• Tentang SM
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Media Siber
  • Term & Condition
  • Privacy Policy
  • Hubungi Kami
Senin, Juli 14, 2025
Suara Muhammadiyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora
  • Home
  • Berita
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora
No Result
View All Result
suaramuhammadiyah
No Result
View All Result

CANGKUL WARISAN, Cerpen Aris Munandar

Suara Muhammadiyah by Suara Muhammadiyah
11 November, 2021
in Humaniora
Reading Time: 3 mins read
A A
0
pertanian

Ilustrasi

Share

Lik Pardi gembira. Kemenakan dia bernama Manto pulang ke desa. Bersama isteri dan anak menempati bagian samping rumah keluarga. Rumah kuno peninggalan kakek dan nenek Manto itu besar dan luas. Selama ini yang menemati disini Lik Pardi bersama isteri dan anak. Keluarga besar keturunan kakek dan nenek sepakat tidak membagi waris dan menjual rumah besar, pekarangan dan sawah. Mereka menjadikan itu semua milik keluarga besar, dirawat dan diambil manfaat seperlunya. Dengan demikian ketika Lebaran, anak cucu buyut keturunan kakek dan nenek, atau keluarga besar trah atau Bani Mulyosentiko itu tidak kerepotan mencari tempat menginap. Cukup tidur di rumah besar yang kamarnya banyak. Kalau kurang, bisa menggelar tikar di ruang dalam, tepatnya di pendapa.

 

Baca Juga

Deni Asy’ari Tekankan Relevansinya Mengonsolidasikan Gerakan Ekonomi Berjamaah

Muhammadiyah Kritik DPR Langgar Keputusan MK

Manto pulang ke desa bukan untuk mudik, tetapi untuk kembali hidup di desa. Dia bosan dan bingung hidup di kota besar yang ketika pandemi datang dia dan isteri kehilangan pekerjaan.

 

“Lik Pardi, saya mau menggarap sawah. Menjadi orang desa lagi,” kata Manto.

 

“Bagus. Kebetulan kotak sawah keluarga kita yang dekat selokan itu tidak ada yang menggarap setelah Pakde Darso meninggal dan anak-anaknya tidak mau melanjutkan menggarap sawah. Garaplah sawah itu. Lumayan kok luasnya. “

 

“Tapi saya sudah lupa bertani. Sudah lupa cara mencangkul. Diajari lagi ya Lik,” kata Manto malu-malu.

 

“Tentu, saya ajari lagi mencangkul dan menggarap sawah lagi,” jawab Lik Pardi tertawa.

 

Bertani atau mempelajari ilmu bertani di sawah itu tidak ada sekolahnya. Yang ada ya semacam peguron atau perguruan keluarga. Ilmu dan ketrampilan diwariskan turun temurun. Manto siap menerima warisan ilmu bertani dari Lik Pardi.

 

Lik Pardi mengajak Manto ke belakang, tempat menyimpan peralatan tani itu ada di dekat sumur. Dia mengambil cangkul yang kelihatan sudah tua umurnya.

 

“Lihat, cangkul ini. Pegangan ini dibuat dari kayu glugu yang amat tua, kerasnya melebihi kayu jati dan hampir sama dengan besi kerasnya. Mata cangkul ini kalau aus bisa diganti. Tetapi pegangan cangkul ini betul-betul masih asli peninggalan kakekmu, dan kakekmu mewarisi dari kakeknya lagi, dia juga mewarisi cangkul tua ini dari kakeknya lagi,” kata Lik Pardi sambal memperlihatkan cangkul warisan itu.

 

“Lik, jangan-jangan cangkul ini zaman Perang Diponegoro atau sebelumnya sudah ada,” kata Manto.

 

“Mungkin saja To. Saya hanya mendengar cerita tentang riwayat cangkul ini dari kisah turun temurun. Nah pegang.”

 

Manto memegang cangkul itu. Berat dan mantap.

 

“Pakailah untuk menggarap sawah. Besuk bawalah ke sawah. Akan saya perlihatkan sawah keluarga kita, mana batas-barasnya. Mana pintu air dari selokan. Kebetulan baru saja panen. Tanah di sawah bisa diolah lagi untuk ditanami bibiti padi baru.”

 

“Terus bibitnya bagaimana Lik?”

 

“Jangan khawatir. Keluarga kita menyimpan bibit padi asli daerah sini. Bibit padi Sawangan. Nanti kalau panen padi dan menjadi beras dan dimasak jadi nasi lezatnya bukan main. Pulen dan harum. Tidak kalah dengan beras Delanggu.”

 

Manto melongo, baru tahu kalau daerahnya menghasllkan beras selezat beras Delanggu.

 

“Makanya banyak rumah makan di daerah Magelang dan Jawa Tengah bagian barat menggunakan beras Sawangan karena lezatnya.”

 

“Jadi asal bilang beras Sawangan, mudah menjualnya Lik?”

 

“Tentu. Banyak pemilik rumah makan mencari beras Sawangan. Apalagi pemilik rumah makan yang menunya ikan air tawar. Cocok kalau makannya memakai beras ini.”

 

Mata Manto berbinar. Dia timang-timang cangkul warisan itu. Cangkul bersejarah bagi keluarganya. Kalau dia sekarang mewarisi cangkul itu tidak salah. Untuk menggarap sawah. Dia pamit kepada Lik Pardi dan menemui isteri sambil memperlihatkan cangkul tua. Isteri senang. Apalagi setelah diceritakan sejarah cangkul tua itu.

 

“Yah, jadi sejarah cangkul itu ada to? Saya kira yang ada cuma sejarah raja-raja dan kerajaan,” celetuk anak bungsu Manto.

 

“Ada Le. Sejarah cangkul, sejarah tani, sejarah warga desa ini dan sejarah nenek moyang desa ini menemukan bibit padi yang kalau jadi beras dan dimasak jadi nasi paling enak di daerah Magelang ini ada.”

 

“Sejarah beras?”

 

“Ya sejarah beras Sawangan, ada Le.”

 

“Jadi kegiatan bercocok tanam itu sejarahnya panjang ya Yah.”

 

“Tentu Le, nanti kapan-kapan kita bisa bertanya kepada Lik Pardi.”

 

Percakapan dengan anak bungsu menambah mantap hati Manto untuk kembali bertani. Dengan cangkul warisan itu dia menggarap sawah keluarga.

 

Mula-mula Lik Pardi mengenalkan cara mengairi sawah, mengajari cara memegang cangkul dan cara mengayun cangkul yang benar. Sebagai guru yang baik Lik Pardi tidak mentertawakan cara mencangkul Manto yang kaku dan cara mengayun cangkul yang lucu. Dia juga menghibur Manto ketika tangannya melepuh dan tubuhnya pegal-pegal.

 

“Menjadi petani itu berat To. Tapi mulia. Sebab pekerjaan yang dijamin kejujurannya ya bertani. Kita tidak bisa membohongi tanaman kalau ingin panen bagus. Bahkan menurut riwayat sebuah hadis, tangan yang bekerja sampai kapalen itu akan membawa pemiliknya masuk surga.”

 

Masih banyak lagi petuah dari Lik Pardi yang tidak ada putusnya. Manto terpaksa menyimpan keluhannya. Tubuh pegal, capek, lapar, haus dia tahan demi menerima ilmu bertani dari Lik Pardi. Memang lebih enak bekerja di kota. Membuka kios penjualan pulsa, menjual bensin atau rokok, atau menjual bakso dan soto terasa lebih ringan dibanding bergelut dengan lumpur di sawah.

 

Dan sesuatu yang membuat hidup terasa berbeda bagi Manto adalah, setiap siang dan sore dia bisa mendengar suara adzan dari surau di pinggir desa. Dia bergegas, mengambil sarung dan pakaian ganti yang tadi dia simpan di bawah pohon turi. Ke surau. Membersihkan diri. Siap shalat jamaah.

 

“Lik Pardi, selama bertahun-tahun saya merantau di Jakarta saya tidak pernah shalat jamaah dan mengabaikan suara adzan. Hidup terasa kering,” kata Manto kepada Lik Pardi yang siang itu menjadi imam shalat.

 

“Sekarang hidupmu terasa basah?”

 

“Basah. Sungguh. Dan komplit. Basah jiwa karena shalat jamaah dan basah raga karena masuk sawah,” jawab Manto apa adanya.

 

Jamaah Dhuhur yang berkumpul sebelum shalat itu tertawa. Tentu, menjadi petani itu harus berbasah-basah. Mana ada petani tubuhnya tidak basah oleh air ketika bekerja di sawah. Ah, Manto ini ada-ada saja, batin tetangga.

 

Magelang, 2020.

Aris Munandar, akfivis sastra budaya asal Muntilan yang belajar menjadi petani lagi.

 

 

Tags: Cangkul WarisanCerpen Aris MunandarCerpen SMmuhammadiyah
Suara Muhammadiyah

Suara Muhammadiyah

Related Posts

Deni Asy’ari Tekankan Relevansinya Mengonsolidasikan Gerakan Ekonomi Berjamaah
Berita

Deni Asy’ari Tekankan Relevansinya Mengonsolidasikan Gerakan Ekonomi Berjamaah

28 September, 2024
Prof Dr Abdul Mu'ti
Berita

Muhammadiyah Kritik DPR Langgar Keputusan MK

22 Agustus, 2024
Tingkatkan Taraf Hidup Rakyat, Muhammadiyah MoU dengan BCA Syariah
Berita

Tingkatkan Taraf Hidup Rakyat, Muhammadiyah MoU dengan BCA Syariah

2 Juli, 2024
Next Post
Kontribusi Nyata, Mahasiswa Palestina Bisa Kuliah dengan Beasiswa di 7 Universitas Muhammadiyah – ‘Aisyiyah

Kontribusi Nyata, Mahasiswa Palestina Bisa Kuliah dengan Beasiswa di 7 Universitas Muhammadiyah – ‘Aisyiyah

Please login to join discussion
  • Kotak Pos
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Pedoman Media

© SM 2021

No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora

© SM 2021

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In