Ulama Muhammadiyah Yang Berkemajuan
Oleh Prof DR H Haedar Nashir, M.Si.
Muhammadiyah saat ini dan ke depan semakin banyak tantangan dalam berbagai aspek kehidupan. Termasuk tantangan khusus di bidang keagamaan, baik yang berkaitan dengan semakin berkembangnya beragam pemikiran atau paham keislaman, maupun yang bersifat pengamalan dan masalah-masalah keislaman yang bersifat aktual. Menghadapi kehidupan yang semakin terbuka, bhineka, dan melintas-batas di era globalisasi, modernisasi abad 21, dan revolusi teknologi informasi yang sangat cepat dan kompleks sungguh menuntut pandangan keislaman yang kokoh dan berkemajuan.
Karena Muhammadiyah itu merupakan Gerakan Islam yang menjalankan dua misi utama dakwah dan tajdid, maka semestinya pemahaman keislaman menjadi dasar dan orientasi dalam menghadapi tantangan zaman yang kompleks di era baru itu. Muhammadiyah tidak cukup memadai hanya dengan sikap praktis-pragmatis dalam menghadapi isu-isu dan permasalahan hidup umat tanpa mencari pijakan dan bingkai pada Islam sebagai Ajaran yang menjadi landasan gerakannya.
Di sinilah pentingnya kader ulama yang menguasai ilmu-ilmu khusus keislaman sekaligus memiliki keluasan ilmu pengetahuan atau wawasan umum yang bersifat melintasi. Bukan sekadar ahli agama yang bersifat khusus, lebih-lebih dengan wawasan terbatas, namun meniscayakan kedalaman dan keluasan ilmu-ilmu agama yang meminjam terminologi Prof Mukti Ali “Agama cum Ilmu Pengetahuan” dan sebaliknya, sehingga menjadi kader dan sosok yang benar-benar “ar-Rasih fil-‘Ilm” dan “Ulul Albab” sebagaimana terminologi Al-Quran.
Integrasi Keilmuan
Ulama adalah mereka yang berilmu. Dua ayat rujukan dalam Al-Quran tentang ‘ulama — bentuk jama dari ‘alim— dalam Surat Al-Fathir ayat ke-28 menunjuk pada mereka yang memiliki ilmu yang “khasya” (takut, bertaqwa) kepada Allah, serta “ulama Bani Israil” yang mengetahui akan turunnya Nabi Muhammad (QS Asy-Syu’ara’: 197). Sementara mereka yang berilmu, berpikir, dan shaleh banyak dirujuk dalam Al-Quran maupun Hadis Nabi, yang menunjukkan derajat kualitas manusia berilmu secara multisifat dan muktiaspek.
Dalam perkembangan sejarah dan sosiologi Islam ulama sering diindentikkan dengan mereka yang berilmu-agama secara khusus dalam kategori “ulumu al-din” sebagaimana istilah Al-Ghazali, meski Syaikhul Islam ini juga mengakui mereka yang berilmu-umum. Mereka yang mempelajari “Dirasat Islamiyyah” (Islamic Studies) sering diidentikkan dengan ulama khusus itu, meskipun dalam wacana kontemporer seperti dikembangkan oleh Prof Amin Abdullah (2002, 2006) meniscayakan integrasi-interkoneksi dengan ilmu-ilmu umum yang pada dasarnya juga memiliki akar pada epistemologi Islam dan sejarah peradaban Islam. Dengan demikian mereka yang ahli di bidang ilmu-ilmu eksakta, humaniora, dan ilmu-ilmu sosial pun jika memilki dasar-dasar keilmuan dan pengetahuan keislaman maka tergolong ulama.
Dalam pemikiran Amin Abdullah, semua bangunan ilmu merupakan satu kesatan “integratit-interkonektif”, sehingga saling “bertegur-sapa” dan tidak menyendiri. Keilmuan agama terhubung dengan keilmuan sosial, keilmuan humaniora, dan keilmuan kealaman. Menurut Prof Amin, hadlarah al-‘ilm (peradaban ilmu) dalam wujud ilmu-ilmu empiris seperti sains, teknologi, dan ilmu-ilmu yang terkait dengan realitas tidak lagi berdiri sendiri tetapi bersentuhan dengan hadlarah al-falsafah (peradaban falsafah), serta terhubung dengan hadlarah al-nash (peradaban teks), sehingga menjadi satu kesatuan yang terkoneksi dalam membangun peradaban umat Islam dan dunia berbasis agama, akal pikiran, dan ilmu pengetahuan yang berkualitas tinggi.
Dalam pandangan Mohammad Iqbal (2006), agama (Islam) bukanlah sesuatu yang terpisah. Pengetahuan manusia haruslah koheren satu sama lain. Antara nash, akal, dan insting spiritual terdapat kesatuan. Namun karena keterpisahan agama, akal, dan pengetahuan kemudian umat Islam mundur dalam peradaban. Dalam pandangan pemikir Islam dari Pakistan ini, selama 500 tahun terakhir pemikiran keagamaan dalam Islam praktis berjalan di tempat. Padahal dahulu pemikiran Eropa menerima inspirasi dari dunia Islam. Karenanya diperlukan rekonstruksi pemikiran keagamaan atau keislaman yang kokoh untuk menjawab tantangan kehidupan yang selalu aktual dan mengalami perubahan.
Karenanya ulama muslim tidak boleh terjebak pada pemisahan Islam dan ilmu pengetahuan dalam berbagai aspek dan kaitannya. Dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah, memahami Islam harus dengan pendekatan integratif antara bayani, burhani, dan irfani. Ulama Muhammadiyah tidak dapat terkotak-kotak dalam sangkar-besi taksomomi keilmuan yang rugid, naif, dan parsial. Saatnya lahir para ulama dengan kualifikasi keilmuan-keislaman yang kuat, mendalam, terintegrasi, dan terinterkoneksi untuk membangun peradaban “khaira ummah” (QS Ali Imran: 110) yang menjadi cita-cita utama Islam yang dalam referensi Muhammadiyah disebut “Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.
Bagi Muhammadiyah siapapun yang berilmu tentu tidak lepas dari penguasaan dasar-dasar keislaman sekaligus keilmuan dalam berbagai aspek itu, sehingga tidak terjadi dikhotomi. Bahwa yang satu lebih kuat penguasaannya pada ilmu keislaman khusus dan lainnya bersifat umum, maka hal itu tidaklah menjadi masalah. Lebih-lebih dalam konteks Islam bahwa berilmu bukan hanya bersandar pada penguasaan keilmuan, tetapi juga meniscayakan iman yan* membentuk keshalehan dan pengamalan yang melahirkan tindakan berbasis iman dan ilmu sehingga terbangun peradaban Islami yang rahmatan lil-‘alamin. Di sinilah letaknya kekuatan Islam karena segala sesuatu tidak diletakkan secara parsial dan saling terlepas, tetapi terkoneksi dan terintegrasi.
Ulama Timur Tengah
Dalam tradisi Islam dan Muhammadiyah lahir ulama lulusan Timur Tengah terutama dari Saudi Arabia dan Mesir. Kini dari Sudan, Tunisia, Maroko, Turki, dan Pakistan. Kader-kader Muhammadiyah saat ini juga bertebaran menuntut ilmu di negara-negara Muslim tersebut. Pada umumnya mereka belanar ilmu-ilmu keagamaan yang bersifat khusus dalam rumpun Dirasah Islamiyah. Ketika pulang ke tanah air tentu merupakan sumberdaya insani keulamaan yang sangat penting bagi masa depan Islam dan Muhammadiyah.
Para kader Muhammadiyah yang studi di Arab Sudi, Mesir, dan kawasan Timur Tengah tersebut tentu bukan hanya belajar ilmu tetapi juga kebudayaan dan peradaban, terutama ketika Islam jaya di abad keemasan Islam. Mereka jangan terbatas pada penguasaan ilmu-ilmu keisalaman secara verbal, tetapi harus belajar ilmu-ilmu atau pemikiran umum agar semakin luas wawasan dan memiliki kemampuan ilmu-ilmu keisalaman yang integratif-interkonektif seperti disebutkan Prof Amin Abdullah serta menjadikan Islam sebagai agama yang utuh sebagaimana disebutkan Mohammad Iqbal. Mereka juga perlu belajar budaya maju dari negera-negara Islam tersebut, tetapi harus selektif dan tidak terbawa arus pada bias Islam dan bias budaya sehingga ketika kembali ke tanah air menjadi ulama ulul-albab yang melintasi.
Para kader ulama Muhammadiyah yang belajar di Dunia Islam tersebut hendaknya mengikuti jejak Kyai Dahlan. Beliau bermukim dua kali di Makkah, tetapi pulang ke Indonesia menjadi mujadid, pembaru Islam yang fenomenal. Muhammadiyah berdiri dan memjadi gerakan Islam berkemajuan karena Kyai Ahmad Dahlan sang pendiri seorang mujadid yang “khariq al-‘adat” (di luar kelaziman) dan “dhakkak” (cerdas). Dia belajar di pesantren tradisional di tanah air, lingkungan umat Islam saat itu selain terjajah juga praktik keagamaanya jumud, serta perginke Arab Saudi saat itu tengah berada dalam dominasi Wahabi yang ultra-konservatif.
Namun Kyai Dahlan justru pulang dan menjelma menjadi pembaru (mujadid), yang menurut Dr Nurcholish Madjid, pembaruannya bersifat “break trought” atau lompatan melintasi-batas. Dahlan paham tafsir Almanar kemudian mengkontekstualisasikan dalam zaman yang berkembang, sehingga Muhammadiyah menjadi gerakan Islam yang miodern bukan hanya di Indonesia tetapi di dunia Islam, tulis Nurcholish. Pemikiran dan pembaruan amaliah Islamnya melampaui zamannya.
Karenanya, para lulusan Timur Tengah sejak belajar hingga pulang mesti menjadi kader ulama yang melintasi, meniru Kyai Dahlan. Dahlan muda kala itu hanya bermukim sebentar di Saudi menjelma menjadi mujadid, tentu mereka yang studi dan tinggal tahunan di tengah situasi dunia modern saat ini harus lebih berkemajuan. Kader ulama yang studi di Timur Tengah jangan sebaliknya malah menjelma menjadi konservatif. Jika kader ulama pulang dari Timur Tengah menjadi konservatif, malah akan menjadi paradoks dan bahkan beban bagi Muhammadiyah. Muhammadiyah akan ketinggalan dari organisasi-organisasi Islam lain yang semula tradisional dan jumud, sekarang tampak lebih berkemajuan karena para kadernya berpikiran maju.
Konsep “al-ruju’ ila al-Quran wa as-Sunnah” jangan disalahpahami menjadi kembali ke Islam masa lampau yang parsial, kulit luar, dan anti-kemajuan. Hal-hal yang ditiru jangan soak cara berpakaian dan alam pikiran yang tekstual. Justru jika “Kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah” harus mengikuti jejak Nabi Muhammad yang dengan Islam mampu mengeluarkan bangsa Arab yang jahiliyah menjadi bangsa yang berperadaban “al-Madinah al-Munawwarah”, tutur Haedar. Setelah itu Islam menjadi pusat peradaban dunia berabad-abad lamanya ketika Barat masih tertidur lelap. Namun kini Islam tertinggal dari Barat karena jauh dari jiwa kedua sumber ajaran Islam yang melintasi sebagaimana diajarkan Nabi dengan tradisi Iqra sebagai kunci pembuka dan penyebar risalah Islam untuk membangun “khyaira ummah” dan menjadikan Islam sebagai “din al-Hadlarah”.
Para kader Muhammadiyah lulusan Timur Tengah banyak yang berprestasi mengikuti jejak Kyai Dahlan seperti Prof Kahar Muzakkir tamatan Al-Azhar yang tahun 2019 diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Mereka perlu mengasah dan meningkatkan kualitas berpikir keislaman yang melintasi, jangan seperti kotak dalam tempurung. Setelah ambil S1 dan S2 di Timur Tengah, bila perlu ambil S3 di Eropa dan Amerika Serikat, selain ada yang tetap melanjutkan di Timur Tengah. Ingatlah jejak para ilmuwan muslim di era kejayaan Islam, yang telah mengukir kemajuan peradaban Islam yang mendunia berabad-abad lamanya.
Pahami dan luaskan pemikiran Tarjih tentang pendekatan bayani, burhani, dan irfani dalam memahami dan mengaktualisikan Islam. Tajdid purifikasi dan dinamisasi perlu pemahaman yang mendalam dan luas. Bacalah berbagai buku atau kitab klasik dan kontemporer dari manapun datangnya, meskipun ditulis oleh seorang ateis sekalipun agar tahu alam pikiran atheisme. Jika menolak pemikiran liberal-sekuler harus berdasarkan ilmu, jangan ikut-ikutan. Tetapi jangan pula anti-liberal kemudian larinya menjadi konservatif dan ultra-konservatif atasnama kemurnian dan prinsip Islam.
Kenapa demikian? Karena Muhammadiyah saat ini dan ke depan menghadapi zaman posmodern dan era revolusi pasca 4.0 yang luar biasa maju dan kompleks. Muhammadiyah dengan pemikiran purifikasi dan dinamisasi Islam, serta pemahaman keislaman bayani-burhani-irfani yang terintegrasi harus makin kaya pemikiran dan amal usahanya yang semakin berkemajuan. Tarjih dan tabligh pun harus berkemajuan menghadapi zaman baru itu. Tabligh jangan terjebak “al-dawah lil-mu’aradlah” (reaktif dan kontra) tetapi kembangkan “ad-dawah lil-muwajahah” (proaktif hadapi tantangan) dengan pikiran dan langkah alternatif. Di situlah letak peran para kader ulama dan aktivis Muhammadiyah lulusan berbagai perguruan tinggi di dalam dan luar negeri agar menjadi sosok ulama-ilmuwan yang berkemajuan melintas-batas!
Sumber: Majalah SM Edisi 3 Tahun 2020