Literasi dan Kajian Manuskrip di Dunia Islam
Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Manuskrip (Arab: al-makhthuth, al-makhthuthat) adalah naskah karya ulama masa silam yang masih berbentuk tulisan tangan dari pengarangnya (mua’llif) atau para penyalin naskah (nussakh). Pada umumnya, naskah-naskah itu (umumnya berbahasa Arab) ditulis di atas kertas kulit (ar-raqq), papirus (al-bardy), dan kertas Cina (kāghid). Naskah-naskah yang ditulis baik diatas kulit, papirus maupun kaghid ini mayoritasnya belum banyak teridentifikasi (tahqiq-dirasah) baik dari segi usia, bahan, maupun kandungannya. Naskah-naskah ini pada umumnya tersimpan di berbagai perpustakaan, lembaga penelitian, masjid, maupun koleksi pribadi.
Kegiatan penelitian naskah sebenarnya telah dilakukan para peneliti Barat jauh sebelum dilakukan oleh peneliti Arab (Islam). Kegiatan ini telah dikerjakan oleh para orientalis Eropa sejak abad ke-9 H/15 M dengan meneliti teks-teks sastra Yunani dan Latin. Pada mulanya penelitian naskah yang dilakukan para orientalis ini belum menggunakan metode penelitian naskah yang akurat. Barulah sejak memasuki abad ke-10 H/16 M kaidah dan metode filologi mulai diterapkan. Dalam perjalanan berikutnya para orientalis tidak hanya meneliti naskah-naskah Yunani-Latin namun beranjak meneliti khazanah naskah Arab-Islam dan terus mengembangkan metode penelitiannya. Harus diakui pada saat itu umat Islam sedang terbuai dengan keagungan khazanah luar biasanya ini sehingga lupa untuk menelitinya.
Sejak pertengahan abad 13/19 para orientalis mulai merumuskan kerangka dasar penelitian naskah yang dipelopori oleh komunitas orientalis Perancis di bawah pengawasan H. Ritter. Tahun 1945 M, dua orientalis Perancis (R. Balachere dan J. Sauvaget), menyusun buku pedoman teori dan praktik berbahasa Perancis tentang penelitian naskah (manuskrip) dengan judul “Regles pour editions et. traductions des textes arabes”. Memasuki pertengahan abad 19 M, para peneliti Arab mulai menyadari arti penting metode penelitian naskah.
Para peneliti Arab-Islam menyadari bahwa naskah-naskah yang melimpah ini adalah warisan mereka. Adalah Akademi Sains Arab Suriah yang berjasa memelopori penyusunan pengantar ringkas metode penelitian naskah (tahkik) ini, yaitu tatkala mereka menerbitkan ensiklopedi sejarah karya Ibn ‘Asakir (w. 571/1175) yang berjudul “Tārīkh Madīnah Dimasyq” (Sejarah Kota Madinah) tahun 1951 M. Akademi Sains Arab pada waktu itu menyisipkan rumusan praktis mengenai tata cara meneliti naskah. Hal yang sama juga dilakukan oleh Dr. Ibrahim Madkur ketika mentahkik teks “asy-Syifā’ “ (Penyembuh) karya Ibn Sina (w. 428/1037) tahun 1953 M.
Perkenalan khusus dan formal dunia Arab terhadap metode tahkik diperkenalkan oleh seorang orientalis asal Jerman, Bergstraesser, pada tahun 1931M-1932 M. Pada waktu itu ia memberi mata kuliah di hadapan mahasiswa program pascasarjana Fakultas Adab Universitas Fuad Awwal (sekarang Universitas Kairo). Mata kuliah yang ia sampaikan berjudul “Ushūl Naqd an-Nushūs wa Nasyr al-Kutub”. Hanya saja materi kuliah ini baru dibukukan tahun 1969 atas inisiatif Dr. Muhammad Hamdi al-Bakri. Mata kuliah yang disampaikan Bergstraesser ini merupakan pengantar dasar dan metode penelitian naskah dan penerbitannya.
Pada tahun 1954 M, Prof. Dr. Abdussalam Harun (w. 1408 H/1987 M) menerbitkan satu karya monumental yang khusus berbicara tentang metode tahqīq turāts berjudul “Tahqīq an-Nushūs wa Nasyruhā” (Penelitian Teks dan Penerbitannya). Karya Harun ini terhitung sebagai buku pertama tentang tahqīq turāts (filologi) berbahasa Arab yang muncul di dunia Arab (Islam). Pada awalnya buku ini juga merupakan materi perkuliahan yang ia sampaikan di Fakultas Dar al-Ulum Universitas Kairo. Para peneliti naskah di masa itu dan sesudahnya sepakat menjadikan Abdussalam Harun sebagai penggagas (mu’assis) ilmu tahkik turats di dunia Arab.
Setelah Abdussalam Harun, pada tahun 1955 M muncul Shalahuddin Munajjid (peneliti naskah asal Suriah) dengan karyanya “Qawā’id Tahqīq al-Makhthūthāt” (Kaidah-Kaidah Penelitian Manuskrip). Karya Munajjid ini muncul sebagai penyempurna dari karya Abdussalam Harun sebelumnya yang dinilai memiliki kekurangan. Satu di antara kekurangan itu menurut Shalahuddin Munajjid adalah karena Abdussalam Harun tidak menukil pendapat orientalis dalam penelitian (penyusunan) karyanya. Kritikan Munajjid ini diakui oleh Abdussalam Harun dan ia tuangkan dalam karyanya pada mukadimah cetakan keduanya.
Peradaban Arab-Islam adalah peradaban yang memiliki segudang khazanah intelektual dan pemikiran. Segudang khazanah itu di antaranya berbentuk naskah-naskah (manuskrip) dalam berbagai lintas disiplin ilmu yang mencerminkan tradisi tulis ulama masa silam. Naskah-naskah ini merupakan warisan peradaban dan kebudayaan yang tak ternilai harganya. Menurut penuturan Prof. Dr. Faisal al-Hafyan (Direktu Institut Manuskrip Arab Kairo), bila ditaksir, jumlah naskah manuskrip Arab saat ini berkisar antara 3 sampai 5 juta naskah.
Angka ini menunjukkan bahwa manuskrip Arab merupakan peninggalan sejarah terbesar yang masih bertahan sampai saat ini. Namun, menurut Prof. Dr. Aiman Fuad Sayyid (Direktur Pusat Manuskrip Al-Azhar Mesir), dari sekian banyak naskah itu hanya sekitar satu setengah juta saja yang layak diteliti. Jutaan naskah ini sejatinya masih di luar yang dibakar pasukan Hulagu (Tatar) pada tragedi runtuhnya Kota Bagdad tahun 1258 M. Di Mesir jumlah manuskrip mencapai 125.000 naskah. Jumlah ini merupakan terbesar kedua di dunia setelah Turki yang mencapai 250.000 naskah.
Fakta ini membuat kita kagum betapa di tengah keterbatasan sarana pada masa itu yang hanya menggunakan penulisan tangan para ulama ini begitu produktif menulis karya. Imam as-Suyuthi (w. 912 H/1506 M) misalnya yang hanya hidup sepanjang 62 tahun mampu melahirkan lebih dari 300 karya buku. Imam ath-Thabari (w. 310 H/922 M), sang guru besar para mufassir, selama hidupnya mampu menulis sebanyak 358.000 lembar atau 14 lembar/hari dihitung sejak usianya 15 tahun (perkiraan masa usia akil-balig). Belum lagi Imam an-Nawawi (w. 676 H/1277 M), Imam Ibn Taimiyah (w. 728 H/1327 M), Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H/1209 M), dan yang lainnya.
Dalam konteks modern, arti penting wujud naskah-naskah ini terlihat melalui relevansinya dengan tuntutan sosial-intelektual kekinian dengan terlebih dahulu dilakukan studi atas naskah-naskah itu. Arti penting studi naskah adalah adanya anggapan bahwa dalam peninggalan tulisan masa lampau ini terkandung nilai dan pemikiran yang dipandang masih relevan dengan situasi kini. Lebih dari itu studi terhadap naskah merupakan upaya menggali kearifan sejarah sosio-religius dan intelektual masa lalu. Dalam studi keislaman (Islamic studies), kajian naskah menjadi sangat penting karena ia berperan menjelaskan Islam dengan tetap berada dalam parameter keilmuan. Karena itu pendekatan kajian naskah (tahkik turats) sebagai salah satu sarana untuk menggali khazanah keilmuan masa lalu ini menempati posisi sangat penting.
Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Kepala Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Sumber: Majalah SM Edisi 13 Tahun 2018