Peran Kepahlawanan Muhammadiyah dalam Perjalanan Bangsa
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Peringati Hari Pahlawan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggelar Pengajian Umum dengan tajuk Muhammadiyah dan Kepahlawanan Nasional pada Jumat (12/11/2021) secara daring. Narasumber yang dihadirkan PP Muhammadiyah ialah Dr. Lukman Hakiem membahas Ki Bagus Hadikusumo: Kepahlawanan dan Peran Dalam Penyusunan Dasar Negara, Drs. Hajriyanto Y. Thohari, M.A., membahas Ir. Juanda: Kepahlawanan dan Peran Dalam Kedaulatan Wilayah Indonesia, dan Kevin W. Fogg, Ph. D., membahas Bung Tomo, Muhammadiyah, dan Revolusi Indonesia.
Ketua Umum PP Muhammadiyah menegaskan pentingnya belajar sejarah dengan jujur, cerdas, dan komprehensif agar kita tidak mudah melakukan klaim atas dasar pemahaman sejarah yang dangkal.
Ketika kita berbicara peran Muhammadiyah dan kepahlawanan ada dua hal yang mengalami pemahaman dangkal, baik di kalangan Muhammadiyah maupun di kalangan luas. Pertama, tentang titik-titik sejarah di mana Muhammadiyah berperan. Yang sering dilupakan misalnya ialah peran Persyarikatan sejak membentuk Hizbul Wathan pada tahun 1918 yang dilihat hanya sebagai gerakan kepanduan, padahal itu adalah cikal bakal gerakan cinta tanah air dan karakter pergerakan sehingga dari situ pula lahir Sudirman dan para tokoh lain yang kemudian menjadi tokoh Nasional.
“Akan tetapi mungkin seperti yang ditulis oleh Dr. Kevin bahwa pejabat negara saja belum memiliki pemahaman komprehensif tentang sejarah sehingga lahir keputusan yang tidak terlalu pas. Padahal Muhammadiyah memperjuangkannya secara objektif dan argumentatif,” tutur Haedar Nashir.
“Tokoh-tokoh bangsa yang punya irisan bahkan langsung beraktivitas di Muhamadiyah yang kemudian jika kita memakai kategorisasi ketika diangkat sebagai Pahlawan Nasional seperti yang dihimpun oleh tim Suara Muhammadiyah, setidaknya ada 22 tokoh Muhammadiyah yang menjadi Pahlawan Nasional. Ada beberapa nama seperti Ir. Juanda, awalnya banyak yang tidak mengetahui bahwa Juanda merupakan tokoh Muhammadiyah, bahkan pernah menjadi pimpinan sekolah Muhammadiyah di Jakarta. Selain Juanda, ada juga nama Gatot Mangkoepradja, seorang priyayi tokoh Muhammadiyah dan penggerak Peta sekaligus laskar Hizbullah,” tambah Haedar Nashir.
Jejak-jejak sejarah ini perlu kita rajut kembali untuk mengambil peran kesejarahan yang bagi Muhammadiyah tidak selalu masa lampau itu sekadar klangenan, akan tetapi masa lampau itu menjadi satu mata rantai dengan masa kini dan masa depan. Maka penting para anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah memahami sejarah kepahlawanan ini.
Tentu bagi publik juga agar semakin tahu bahwa peran Muhammadiyah dalam sejarah perjalanan bangsa tidak perlu diragukan lagi. Hanya mungkin karena Muhammadiyah yang low profile, tidak pernah meng-klaim. Itu tidak masalah, tetapi yang perlu kita pesankan pada publik ialah kita mesti jujur tentang sejarah, boleh meng-klaim tidak boleh dusta, harus cerdas mencari titik-titik penting sejarah, dan yang terakhir ialah harus bisa multi-perspektif dalam melihat sejarah agar kita tidak masuk dalam proses pembodohan sejarah. (syauqi)