Nabi Muhammad dan Kesehatan Spiritual Keluarga (2)
Oleh: Wildan dan Nurcholid Umam Kurniawan
Agama Islam sebagai ‘the misunderstood religion’
Menurut M Quraish Shihab (2020), dalam bukunya “Islam yang Disalahpahami, Menepis Prasangka, Mengikis Kekeliruan”, bahwa kesalahpahaman itu bisa jadi akibat kedangkalan pengetahuan ajaran Islam oleh nonmuslim bahkan bisa jadi oleh umat Islam sendiri akibat keterbatasan bacaannya, dan tidak jarang juga bersumber dari sementara orientalis, baik dengan sengaja memperburuk wajah Islam maupun dangkalnya pengetahuan mereka.
Salah satu yang kerap kali disalahpahami sementara kaum muslim itu adalah anggapan mereka bahwa penafsiran tentang ajaran Islam hanya satu dan yang berbeda dengan yang satu itu, keislamannya diragukan atau dianggap bukan muslim, atau bahkan halal ditumpahkan darahnya. Bukankah itu kita membaca dan melihat pertumpahan darah terjadi dan masih terjadi antarmereka yang kesemuanya mengaku muslim? Mereka salah paham. Mereka menduga bahwa setiap perbedaan otomatis pertentangan, padahal tidak demikian.
Menurut para pakar, pertentangan tidak dapat wujud kecuali dengan memenuhi delapan persamaan : 1) Persamaan dalam subyek. Kalau Anda mendengar ucapan, “Si A berdiri” dan “Si B tidak berdiri” maka itu tidak bertentangan karena subyeknya tidak sama; 2) Persamaan dalam obyek, seperti “Si A berdiri” dan “Si B tidur”; 3) Persamaan dalam waktu Si A berdiri pagi hari dan Si A tidak berdiri pada sore hari; 4) Persamaan tempat. Si A berdiri di sini dan tidak berdiri di sana; 5) Persamaan dalam penisbahan, seperti “Si A lebih besar dibanding si B” dan “Si A lebih kecil dibanding si C”; 6) Persamaan dalam potensi dan kenyataan.
Seperti ucapan “Si A sangat pandai” dan “Si A tidak pandai”. Ini pun tidak bertentangan selama yang dimaksud dengan “sangat pandai” memiliki potensi untuk menjadi sangat pandai, sedang yang dimaksud “Si A tidak pandai” adalah kenyataan keadaannya masa kini; 7) Persamaan dalam konteks sebagian dan seluruhnya. Misalnya, kalimat “Si A putih” dan “Si A tidak putih”. Yakni putih giginya yang merupakan sebagian dari sosoknya, sedang kalimat “tidak putih” yakni keseluruhan warna kulitnya; dan 8) Persamaan dalam syarat. Misalnya, “ Si A lulus dengan syarat dia belajar” dam “Si B tidak lulus kalau tidak belajar”.
Mereka menduga bahwa pemahaman mereka pasti mengandung kebenaran mutlak yang menyeluruh, padahal bisa jadi belum tentu mutlak dan belum tentu menyeluruh. Ketika seseorang mengatakan, “Gajah itu binatang berbadan besar”, yang lain mengatakan, “Gajah bertaring” dan yang ketiga mengatakan, “Gajah berbelalai”, maka ketiga pernyataan ini benar adanya, walau belum menggambarkan gajah secara menyeluruh.
Harus diakui bahwa semua kelompok umat Islam selalu berusaha mengukuhkan pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi, tetapi tidak semua ayat Al-Qur’an mengandung makna yang pasti. Demikian juga hadis-hadis Nabi, bahkan sebagian hadis yang dinisbahkan kepada Nabi bernilai palsu (Imam Bukhari yang dikenal sangat ketat dalam memilih hadis, meneliti 100 ribu hadis tetapi yang beliau cantumkan dalam buku Shahih-nya hanya 7397, termasuk yang berulang. Bila yang berulang disisihkan, jumlahnya hanya 2.602 dan kalau ditambah dengan yang tidak bersambung rentetan rawinya maka jumlahnya hanya 2.761 hadis).
Di sisi lain, ada hadis yang dinilai sahih oleh seorang Imam tetapi tidak dinilai demikian oleh Imam yang lain. Tidak semua hadis yang diriwayatkan dalam kitab Shahih Imam Bukhari diterima oleh Imam Muslim. Demikian juga sebaliknya dan ulama-ulama lain. Karena itu pula penafsiran ayat atau hadis oleh seorang pakar (apalagi kalau bukan pakar, hanya pandai berkelakar), tidak serta merta dapat diterima baik oleh pakar yang lain. Pada akhirnya, pemutlakan pendapat tidak dapat dibenarkan kecuali bersumber dari Allah Swt. dan Rasul-Nya yang telah disepakati kesahihan teksnya dan disepakati pula maknanya. Oleh karena tidak seorang pun yang tidak berpotensi salah paham dalam memahami Al-Qur’an – tidak seorang pun – kecuali Rasulullah Saw. Maka, kita semua harus berprinsip bahwa kembali kepada yang benar itulah yang benar.
Bagaimana dengan tanggapan negatif nonmuslim atas Islam dan Nabinya? Dapat dikatakan bahwa itu telah muncul secara sistematis sejak abad VII M. Itu dimulai dengan lahirnya buku De Harebius karya John of Damascus yang menuduh Pendeta Buhaira telah mengajar Nabi Muhammad Saw. apa yang beliau sampaikan dari ajaran Islam. Demikian juga Waraqah bin Naufal yang ditemui Nabi sesaat setelah menerima wahyu pertama (Tuduhan ini terbantahkan dengan mudah, karena pertemuan Nabi dengan Buhaira hanya sekejap dan dalam perjalanan beliau bersama kakeknya ke Syam. Demikian juga dengan Waraqah bin Naufal yang pertemuannya dikisahkan sejarah hanya sekali). Kemudian, serangan terhadap Islam semakin membesar sejak Islam dikenal di Spanyol.
Ketika itulah mereka menilai Islam bermaksud menghapus ajaran Kristen dan bermunculan aneka tuduhan terhadap Nabi bahkan inilah benih yang digunakan penguasa Eropa untuk berhimpun menyerang negeri-negeri Islam dengan mengatasnamakan pembelaan atas ajaran Kristen atau yang sering dinamai Perang Salib. Sementara pakar muslim enggan menamai serangan Dunia Barat ke wilayah Islam yang bermula pada 1097 M hingga 1292 M dengan Perang Salib, karena tujuan utamanya bukanlah agama tetapi penjajahan. Hubungan antara Islam dan Kristen pada masa turunnya Al-Qur’an sangat harmonis sampai-sampai Al-Qur’an menegaskan bahwa yang paling dekat persahabatannya dengan Islam adalah umat Nasrani. Penguasa Kristen di Habasyah (Etiopia) pun menyambut baik dan melindungi sahabat-sahabat Nabi yang berhijrah ke sana.
Nama-nama semacam Martin Luther (1483-1546 M), profesor teologi asal Jerman atau Voltaire sastrawan Perancis (1694-1778 M) adalah sebagian dari mereka yang secara jelas melecehkan Nabi Muhammad Saw. dan Islam. Bahkan Klimovich mengingkari wujud beliau melalui artikelnya yang diterbitkan tahun 1930 M dengan judul “Did Muhammad Exist?”. Para pakar berkata bahwa satu-satunya nabi yang diyakini wujudnya dalam salah satu periode sejarah umat manusia hanyalah Nabi Muhammad Saw., karena bukti-bukti ilmiah tentang hal tersebut masih terhidang hingga kini. Al-Qur’an yang beliau sampaikan ada dan wujud, tantangannya pun kepada yang meragukan masih berlaku. Di samping itu, kuburan beliau pun ada dan dikunjungi hingga kini, sehingga tidak ada alasan untuk meragukan wujudnya. Ini berbeda dengan nabi-nabi yang lain, termasuk Nabi Isa As.
Kesalahpahaman atau bahkan sikap fobia terhadap Islam tidak hanya terjadi pada masa lalu, dewasa ini pun masih tidak sedikit bahkan dilakukan oleh tokoh-tokoh nonmuslim yang sewajarnya kalau tidak menyetujui ajaran Islam, paling tidak mereka tidak memakinya. Salah satu yang sangat menghebohkan dan menuai protes dan kecaman adalah “Pidato Ilmiah” Paus Benedict XVI pada tahun 2006 di Aula Magna University of Regensburg Jerman yang berjudul “Glaube, Vernunft, und Universitaet” (Iman, Rasionalitas dan Universitas). Intinya menguraikan bagaimana kedudukan iman dan rasionalitas di dunia modern. Tetapi, kandungannya menurut pandangan banyak cendekiawan muslim, menyimpan kesalahpahaman bila enggan berkata cacian terhadap ajaran Islam. Lalu, yang mengherankan, tulis Muhammad ‘Imarah cendekiawan muslim Mesir, adalah teks tertulis dari pidato yang mengandung cacian itu terdiri dari seratus baris, sedangkan isi keseluruhan pidato itu hanya empat ratus baris.
Dalam menanggapi pandangan-pandangan mereka yang melecehkan Islam dan Nabi Muhammad Saw., cukuplah kita mencatat nama-nama seperti ilmuwan Inggris Thomas Carlyle (1801-1866 M) yang pernah meraih Hadiah Nobel, sastawan Rusia Leo Tolstoy (1828-1910 M), sastrawan Jerman Johan Wolfgang Von Goethe (w 1832 M), pemikir Inggris kenamaan George Bernard Shaw (1856-1950 M), dan penulis buku Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah yakni Michael Hart, yang lahir di New York tahun 1932 M serta nama-nama lain yang berpandangan cukup simpatik kepada Nabi Muhammad Saw. walau bisa jadi dalam tulisan mereka terselip uraian yang tidak sepenuhnya tepat.
Tetapi, secara umum mereka telah melahirkan karya-karya atau mengemukakan pendapat-pendapat yang lahir dari sikap mencari kebenaran dan tidak apriori menolak nilai-nilai yang disampaikan oleh Islam dan Nabi Muhammad Saw. Memang, sebagian kaum muslim pun dapat terjerumus dalam kesalahan ketika menguraikan Islam dan Nabi Muhammad Saw. Sayyid Quthub menilai tidaklah tepat pujian kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai pemimpin perang, kalau itu dilepaskan dari bantuan Allah “Bukan engkau yang melontar saat engkau melontar tetapi Allah yang melontar” (QS Al-Anfal [8]: 18).
Nabi Muhammad dan Poligami
Bahwa wahyu Al-Qur’an pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw. adalah lima ayat pertama, ”Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mencipta. Yang menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajar dengan pena, mengajar manusia apa yang belum diketahui (nya)” (QS Al-‘Alaq [96]: 1-5).
Menurut Prof. Dr. T Jacob, Guru Besar Antropologi Ragawi FK-UGM, kelima ayat yang merupakan wahyu pertama yang diterima Nabi Saw. di bulan suci Ramadhan atau bulan puasa, mengingatkan umat manusia agar manusia menjadi Homo Cerebralis (Cerebrum = Otak) bukan Homo Abdominalis (Abdomen = perut) dan atau Homo Pelvicus (Pelvis = pinggul, tempat “bersemayam”nya organ kelamin). Menurut Prof. Dr. Nasaruddin Umar,Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Iman Besar Masjid Istiqlal, perintah iqra di dalam Kitab Suci disampaikan Tuhan empat kali.
Makna pertama, read, bacalah baik Kitab Suci maupun kitab-kitab yang lain, termasuk membaca ayat-ayat Tuhan yang berupa alam raya. Kedua, think, pikirkanlah makna, nilai yang tercantum dalam Kitab Suci agar manusia menjadi ulul albab, orang yang punya pemikiran yang mendalam. Ketiga, understand, pahamilah isi Kitab Suci. Dan yang keempat, maintain, jagalah, peliharalah nilai-nilai yang tercantum dalam Kitab Suci dalam bentuk perilaku yang bernilai di hadapan Tuhan maupun umat manusia. Dengan kata lain, melakukan amal shaleh, bukan amal salah.
Ada ungkapan “Perkawinan itu untuk sukses perlu dua orang. Tapi, untuk gagal cukup seorang”. Menurut Prof. Dr. KRT Soejono Prawirohadikusumo, Guru Besar Psikiatri FK-UGM, bahwa “Perkawinan itu tidak hanya masalah memadukan yang ada di antara dua paha, yang paling sulit itu justru memadukan yang ada di antara dua telinga”. Dengan demikian, kesulitan terbesar dalam perkawinan adalah memadukan dua otak, dua pemikiran, dua pola pikir atau mindset.
Menurut Prof. Dr. Aris Sudiyanto, Guru Besar Psikiatri FK-UNS, berdasarkan penelitian ternyata urutan penyebab perceraian adalah : 1) Masalah komunikasi; 2) Masalah penampilan (performance); 3) Masalah seks, dan 4) Masalah ekonomi, keluarga dan lain-lain. Otak pria dan otak wanita memang diciptakan berbeda, tetapi tidak berarti yang satu lebih unggul daripada yang lain. Berbeda tapi setara (Allan & Barbara Pease, 2012).
Maka, tidak perlu heran, jika Bapak bisa jadi Presiden, Ibu pun bisa. Bapak bisa jadi Ketua DPR, Ibu pun bisa. Bapak bisa jadi Menteri, Ibu pun bisa dan seterusnya. Bapak bisa jadi koruptor, Ibu pun bisa jadi koruptor. Bahkan, jika Bapak bisa punya WIL (Wanita Idaman Lain), Ibu-pun bisa punya PIL (Pria Idaman Lain)! Orang kadang guyonan begini, burung Cendrawasih itu burung dari surga, sedangkan wanita itu surganya “burung”! .Padahal “surga” tanpa “burung” tidak ada maknanya (meaningless). Jadi, kebutuhan “surga” akan “burung” adalah kebutuhan manusiawi. Namun demikian, wanita hendaknya menolak seks sebelum perkawinan, tapi sebaiknya jangan sekali-kali menolak seks di dalam perkawinan (Reuben, 1982).
Oleh karena itu, pria (suami) harus “ramah” (rajin menjamah) karena wanita (isteri) itu “supel” (suka dipeluk) dan “seksi” (jika digesek bareaksi) sampai dia “gelisah” (geli-geli basah). Dalam upacara perkawinan adat Jawa, simbol adanya pisang dan tebu sering di-plesetkan, “pisang” itu nek wis sepi dipasang (jika sudah sepi dipasang). Sedangkan “tebu”, mantebe nek wis mlebu (mantabnya jika sudah masuk). Adapun fungsi seks dalam perkawinan adalah untuk prokreasi (keturunan), rekreasi dan pernyataan cinta. Hubungan seks baru punya nilai ibadah apabila diiringi dengan doa sebagaimaan yang diajarkan Nabi Saw. bukan malahan menyanyi lagu “Maju Tak Gentar”. Lagu itu paling cocok dinyanyikan pada tanggal 5 Oktober! Penolakan seks baru dibenarkan dengan alasan keagamaan dan kesehatan.
Poligami adalah istilah umum untuk seseorang yang mempunyai banyak pasangan. Seorang suami mempunyai banyak isteri atau sebaliknya seorang isteri punya banyak suami disebut poligami. Istilah yang sebenarnya untuk seorang suami yang mempunyai banyak isteri adalah poligini. Sedangkan seorang isteri yang mempunyai banyak suami disebut poliandri. Maka, jika banyak suami dan banyak isteri disebut poliklinik! Nggak percaya? Datanglah ke poliklinik RS PKU Muhammadiyah Bantul akan dijumpai banyak suami dan banyak isteri di sana. Karena sudah ‘salah kaprah’ istilah poligami dalam tulisan ini tetap digunakan.
Menurut Shihab (2018) poligami telah dikenal masyarakat manusia dengan jumlah tidak sedikit dari perempuan yang berhak digauli. Dalam Perjanjian Lama, misalnya, disebutkan bahwa Nabi Sulaiman As. memiliki tujuh ratus “isteri” bangsawan dan tiga ratus gundik (Perjanjian Lama, Raja-raja I – 11 – 4). Poligami tidak hanya meluas di masyarakat Arab Jahiliah, tetapi juga di bangsa Ibrani dan Sisilia yang kemudian melahirkan sebagian besar bangsa Rusia, Lithuania, Polandia, Cekoslowakia, dan Yugoslavia, serta sebagian penduduk Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia, dan Inggris.
Gereja di Eropa pun mengakui poligami hingga akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18. Charlemagne (Karel Agung, 1742 – 1814 M), misalnya, mempunyai lebih dari seorang isteri. Ini karena memang tidak ada teks yang jelas dalam Perjanjian Baru yang melarang poligami. Bahkan, kalau kita menyatakan bahwa dalam Perjanjian Lama, poligami dibenarkan – terbukti antara lain dengan apa yang dikutip di atas – sedangkan Nabi Isa As. tidak datang untuk membatalkan Perjanjian Lama, sebagaimana pernyataan beliau sendiri (baca Matius V – 17). Itu berarti beliau juga membenarkan poligami.
Marthin Luther King, pendiri Protestan, bersikap cukup toleran terhadap poligami. Alasannya, Tuhan tidak melarang, dan Nabi Ibrahim As. sendiri beristeri dua. King menilai poligami lebih baik daripada perceraian, kendati dia menganjurkan monogami dan menyatakan bahwa poligami baru dapat dilakukan jika ada kondisi khusus yang membenarkannya.
Memang kita dapat berkata – dan kenyataan juga menunjukkan – bahwa poligami lebih subur di Timur daripada di Barat, walaupun pelacuran lebih merajalela di Barat ketimbang di Timur. Dalam bahasa joke, “Posyandu” (Pos Pelayanan Syahdu) maupun “Puskesmas” (Pusat Pelayanan Mas-Mas) lebih banyak di Barat daripada di Timur.
Menurut Shihab (2020), kesalahpahaman paling populer tentang Nabi Muhammad Saw. berkaitan dengan poligami beliau. Kita tidak dapat menyangkal bahwa Nabi Muhammad Saw. berpoligami tetapi ada fakta yang sering dilupakan atau bahkan sengaja diabaikan oleh para pengkritik beliau; perkawinan dengan sekian banyak perempuan itu terjadi setelah Nabi Saw. hidup bermonogami selama 35 tahun dan menduda setelah wafatnya isteri pertama beliau, baru kemudian menikah dengan Saudah binti Zam’ah.
Sayyidah Saudah binti Zam’ah adalah seorang perempuan tua, berusia sekitar 60 tahun. Suaminya, Sakran bin Amr, meninggal setelah kembali dari berhijrah ke Habasyah (Etiopia) sehingga Saudah dan anak-anaknya sangat berisiko dipaksa murtad atau kawin dengan siapa yang tidak disenanginya. Sahabat Khadijah (almarhumah isteri) yang bernama Khaulah mengusulkan agar Nabi Saw. menikahinya dengan harapan perkawinan ini kiranya dapat ikut berperan aktif merawat puteri-puteri Nabi. Di samping itu, Saudah dan almarhum suaminya termasuk orang-orang pertama yang memeluk agama Islam, dan dianiaya di Mekkah sehingga terpaksa berhijrah ke Habasyah. Karena itu, jangan sampai Saudah yang tua lagi menjanda itu dianiaya karena tidak memiliki pendamping dan pengayom.
Beberapa saat setelah menikahi Sayyidah Saudah yang berusia lanjut itu beliau menikahi Aisyah puteri sahabat beliau Abu Bakar Ra. Aisyah ketika itu masih berusia sangat muda, sekitar sembilan tahun bahkan belum mengenal seks sehingga beliau berhubungan suami isteri dengannya setelah beliau berhijrah ke Madinah, yakni setelah tiga tahun dari akad nikah.
Jadi, selama empat tahun sejak meninggalnya isteri pertama beliau Khadijah, Nabi Muhammad Saw. dapat dinilai hidup “menduda”, yakni jauh dari pemenuhan dorongan seksual. Kalau memang Nabi Muhammad hiperseks, apakah itu baru muncul saat beliau melampaui usia 53 tahun? Di mana dorongan seksual meluap itu saat beliau masih muda? Bukankah beliau sangat tampan, disegani, dan berasal dari keluarga amat terhormat serta diminati oleh gadis-gadis dan orang tua mereka ketika itu?
Mengapa pula beliau pertama kali menikah dengan Khadijah binti Khuwailid seorang janda berusia 40 tahun dan telah menikah sebelumnya dengan dua pria serta memiliki dua orang anak pula (Suami pertama Sayyidah adalah ‘Atiq bin ‘Abid bin ‘Abdillah. Dari pernikahan ini lahir seorang anak. Lalu, setelah suami pertama wafat, beliau menikah lagi dengan Abu Halah bin Zararah dan dikaruniai juga seorang anak)?
Mengapa sejak muda beliau tidak dikenal sebagai sosok yang senang berfoya-foya dan menggauli perempuan kiri dan kanan sedangkan pada masa itu, dalam masyarakat jahiliah, hal tersebut dikenal luas dan ditoleransi?
Beliau hidup berumah tangga selama lebih dari 25 tahun bersama seorang isteri saja, yakni Sayyidah Khadijah Ra., dan selama itu beliau tidak dikenal kecuali sebagai seorang pria yang sangat bersih. Lalu, apakah perkawinan dengan sekian banyak perempuan dapat menjadi bukti yang pasti tentang hiperseks? Kalau demikian, apakah yang tidak menikah adalah “underseks”? Di samping itu, apakah terhidangnya aneka makanan di atas meja dapat menjadi bukti bahwa yang duduk di hadapannya menyantap seluruh yang terhidang?
Memang ada beberapa janda muda yang beliau nikahi tapi itu dengan sebab dan latar belakang nonseksual. Sayyidah Hafsah yang merupakan janda Hunais bin Hudhafdah dinikahi Nabi Saw. ketika puteri Sayyidina Umar Ra. itu berusia sekitar 20 tahun – setelah Sayyidina Umar mengeluhkan ketersendirian puterinya itu; setelah beliau menawarkan puterinya kepada Sayyidina Abu Bakar dan Usman Ra. tapi mereka menyambutnya dengan dingin. Nah, di sini Nabi mengukuhkan persahabatan dengan Sayyidina Umar dengan tidak mengecewakan sang sahabat. Pernikahan ini terlaksana tahun III Hijrah.
Setelah Sayyidah Hafshah Ra., bulan Ramadan tahun IV Hijrah, Nabi Saw. menikah dengan Sayyidah Zainab binti Khuzaimah Ra. yang ketika itu berusia sekitar 30 tahun. Suami pertamanya adalah Ubaidah bin Harits bin Muthalib yang syahid dalam Perang Badar. Beliau tidak cantik tetapi kebaikan hati dan kedermawannya dikenal luas sehinga populer dengan nama umm al-masakin (ibu orang-orang miskin). Beliau wafat setelah delapan bulan dari pernikahan tersebut.
Setelah itu, tahun IV Hijrah Nabi Muhammad Saw. juga menikah dengan Ummu Salamah Hind binti Abi Ummayah Ra. yang usianya sekitar 28 tahun serta memiliki 4 orang anak. Suami pertamanya adalah Abdullah Al-Makhzumi Ra. yang juga anak pamannya. Ia terluka dalam Perang Uhud kemudian gugur. Pada mulanya Sayyidah Ummu Salamah menolak lamaran Nabi Saw. Sebagaimana sebelumnya telah menolak lamaran Sayyidina Abu Bakar dan Umar Ra., tetapi pada akhirnya bersedia dipersunting Nabi Saw. demi memelihara kehormatan dan anak-anaknya.
Kemudian, tahun V Hijrah, beliau menikah dengan Sayyidah Zainab bint Jahsy Ra. yang ketika itu berusia 38 tahun. Nabi Saw. pada mulanya merasa sangat berat menikahinya karena beliau sendiri yang menikahkan Zainab dengan anak asuh beliau Zaid Ra., bahkan sangat mendesak agar Zainab menerima Zaid, tetapi ternyata kehidupan rumah tangga mereka berujung tidak harmonis sehingga putus.
Nabi merasa tidak tepat menikahi Zainab Ra. karena ia adalah mantan isteri anak angkat beliau, tetapi Allah memerintahkan pernikahan itu dengan tujuan membatalkan adat kebiasaaan jahiliah yang memperlakukan anak angkat sama dengan anak kandung sehingga melarang pernikahan ayah angkat dengan mantan isteri anak angkatnya. Allah menikahkan langsung Nabi Saw. tanpa prosedur yang dikenal dalam syariat.
Ini diuraikan secara gamblang dalam QS Al-Ahzab {33] : 37. Atas dasar itulah Sayyidah Zainab Ra. sering berbangga di hadapan isteri-isteri Nabi yang lain. “Kalian dinikahkan oleh orang tua kalian, tetapi aku dinikahkan langsung oleh Allah dari langit yang mahatinggi”.
Setelah Sayyidah Zainab bint Jahsy, pada tahun VI Hijrah, Nabi Saw. menikah dengan Sayyidah Juwairiyah bint Al-Harist Ra. setelah peristiwa Perang Bani Al-Musthalaq yang saat itu beliau tertawan dan suaminya terbunuh. Usia Juwairiyah sekitar 21 tahun. Juwairiyah adalah puteri kepala suku yang ditawan dan dimerdekakan oleh Nabi Saw. Lalu beliau mengawininya dengan harapan kaum muslim dapat membebaskan para tawanan lainnya dan memang itulah yang terjadi sesuai dengan harapan Nabi dan semua pada akhirnya memeluk agama Islam. Juwairiyah sendiri memilih untuk menetap bersama Nabi Muhammad dan enggan kembali bersama ayahnya.
Selanjutnya, pada tahun VI beliau juga menikah dengan Sayyidah Ummu Habibah Ramlah Ra. yang ketika itu berusia sekitar 43 tahun. Ummu Habibah adalah puteri Abu Sufyan, seorang pemimpin kaum musyrik yang memusuhi Nabi Saw. Sebelum menikah dengan Nabi, Ummu Habibah menikah dengan Ubaidullah bin Jahsy yang berhijrah ke Habasyah, tetapi sang suami kemudian murtad dan memilih agama Nasrani di sana, lalu menceraikan Ummu Salamah sehingga ia hidup sendiri di perantauan.
Nabi Saw. melalui Negus penguasa Etiopia melamarnya, dengan harapan mengangkatnya dari penderitaan sekaligus menjalin hubungan dengan ayahnya yang ketika itu merupakan salah satu tokoh utama kaum musyrik di Mekkah.
Selanjutnya, beliau menikah dengan Sayyidah Shafiyah bint Huyay bin Akhthab Ra. puteri kepala suku Bani Nadhir dari suku Yahudi. Sayyidah Shafiyah menjanda dua kali; pertama dari Salam bin Misykam dan kedua dari Kinanah bin Ar-Rabi’ yang terbunuh dalam Perang Khaibar. Ketika itu, Shafiyah tertawan. Maka, Nabi Saw. memberinya pilihan dimerdekakan dan kembali ke kaumnya atau memeluk agama Islam dan dinikahi Nabi Saw.
Sayyidah Shafiyah yang ketika itu baru berumur sekitar 17 tahun memilih dipersunting Nabi Saw. Sebenarnya Sayyidah Shafiyah bukanlah seorang perempuan yang mempesona kecantikannya, bahkan beliau dikenal pendek dan dilecehkan oleh sementara isteri, tapi Nabi selalu membelanya. Terakhir, beliau menikahi Maimunah bint Al-Haris Ra. pada bulan Syawal tahun VII Hijrah, yakni ketika beliau berkunjung ke Mekkah untuk melaksanakan Umrah. Usia Maimunah ketika itu sekitar 27 tahun.
Satu perempuan lagi yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki semua isteri-isteri Nabi di atas kecuali Sayyidah Khadijah Ra. adalah Mariyah Al- Qibthiyah Ra. Melalui Mariyah, Allah menganugerahi Nabi seoorang putera. Mariyah adalah seorang gadis dari Hifn (sekarang bagian dari Propinsi Al-Minya wilayah upper Egypt) ditepi utara sungai Nil. Ayahnya orang Mesir asli bernama Syam’un, ibunya penganut agama Kristen berasal dari Byzantium/Romawi Timur.
Kehadiran Mariyah ke Madinah bermula dari jawaban surat yang Nabi kirim kepada Cyrus (Al-Muqauqis) Koptik Agung Mesir di Alexandria. Nabi mengajak memeluk agama Islam. Kendati Al-Muqauqis menolak ajakan itu, namun surat Nabi disambutnya dengan sopan dan menjawabnya sambil menghadiahi beliau antara lain dua orang gadis bersaudara. Mariyah al-Qibthiyah dan Sirin (seorang hamba sahaya yang telah dikebiri), dua puluh pakaian buatan Mesir, seekor bagal, sejumlah uang, madu dan wewangian.
Kedua kakak beradik itu tinggal sekian lama di istana al-Muqauqis dan tidak heran jika ia mendengar tentang kedatangan utusan Nabi Saw. membawa surat kepada penguasa Mesir itu dan tidak mustahil – sebagai hasil pendidikan ibunya yang beragama Kristen dan kediamannya di istana Koptik Agung Mesir itu – bahwa keduanya telah mendengar tentang akan diutusnya seorang Nabi setelah Isa As. karena ihwal pengutusan itu tidak asing bagi penganut Kristen ketika itu, lebih-lebih bagi sang Koptik sebagaimana pengakuannya dalam suratnya kepada Nabi Saw.
Dari Mariyah itulah Nabi Saw. dikaruniai anak yang beliau namai Ibrahim. Setelah kelahiran sang anak Nabi Saw. memerdekakan Mariyah. Sayang, anak lelaki yang didambakan Nabi Saw. wafat sebelum mencapai usia dua tahun.
Itulah perempuan-perempuan yang menjadi isteri Nabi Saw. Mereka pada umumnya bukanlah perempuan-perempuan yang dikenal memiliki daya tarik memikat. Pada dasarnya, pernikahan dilakukan Nabi Saw. demi menyukseskan dakwah atau membantu dan menyelamatkan para perempuan yang telah kehilangan suami.
Lebih lanjut menurut Shihab (2020), tiga orang dari mereka yang paling banyak mendapat pembicaraan negatif serta sorotan dari para orientalis adalah Sayyidah Khadijah Ra., Sayyidah Aisyah Ra., dan Sayyidah Zainab Ra. Bersambung
Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul
Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak dan Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul serta Dosen FK-UAD