Pancasila sebagai Pengaman Kebangsaan
Oleh: Lutfi Effendi
Ketika Muhammadiyah menerima Pancasila, Allahyarham KH AR Fachruddin.(Pak AR) saat itu menegaskan Pancasila ini dalam hubungannya dengan Muhammadiyah diibaratkan mengendarai sepeda motor yang kalau memasuki jalur helm ya kita harus pakai helm. Dan bahkan saat ini helm merupakan alat pengaman bagi pemotor.
Karenanya, menyambung peristilahan Pak AR tersebut, maka Pancasila dapat dikatakan sebagai pengaman dalam berbangsa. Hal ini juga dapat dilihat dari sejarah bagaimana Pancasila yang saat ini merupakan dasar negara dibentuk dan disetujui oleh para founding fathers negara kita Indonesia, para pendiri bangsa.
Salah satu founding fathers itu adalah Ki Bagus Hadikusumo yang saat itu juga merupakan Ketua HB Muhammadiyah, sekarang disebut sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah. Ia merupakan tokoh kunci bagi diterimanya Pancasila yang ada sekaang ini oleh senua pihak pendiri bangsa.
Menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti, karena kita melihat sejak awal, para tokoh pendiri bangsa menyusun dasar negara dan undang-undang dasar 45 diskusinya kan sudah sangat luar biasa, sehingga susunan dan rumusan-rumusan Pancasila itu kita lihat dalam sejarah juga berbeda-beda antara satu tokoh dengan tokoh yang lain. Dan bahkan diskusinya, terutama mengenai Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa itu kan sangat-sangat panjang.
Dan sejarah mencatat, tokoh kunci yang menjadi penentu dan penyelesai perdebatan dua aliran dalam tim penyusun dasar negara itu adalah Ki Bagus Hadikusuma. Beliau yang menjadi penentu rumusan sila pertama yang berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya menjadi hanya seperti yang kita punyai sekarang ini yaitu Ketuhan Yang Maha Esa. Dengan pemahaman bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah Tauhid.
Untuk mempertegas lagi tentang sikap Muhammadiyah terhadap Pancasila, maka pada Mukatmar Muhammadiyah ke-47 di Makassar tahun 2015, Muhammadiyah memutuskan “Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Asysyahadah”. Sebagai penegasan Muhammadiyah tentang penerimaan Pancasila sebagai dasar negara.
Yang melatarbelakangi keputusan ini, menurut Abdul Mu.ti: pertama, adanya kelompok-kelompok atau beberpa elemen masyarakat, terutama masyarakat Muslim yang masih mempersoalkan relasi antara Islam dengan negara, dan mempersoalkan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Hal ini bisa dilihat, misalnya, dari gerakan gerakan yang secara terbuka melakukan kampanye untuk melemahkan Pancasila atau bahkan melemahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Yang kedua, adanya realita bahwa sebagai bangsa ini secara idiologis memang belum merumuskan dengan sangat eksplisit dan membuat satu penjelasan akademik mengenai negara Pancasila itu. Sehingga tafsir-tafsir yang berkait dengan negara Pancasila ini kan masih berbeda-beda antara satu dengan yang lan.. Menurut Mu’ti harus ada pemahaman yang sama mengenai konsep negara Pancasila ini.
Dan yang ketiga, ada sebuah realitas di mana kita ini sering kali masih melihat sebuah permasalahan di mana masyarakat Islam ini dianggap sebagai ancaman terhadap negara Pancasila itu. Dan kadang-kadang hal itu dikait-kaitkan dengan adanya fenomena di beberapa daerah yang berusaha untuk melakukan formalisasi syariat dalam perundang-undangan, terutma, misalnya, Perda-perda yang diberi label syariat. Sehingga masih muncul suatu pemahaman bahwa umat Islam itu belum bisa menerima Indonesia sebagai negara yang berdasar atas Pancasila dan masih munculnya upaya-upaya untuk memformalkan syariat Islam itu sebagai dasar negara.
Nah terkait dengan tiga realitas inilah, menurut Abdul Mu’ti, kemudian Muhammadiyah perlu membuat suatu pernyataan bahwa secara organisasi Muhammadiyah menerima Pancasila sebagai bentuk ideal, baik yang bersifat filosofi maupun idiologis. Bahkan juga secara konstitusional dalam hal berbangsa dan bernegara.
Karenanya, bagi Muhammadiyah, Pancasila bukan persoalan lagi, yang masih menjadi masalah bagaimana penerapannya di lapangan seperti yang sering disinggung Buya Syafii Maarif yang mantan Ketua PP Muhammadiyah. Buya Syafii yang juga anggota pengarah BPIP sering menyinggung kepincangan Pancasila di lapangan, terutama dalam penerapan sila kelima Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tetapi tentu saja tidak menafikkan adanya persoalan-persoalan penerapan sila yang lain di lapangan.
Untuk hal yang demikian Muhammadiyah memang perlu ikut mengurai persoalan tersebut. Muhammadiyah lewat tokohnya telah ikut menyusun Pancasila, kini mestinya juga ikut mengawal penerapannya di lapangan. Sebagai contoh, Muhammadiyah mendukung sistem demokrasi yang ada di Indonesia. Muhammadiyah mendukung sistem hukum yang ada di Indonesia. Tapi pertanyaannya, bagaimana Muhammadiyah ini terlibat di dalam proses demokratisasi itu. Ini menurut Abdul Mu’ti, masih muncul pemahaman di masyarakat bahwa demokrasi itu hanya sekadar alat untuk merebut kekuasaan.Demokratis itu sangat diidentikkan dengan kekuasaan yang sangat pragmatis dan jangka pendek. Semua itu tentu menjadi PR warga bangsa, termasuk Muhammadiyah di dalamnya.
Konten ini hasil kerja sama Suara Muhammadiyah dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI