YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Upaya manajemen penanggulangan bencana yang inklusif merupakan agenda besar yang tengah dan terus kita dorong bersama untuk memastikan pemenuhan kebutuhan warga masyarakat yang terdampak bencana, terutama kelompok warga rentan.
Upaya untuk memastikan keselamatan setiap orang, peningkatan kapasitas, pemanfaatan teknologi, serta pelibatan seluruh pihak terus dilakukan.
Sebagai upaya untuk menyoroti praktik-praktik inklusi dan promosi kesetaraan gender di tingkat komunitas, lembaga agama, teknologi, serta narasi kerentanan dan ketangguhan masyarakat adat dan perempuan serta melihat secara kritis bagaimana upaya-upaya penanggulangan bencana yang inklusif ini bersandingan dengan agenda pembangunan dengan pendekatan multisektor.
Sehubungan dengan hal tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyelenggarakan webinar journal club dengan Mengusung tema ”Mempertemukan Kerangka Global dan Narasi serta Praktik Lokal dalam Mendorong Penanggulangan Bencana yang Inklusi”. Rabu, 17 November 2021.
Hadir sebagai narasumber untuk menyampaikan materi tentang “Peran Lembaga Keagamaan dalam Penanggulangan Bencana yang Inklusif”, Ketua Devisi Lingkungan Hidup LLHPB Pimpinan Pusat Aisyiyah, Hening Parlan mengatakan 70 persen warga bumi mengaku dirinya beragama.
Kelompok keagaan menurut Hening bisa melakukan dua peran sekaligus, yaitu di level membangun kesadaran seperti dalam bentuk doktrin dan berikutnya pada ranah aksi.
“Salah satu contoh doktrin yang bisa dikeluarkan oleh kelompok keagamaan, misalnya, anjuran tentang Fiqh Bencana. Berikutnya, pada level aksi mereka kelompok keagamaan misalnya melakukan program-program aksi dalam kesiapsiagaan dan respon,” ujarnya.
Warga bumi termasuk Indoensia kata Hening, masih didominasi oleh orang-orang yang memiliki keyakinan keagamaan.
“Setiap agama memiliki nilai-nilai universal yang hampir sama di dalam memahami pengurangan risiko bencana dan manusia,” kata dia.
Setiap agama lanjutnya memiliki tokoh atau panutan yang dapat menggerakkan para pengikutnya untuk melakukan atau menjalankan suatu nilai-nilai keyakinan secara serentak tanpa harus ada iming-iming material.
“Indonesia lebih dari 80 persen mengaku mempunyai keyakinan. Kalau kita sampai pada saudara-saudara kita masyarakat adat, dengan mereka yang punya kepercayaan, jadi hampir 90 persen masyarakat Indonesia mempunyai keyakinan,” paparnya.
“Semuanya itu, mempunyai nilai-nilai universal yang sama, dan di situ titik poinnya,” imbuhnya.
Dalam kacamata Islam, kata Hening, manusia diciptakan sebagai khalifah yang ditugaskan ke bumi untuk menjaga dan memeliharanya.
Dia kemudian mengatakan, semua umat dengan apapun agama dan keyakinannya jika diikutkan menjaga bumi, maka akan ada gerakan masif karena mereka akan bekerja dalam titik kelola bumi dengan caranya masing-masing.
Bila masih ada yang menganggap bencana alam sebagai hukuman Tuhan tetapi di sisi mengambil jarak dengan gerakan, hal tersebut menurut Hening membiarkan kita semua menuju kehancuran.
Untuk itu kata dia, aksi Pengurangan Resiko Bencana, komunitas keagamaan bergerak bersama dari ajaran-ajaran normatif menuju gerakan konkrit yang membumi.
“Menjadi pentingnya keterlibatan kalangan agamawan ini mengingat sebagian besar pemerintah kurang efektif melakukan penguatan lokal,” pungkasnya.
Kekuatan Kelompok Agama menurut Hening adalah potensi besar dalam melakukan pengurangan resiko bencana, karena kapasitas membentuk pandangan yang benar, memliki otoritas moral, basis pengikut yang besar, sumber daya materi yang sangat besar dan signifikan serta kapasitas membangun komunitas. (Iwan Abadul Gani)