Gagasan Haedar Nashir tentang Moderasi Indonesia untuk Dunia

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr KH Haedar Nashir MSi, menyampaikan pidato kunci tentang “Peran Strategis Muhammadiyah dan Aisyiyah dalam Mendukung Kepemimpinan Indonesia di Tingkat Global” (15/11/2021). ‘Seminar Nasional Kebangsaan Moderasi Indonesia untuk Dunia’ itu diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Prodi Hubungan Internasional UMY dan Amanat Institute.

Kegiatan ini sebagai wujud optimisme bahwa Indonesia memiliki potensi dan peluang untuk memperkuat posisinya di kancah internasional. Indonesia punya dua momentum strategis. Pertama, beberapa tokoh muslim Indonesia masuk dalam daftar 500 tokoh muslim paling berpengaruh di dunia tahun 2021, antara lain: Joko Widodo, Haedar Nashir, Syafii Maarif, dan Din Syamsuddin. Kedua, Indonesia dikukuhkan sebagai presiden G-20 tahun 2022, sebuah forum strategis yang di dalamnya membahas berbagai permasalahan global seperti ekonomi, perubahan iklim, dan pembangunan berkelanjutan.

Haedar Nashir menyampaikan apresiasi khusus atas kepercayaan dunia kepada Indonesia dalam forum G-20. Momen ini diharapkan dapat dimaksimalkan untuk penguatan dan mobilisasi peran Indonesia untuk berkontribusi lebih luas di ranah global. Indonesia, kata Haedar, perlu mencari titik peran baru. “Dulu, kita pernah punya peran yang sangat penting dalam aliansi negara non-Blok di bawah peran kepemimpinan Soekarno,” katanya.

Indonesia juga punya potensi dalam ranah ekonomi. “Menurut banyak kajian, 2030 ke depan, Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar setelah Tiongkok, Amerika Serikat, India, Indonesia, dan kelima Jerman,” ujar Haedar. Potensi ekonomi ini perlu dikonsolidasi dan diakselerasi supaya Indonesia tidak kehilangan momentum. Indonesia perlu menyelesaikan masalah-masalah tentang kesenjangan kualitatif dan kuantitatif, pertumbuhan yang lambat, hingga tentang utang luar negeri.

Selain ranah ekonomi, Haedar juga menyoroti aspek demokrasi. “Pasca reformasi, Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika dan India,” katanya. Di saat yang sama, perlu ada upaya untuk mereformasi dan mengkontekstualisasikan kembali makna demokrasi. Tanpa kesadaran ini, demokrasi akan jatuh pada situasi paradoks sebagaimana dinyatakan dalam buku Steven Levitsky & Daniel Ziblatt: How Democracies Die (2018).

Haedar menunjukkan fakta bahwa “kematian demokrasi tidak lagi berada di tangan rezim militer, tetapi justru di tangan pemimpin negara non militer yang membajak demokrasi. Mereka menjalankan demokrasi semu dan ekstremitas.” Sebabnya, demokrasi dijalankan tanpa substansi, perilaku otoriter tidak direformasi dalam perilaku politik. Haedar mengingatkan bahwa demokrasi juga bisa dibajak oleh kekuatan sipil yang dikendalikan secara oligarki, sebagaimana halnya politik yang dibajak oleh oligarki ekonomi.

Persolan lainnya adalah tentang ancaman perubahan iklim. Haedar menunjukkan buku The Uninhabitable Earth yang ditulis David Wallace-wells tentang ancaman nyata perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan jika tidak segera diambil langkah-langkah antisipasi konret. Bahkan situasi pandemi Covid-19, punya kaitan dengan perbuatan sewenang-wenang pada alam dan peradaban yang dikendalikan tanpa etika.

Pengelolaan bumi punya kaitan dengan urusan etika sehingga bumi dieksploitasi tanpa batas. “Tantangan terbesar kita saat ini adalah tentang ide-ide etik dan metafisik, yang mungkin dianggap tidak berguna,” kata Haedar. Akibatnya, berkembang luas ideologi antroposentrisme-humanisme-liberal-sekular yang telah mengeyampingkan nilai etik agama tentang peran manusia di muka bumi.

***

Dalam konteks kepemimpinan Indonesia sebagai G-20, Haedar Nashir menyampaikan beberapa pandangan. Pertama, Indonesia perlu memperkuat peran di ASEAN. “Jika tidak, peran kita akan menurun. Pertumbuhan ekonomi Singapura dan Malaysia sangat luar biasa.” Setelah itu, perlu menyusun ulang peran di Asia Timur, terutama dengan Tiongkok yang pertumbuhan ekonominya sangat cepat. “Dalam relasi Indonesia dengan Tiongkok, tidak bisa taken for granted, tidak bisa menjadi seperti objek, tetapi sebagai subjek,” ungkapnya.

Haedar Nashir juga menyoroti peran politik luar negeri Republik Indonesia yang berpijak pada prinsip bebas aktif. “Di G-20, Indonesia punya teman dengan Arab Saudi dan Turki, bagaimana Indonesia mengambil prakarsa perdamaian agama dan pertumbuhan ekonomi.” Jika Indonesia tidak berelasi aktif dengan Saudi, maka Saudi akan mengalihkan investasinya ke negara lain seperti Tiongkok dan Israel. Dalam hal ini, akan ada oknum yang aktif menjalin hubungan dengan Israel, misalnya.

***

Bagaimana peran Muhammadiyah dalam upaya mendukung kepemimpinan Indonesia di tingkat global? Haedar Nashir memberi jawaban, pertama, internasionalisasi Muhammadiyah. Kedua, kosmopolitanisme Muhammadiyah, yang diimplementasikan seperti dalam bentuk penerjemahan buku dan meluaskan relasi. Ketiga, membangun pusat-pusat keunggulan di luar negeri. Peran luar negeri ini dibarengi dengan peran ke dalam untuk penguatan kualitas Sumber Daya Manusia.

Haedar menekankan pentingnya implementasi tawaran moderasi Islam ke dunia. Moderasi Indonesia dan moderasi Islam untuk dunia bukan pada retorika dan klaim. “Tetapi dimulai dengan kejujuran bahwa kita sendiri moderat, Indonesia dibawa menjadi moderat, Pancasila yang moderat, keagamaan yang moderat. Moderasi itu bukan tanpa nilai, tetapi harus jelas basis nilainya,“ tukas Haedar Nashir. (Ribas)

Exit mobile version