhammadiyah – Rektor Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar Prof Ambo Asse hadir sebagai salah satu narasumber dalam Seminar Nasional Keagamaan dan Kebangsaan. Kegiatan ini digelar UIN Alauddin bekerjasama dengan Balitbang dan Diklat Kementerian Agama.
Narasumber lainnya yakni Prof Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin), Prof Adlin Sila (Kepala Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Balitbang dan Diklat Kemenag), dan Prof Abd Kadir Ahmad (Peneliti Balitbang Agama Makassar/ Wakil Ketua NU Sulsel).
Acara dihelat secara luring dan daring, Jumat (5/11/2021). Narasumber dan puluhan Pimpinan dan Dosen UIN Alauddin hadir di Lantai 4 Rektorat UIN Alauddin, Samata – Gowa. Sementara sebagian peserta lainnya hadir melalui aplikasi zoom meeting.
Tema yang diangkat, ‘Penguatan Moderasi Beragama Melalui Penerimaan Umat Beragama Terhadap Tradisi Keagamaan Setempat’.
Islam Wasathiyah
Dalam pemaparan materinya, Prof Ambo Asse menekankan bahwa moderasi beragama bukan berarti kombinasi ekstrim kanan dan kiri. Menurutnya, umat Nabi Muhammad saw harus dikembalikan kepada identitasnya.
“Allah swt menjelaskan beberapa identitas umat Nabi Muhammad saw dalam Alquran. Pertama, ummatan muslimat, umat muslim. Kedua, ummatan wasathan, umat pertengahan. Ketiga, Ummatan Qaimatan, umat yang tegak lurus. Keempat, Ummatan yad’ụna ilal khayr, umat yang senantiasa mengajak pada kebaikan. Kelima, syuhada ‘ala al-nas, atau umat yang dapat menilai dan menjadi saksi yang adil terhadap manusia yang berkelompok-kelompok,” jelas Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar ini.
Dalam menjalani kehidupan, menurut Ambo Asse, umat Islam dapat hidup berdampingan dengan warga masyarakat sekalipun berbeda keyakinan dan budaya dalam mewujudkan negara dan bangsa yang damai, adil, dan makmur sejahtera dalam lindungan Allah swt.
Menurut Ambo Asse, petunjuk menegakkan sikap wasathiyyah, salah satunya tertera dalam Surat Al Qasas ayat 77. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
“Ajaran Islam sudah sangat jelas. Tidak ada ajaran bom gereja atau bom bunuh diri,” tegasnya.
Dalam kaitannya dengan tradisi, Ambo Asse menegaskan Islam tidak anti kebudayaan. Namun ia menekankan beberapa rambu-rambu dalam menjalankan tradisi, seperti bebas dari kemusyrikan, tradisi yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt, memberi semangat agar terbentuk karakter akhlak mulia.
“Tradisi yang tidak mendatangkan bahaya dan kerugian terhadap seseorang, baik individu maupun bagi masyarakat. Serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam yang sudah bersifat universal, seperti kebenaran, kedamaian, persamaan hak, keadilan, persaudaraan, dan persatuan,” jelas Ambo Asse, yang juga merupakan Guru Besar UIN Alauddin.
Penguatan Moderasi Beragama
Kementerian Agama, kata Prof Adlin Sila, menggunakan istilah ‘Penguatan Moderasi Beragama’, karena moderasi beragama sejatinya merupakan karakter yang telah melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Namun belakangan ini terjadi proses pelemahan pandangan moderasi tersebut. Hal itu, ditunjukkan dengan berkembangnya pandangan keagamaan yang ekstrim, dengan menyampingkan pentingnya menjaga harkat kemanusiaan.
“Ada indikasi, terdapat pelemahan yang dilakukan oleh gerakan keagamaan trans-nasional, apalagi dengan kehadiran media sosial seperti Youtube, yang merupakan fenomena yang baru muncul belakangan,” ungkap alumni Australian National University (ANU) ini.
Rektor UIN Alauddin Prof Hamdan Juhannis berpandangan bahwa moderasi beragama diperlukan sebagai jalan tengah antara kelompok ekstrim teks dan ekstrim konteks.
“Kelompok ekstrim teks, sering disebut sebagai kaum konservatif. Ekstrim konteks, disebut kaum liberal. Keduanya, sama-sama mengancam kemanusiaan. Oleh karena itu penting penguatan paham wasathiyah, agar kemanusiaan bisa terpelihara,” ungkap alumni S3 ANU ini.
Oleh karena itu, Hamdan menawarkan tiga strategi. Pertama, from hostility to harmony. “Hostility itu menginjak, harmoni itu mengajak. Hostility membentak, harmoni merangkul,” ungkapnya.
Kedua, from tragedy to humor. Menurutntya, tragedi adalah konflik, humor itu harmoni. “Kita tidak bisa mengeluarkan humor kepada orang yang jauh secara jiwa”. Ketiga, To have religion to be religious. Dari pendekatan formal institusional menuju esensial substansial.
Sementara itu, Prof Abd Kadir Ahmad banyak mengulas hasil penelitian lapangan yang menunjukkan bahwa di berbagai daerah di Indonesia, moderasi beragama merupakan tradisi yang telah hidup dan berkembang sangat lama.