Toleransi ala Muhammadiyah: Menjaga Lingkungan Sosial
Oleh: Diko Ahmad Riza Primadi
Akhir-akhir ini pembahasan mengenai toleransi, moderasi sampai deradikalisasi menjadi topik panas di negeri ini. Memutar dinamika diskusi bahkan hingga konfrontasi literasi, dan semoga tidak sampai pada konfrontasi aksi dengan bumbu anarki. Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi toleransi, berbagai fakta sejarah telah membuktikan bahwa Islam menuntut penganutnya untuk bersikap toleran kepada siapa saja sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Kafirun.
Dalam memaknai toleransi, ada yang mengibaratkannya sebagai sebuah rumah besar. Dapat menampung banyak manusia dari berbagai rupa. Buya Ahmad Syafii Maarif mengibaratkan toleransi di Muhammadiyah sebagai rumah megah. Kemegahan adalah sesuatu yang berseni dan menangkap seluruh makna keindahan, kenyamanan dan kebahagiaan.
Mewah memiliki arti yang lebih luas. Berbeda dengan rumah yang sekedar besar. Memiliki kapasitas tempat dan ruangan yang luas. Meski bisa untuk menampung lebih banyak orang. Namun masih menyisakan sebuah pertanyaan. Apakah orang-orang yang berada di dalam merasakan kebahagiaan. Merasakan getaran keharmonian, kebersamaan dan kehangatan. Atau bahkan yang mereka rasakan hanya kehampaan. Tentu yang diharapkan adalah rumah besar yang nyaman, bukan rumah besar yang kosong, sunyi dan menyeramkan, seperti yang banyak kita temukan.
Buya Syafii Maarif, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 1998 – 2005 mengatakan bahwa, bagi Muhammadiyah, toleransi merupakan suatu idealisme dan cita-cita besar yang perlu untuk diwujudkan. Perlu untuk terus diusahakan dan diperjuangkan.
“Hanya toleransi yang bisa membuat kehidupan terasa tenang dan nyaman,” ujarnya dalam sebuah acara diskusi dengan tema “Muhammadiyah Rumah Besar Toleransi” beberapa waktu lalu.
Buya menambahkan, perbedaan merupakan sunatullah atau sebuah keniscayaan yang harus diterima dengan lapang dada oleh setiap manusia, mulai dari perbedaan dalam hal keyakinan, budaya, adat-istiadat, dan lain sebagainya. Karena adanya perbedaan untuk memperkaya kehidupan manusia.
Di dalam QS. Al-Baqarah ayat 148 dijelaskan bahwa perbedaan ditujukan untuk mendorong setiap manusia agar dapat saling berlomba dalam hal kebaikan. Berkolaborasi mewujudkan kebermanfaatan. Buya mengingatkan kepada kita untuk tidak memaknai perbedaan sebagai sesuatu hal yang negatif.
“Hidup yang demikian singkat ini mari kita manfaatkan untuk menjaga lingkungan sosial kita dengan cara bertoleransi. Memang tidak mudah, mari kita selalu berlapang dada untuk menghargai segala perbedaan yang ada,” pesannya.
Beliau juga berpesan agar agama tidak dipakai untuk membeda-bedakan atau memecah belah kerukunan antar umat beragama. Menurutnya, agama akan sangat merusak jika ditafsirkan dengan cara yang salah. Inti dari toleransi adalah menghargai orang lain yang berbeda dan juga berlapang dada menerima perbedaan.
Yang mana pada akhirnya rumah mewah itu adalah Pancasila. Pancasila sebagai sebuah nilai implementasi sekaligus sebagai panduan aplikasi dalam bertoleransi sebagai penawar ekskalasi agar tidak sampai pada konfrontasi berbasis anarki.
Konten ini hasil kerja sama Suara Muhammadiyah dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI