Ekowisata: Strategi Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Fiqh Bi’ah
Oleh: Salma Asyrofah
Dalam pembangunan nasional Indonesia, pariwisata diposisikan sebagai salah satu sektor andalan yang diharapkan mampu memberikan kontribusi besar bagi peningkatan devisa negara dalam upaya pemerintah mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Walaupun memberikan banyak manfaat bagi keuangan negara, pariwisata juga sering disebut sebagai sumber kerusakan lingkungan yang utama. Sehingga walaupun sektor pariwisata semakin maju, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran ketika pariwisata dirasa lebih mementingkan faktor estetika dibanding kearifan lingkungan. Mengingat hakikat dari pariwisata sebenarnya lebih luas dari sekedar indicator ekonomi saja, sehingga perlu adanya intepretasi ulang terhadap kepariwisataan, salah satunya ialah dengan konsep ekowisata.
Definisi Ekowisata
Ekowisata terdiri dari dua kata, yaitu ‘ekologi’ dan ‘wisata’. Ekologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang membahas mengenai hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungan yang ditinggalinya dimana terdapat interaksi antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia lain ataupun dengan kelompok lain. Sedang wisata menurut Kurt Morgenroth ialah perjalanan seseorang meninggalkan tempat kediamannya menuju tempat yang lain sementara waktu untuk berpesiar mengonsumsi hasil perekonomian dan kebudayaan, sebagai pemenuhan kebutuhan hidup, budaya, atau keinginan lain pada dirinya. Sehingga bila digabungkan ekowisata ialah perjalanan wisata seseorang dengan tujuan mengkonservasi dan menyelamatkan lingkungan serta memberi penghidupan pada masyarakat lokal.
Konsep ekowisata ini bermula pada tahun 1980 oleh Ceballos Lascurain. Ia meyakini bahwa antara kegiatan wisata dengan lingkungan akan menimbulkan keuntungan maupun kerugian. Ekowisata kemudian ditelurkan untuk menghindari kerugian terhadap lingkungan. Konsep ekowisata menawarkan integrasi antara keseimbangan dalam menikmati keindahan alam dengan upaya menjaga dan melestarikannya. Ekowisata berperan penting dalam memberikan solusi pada permasalahan yang mungkin terjadi pada pengembangan pariwisata karena fokus dari pengembangan ekowisata ialah dengan mengedepankan kelestarian alam dan budaya. Dalam pelaksanaannya, terdapat lima prinsip ekowisata, yaitu: (1) Nature based, produk dan program yang berbasis alam. (2) Ecologically sustainable, pelaksanaan dan pengembangan yang berkelanjutan. (3) Environmentally educative, pendidikan lingkungan kepada penduduk lokal, pengelola, dan pengunjung. (4) Local community based, bermanfaat bagi penduduk local. (5) Ecotourist based, kepuasan bagi pengunjung.
Ekowisata Berbasis Masyarakat
Kebermanfaatan bagi penduduk lokal, sebagai salah satu prinsip ekowisata tentu tidak boleh terlupakan. Selain tetap memperhatikan kelestarian alam, ekowisata juga hendaknya mampu menjadi strategi pemberdayaan bagi penduduk lokal. Hal ini selaras dengan pernyataan Dowling dan Fennell yang menyebutkan bahwa pokok penting dari pengembangan ekowisata ialah memberikan manfaat bagi penduduk lokal dan lingkungan di sekitarnya. Ekowisata berbasis masyarakat hadir menjawab persoalan tersebut. Ekowisata berbasis masyarakat ialah pengembangan ekowisata yang mendukung secara penuh keterlibatan penduduk lokal dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha ekowisata dan segala keuntungan yang didapatkan.
Ekowisata ini menitikberatkan pada keterlibatan aktif komunitas, karena mereka lah yang mengetahui mengenai seluk beluk tempat yang ditinggalinya. Masyarakat lokal lebih mengetahui tentang alam dan budaya yang bisa menjadi potensi serta nilai jual sebagai daya tarik wisata di tempat tersebut. Ekowisata ini mengamini bahwa terdapat hak bagi masyarakat lokal terkait keuntungan yang diperoleh dari suatu wisata. Sehingga ia menciptakan lapangan kerja yang nantinya dapat mengurangi kemiskinan dan membantu perekonomian wilayah setempat. Lapangan kerja ini bisa berupa jasa-jasa wisata untuk pengunjung, seperti jasa tour guide, transportasi, parkir, menjual kerajinan dan oleh-oleh, menjual makanan minuman, homestay, dan sebagainya.
Namun walaupun ekowisata ini mendukung keterlibatan penuh penduduk lokal, bukan berarti mereka kemudian bekerja sendiri. Dalam menunjang majunya ekowisata di suatu tempat juga diperlukan peran pemerintah setempat. Pemerintah berperan dalam penyusunan kebijakan pariwisata yang membantu dalam proses perencanaan industry pariwisata. Menurut Funnel, langkah-langkah yang harus dilakukan ialah observasi kawasan ekologi, menyusun program perspektif lingkungan, dan meningkatkan kualitas penduduk lokal dalam pemahaman mengenai isu-isu lingkungan. Pada akhirnya, ekowisata akan membawa dampak baik pada kearifan lokal, budaya penduduk setempat, dan pelestarian lingkungan.
Fiqh Bi’ah dalam Ekowisata
Fikih lingkungan atau yang dalam Bahasa Arab disebut dengan fiqh bi’ah merupakan ketentuan-ketentuan dalam Islam yang bersumber dari dalil-dalil terperinci yang mengatur mengenai perilaku manusia terhadap lingkungan sekitarnya sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan penduduk bumi serta menghindari kerusakan bumi. Focus dari fiqh bi’ah ialah isu-isu ekologi dan tuntunan syar’i untuk mengkritik manusia yang melakukan kerusakan lingkungan. Allah SWT juga sudah berfirman dalam Q.S al-A’raf ayat 56:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
- Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Al-A’raf: 56)
Yusuf Qardhawi dalam bukunya yang berjudul Ri’ayatu al-Bi’ah fi Syari’ati al-Islam menyebutkan bahwa Islam sebenarnya sangat memperhatikan isu-isu lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan pembahasan-pembahasan dasar, seperti thaharah (kebersihan), hak-hak terhadap binatang, hukum jual beli, dan pembahasan lain yang terkait hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya. Beliau juga menjelaskan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kemadharatan.
Hal ini sejalan dengan lima pokok maqashid al-syari’ah (tujuan syari’at Islam): hifdzu ad-din (menjaga agama), hifdzu an-nafs (menjaga jiwa), hifdzu al-aql (menjaga akal), hifdzu an-nasl (menjaga keturunan), dan hifdzu al-mal (menjaga harta). Menjaga kelestarian lingkungan adalah penunjang kelima maqashid as-syari’ah tersebut. Sehingga segala kegiatan pada lingkungan yang destruktif, maka juga akan mengancam agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Maka segala perbuatan terhadap lingkungan hendaknya tetap memperhatikan kelestariannya, termasuk dalam sektor pariwisata.
Pariwisata dari waktu ke waktu tidak sedikit yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, seperti: polusi air, udara, tanah, meningkatnya erosi, eksploitasi berlebihan, muncul perbedaan yang signifikan antara wilayah wisata dan wilayah penduduk setempat, rusaknya terumbu karang, dan masih banyak lagi. Sehingga perlu alternatif untuk menanggulangi kerusakan-kerusakan tersebut, salah satunya adalah dengan konsep ekowisata atau wisata yang ramah lingkungan.
Ekowisata sejalan dengan prinsip fiqh bi’ah dimana ada beberapa aspek yang diangkat dalam ekowisata, diantaranya: melindungi lingkungan alam dan budaya setempat, meminimalisir dampak buruk dalam pembangunannya, memiliki penanganan limbah, menggunakan energi yang ramah lingkungan, membuka peluang bagi pengunjung untuk berinteraksi dengan penduduk lokal, berkontribusi pada pembangunan yang berkelanjutan, dan lain-lain. Sebagai khalifah fil ard tentu sudah menjadi kewajiban untuk senantiasa menjaga lingkungan sekitar demi kemaslahatan bersama.
Salma Asyrofah, Mahasiswi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta