Pidato Lengkap Haedar Nashir dalam Milad Muhammadiyah ke-109

Pidato Lengkap Haedar Nashir dalam Milad Muhammadiyah ke-109

Optimis Hadapi Covid-19 Menebar Nilai Utama

Oleh: Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Milad ke-109 Muhammadiyah tahun ini masih berada dalam kondisi pandemi Covid-19. Dunia tidak menyangka akan adanya virus yang mematikan, yang sampai tanggal 18 November 2021 ini telah memapar lebih 254 juta orang dan meninggal 5,125,266 orang di dunia, di Indonesia terdapat 4,251,423 terpapar positif dan meninggal 143,683 jiwa, yang membawa dampak buruk di bidang kesehatan, sosial, ekonomi, dan kejiwaan yang luar biasa berat. Kehidupan selama dua tahun berjalan tidak normal dengan usaha penanggulangan yang tidak mudah.

Alhamdulillah kondisi Covid-19 di negeri ini mulai melandai di banding negara- negara lain. Indonesia termasuk negara yang berhasil menekan kasus Covid hingga 7% di bawah rata-rata dunia yang masih sebesar 23,84%. Keberhasilan tersebut buah dari kesungguhan pemerintah dan peran kekuatan-kekuatan masyarakat antara lain Muhammadiyah yang sejak awal konsisten bergerak gigih menangani pandemi.

Namun semua pihak harus tetap waspada dan seksama. Pandemi ini belum dapat dipastikan kapan berakhir, sehingga Badan Kesehatan Dunia (WHO) mewacanakan fase endemi yang tentu memerlukan prasayarat yang tidak gampang. Usaha pemulihan dalam berbagai aspek menjadi agenda penting di semua negara. Bagi Indonesia menangani dampak pandemi tentu menjadi agenda yang tidak ringan karena bertemali dengan berbagai persoalan lainnya yang harus bersamaan ditangani dengan tekad dan kesungguhan atau political-will yang kuat dari semua pihak.

Sikap Optimistik

Bangsa Indonesia harus bangkit dari pandemi dan sigap menyelesaikan masalah- masalah negeri. Indonesia memiliki potensi dan peluang yang positif untuk bangkit dari pandemi dan menyelesaikan persoalan negeri. Kecintaan, kebersamaan, dan pengkhidmatan berbagai komponen bangsa masih bertumbuh dengan baik, sebagaimana ditunjukkan Muhammadiyah dan umat Islam maupun golongan keagamaan dan kebangsaan yang lain. Banyak potensi anak negeri yang hebat dan berprestasi di dalam negeri maupun mancanegara. Kekayaan alam dan budaya Indonesia sangatlah kaya sebagai anugerah Tuhan.

Indonesia tahun ini bahkan memperoleh kepercayaan dunia di mana Presiden Joko Widodo dimandati memimpin Presidensi G20 tahun 2021-2022. Muhammadiyah menyampaikan apresiasi dan selamat atas pencapaian yang positif dan konstruktif di ranah global tersebut. Harapannya kepercayaan dari G20 (Group of Twenty) tersebut dijadikan modal penting membangun optimisme dan peluang positif agar Indonesia makin berkiprah proaktif di tingkat global sekaligus melakukan konsolidasi nasional untuk bangkit dan bergerak dinamis menjadi negara berkemajuan.

Sikap optimistik disertai ikhtiar bangkit niscaya dilakukan oleh pemerintah dan seluruh  rakyat.  Pandemi  dan  masalah  negeri dapat diselesaikan    ecara  simultan jika semua pihak bersatu dalam bingkai Indonesia milik bersama disertai sikap mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kehendak diri, kroni, golongan, dan kepentingan sendir-sendiri. Indonesia akan gagal bangkit dan maju manakala para pihak bercerai-berai dan silang-sengketa tak berkesudahan dalam sangkar-besi keangkuhan kuasa dan anāniyyah-ḥizbiyyah (egoismekelompok) yang merah menyala.

Konsolidasi nasional menjadi niscaya menyertai gerakan pulih dan bangkit. Bangsa  ini  masih  memiliki  persoalan  yang  harus  terus  dipecahkan  bersama  seperti merekat  persatuan  dari  ancaman  perpecahan,  korupsi,  kesenjangan  sosial  ekonomi, eksploitasi sumberdaya alam, masalah tanah dan tataurang, kekerasan; serta masalah kebangsaan lainnya yang menjadi tanggungjawab kolektif. Karenanya   diperlukan kesungguhan, kecerdasan, dan kebersamaan disertai kearifan semua pihak, elite, dan warga  bangsa  dalam  menyelesaikan  masalah-masalah  berat  tersebut dengan spirit bangkit dan bergerak bersama. Hindari sikap dan tindakan para pihak yang dapat menambah beban berat dan merusak sendi-sendi kehidupan berbagnsa dan bernegara.

Indonesia harus dibawa maju bersama dalam semangat persatuan  Indonesia dan kepribadian bangsa. Kemajuan dan keunggulan Indonesia haruslah memiliki fondasi yang kokoh berlandaskan konstitusi, dasar negara Pancasila, serta nilai-nilai luhur agama dan kebudayaan yang hidup dan mendarah-daging dalam jatidiri bangsa. Indonesia dengan nilai luhur serta potensi dan kekuatan yang dimilikimya harus mampu menjawab tantangan zaman di tengah dinamika perubahan yang kompleks saat ini dan ke depan.

Khusus dalam menghadapi pandemi Covid-19, sikap optimistik disertai usaha-usaha yang maksimal penting untuk terus dilakukan agar  Indonesia  dapat mengatasi wabah ini dengan langkah yang semakin terencana. Segala kebijakan dan ikhtiar kolektif mesti  dilakukan  secara  simultan  dan perencanaan  ke depan  yang  matang.  Termasuk dalam  melakukan  recovery  dan  penanganan  dampak  yang  diakibatkan  oleh pandemi selama  dua tahun  ini. Segala  ikhtiar yang bersifat  rasional-ilmiah dan  spiritual-rohaniah harus terus dilakukan sebagai jalan jihad untuk mengakhiri pandemi. Allah memberikan jalan lapang bagi siapa pun yang bersungguh-sungguh sebagaimana firman-Nya:

Artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik” (Q.S. Al-Ankabūt: 69).

Sikap   optimis  disertai   ikhtiar yang  bersungguh-sungguh harus menjadi jiwa, pikiran, dan orientasi tindaka semua orang di negeri ini agar mampu mengubah keadaan yang buruk dari wabah Corona ke situasi yang baik. Meski pandemi mulai melandai di negeri ini, sikap dan langkah seksama sangatlah diperlukan. Kaum beriman diajarkan Allah, “Innallāha lā yugayyiru mā bi qaumin ḥattā yugayyirū mā bi anfusihim”, artinya “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri” (Q.S. Al-Ra’du: 11).

Optimisme dalam wujud tekad dan ikhtiar untuk berubah juga menjadi niscaya dalam memecahkan persoalan-persoalan umat dan bangsa. Seberat apapun masalah yang dihadapi bangsa Indonesia jika pemerintah serta semua komponen bangsa berkomitmen kuat, bersatu, dan melangkah bersama secara serius dan terencana maka akan terdapat jalan keluar dari kesulitan.

Kunci menyelesaikan masalah bangsa ialah tekad dan kes ngguhan yang kuat disertai ketulusan, kejujuran, keterpercayaan, kecerdasan, keseksamaan, serta langkah-langkah terencana dan tersistem yang terfokus pada mencari solusi. Seraya hindari sikap dan langkah serampangan, tidak prioritas, kontraproduksi, dan kegaduhan yang diakibatkan oleh pola pikir yang salah kaprah dalam membangun dan membawa Indonesia. Sungguh tidak ada kekuatan yang akan mampu menyelesaikan persoalan- persoalan bangsa yang berat itu sendirian.

Bagi kaum muslimin Indonesia sebagai mayoritas di negeri ini terdapat tuntutan dan tantangan untuk menjadi kekuatan pencerdas, pencerah, pendamai, dan pembawa kemajuan yang bersendikan Ajaran Islam yang rahmatan lil-‘ālamīn. Kaum muslim harus tampil   menjadi   golongan   mayoritas   yang   berkualitas   “ummatan   wasaṭan   li-takūnū syuhadā’a ‘alā al-Nās”, yaitu umat tengahan yang menampilkan kualitas dan berperan konstruktif dalam berbagai aspek kehidupan. Islam dan keberadaan kaum muslim Indonesia tidak cukup berdalih sebagai penyebar misi raḥmatan lil-‘ālamīn tanpa dibuktikan secara konkret dengan menampilkan diri sebagai uswah ḥasanah (teladan terbaik) dan khaira ummah (umat terbaik) yang unggul berkemajuan di dunia nyata.

Nilai Utama

Pandemi Covid-19 memberi pelajaran berharga (‘ibrah, i‘tibār) tentang pentingnya manusia menjaga atau memelihara kehidupan. Kehidupan yang menyangkut jiwa-raga (hifẓ al-nafs), akal (hifẓ al-‘aql), harta (hifẓ al-māl), dan keturunan (hifẓ al-nasl) dengan segala relasinya hatus dijaga penuh pertanggungjawaban dalam satu kesatuan di bawah pondasi hidup beragama (hifẓ al-dīn) sebagaimana menjadi tujuan syariat Islam (maqāṣidu al-syarī‘ah). Tujuan khusus syariat tersebut menurut Imam al-Ghazali terhubung dengan tercapainya kemaslahatan umum (al-maslahāt al-‘āmāt). Allah dengan tegas berfirman:

Artinya: “… barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia” (Q.S. Al-Maidah:32).

Kehidupan manusia merupakan sesuatu yang luhur, berharga, dan bermakna. Memanami kehidupan dengan segala aspek dan siklusnya niscaya didekati secara bayani, burhani, dan irfani secara interkoneksi yang mendalam, luas, dan seksama. Letakkanlah persoalan pandemi ini dalam dimensi iman, tauhid, dan ḥablun min Allāh yang terhubung langsung dengan ḥablun min al-nās, ilmu, ihsan, dan amal saleh yang hakiki dan melintasi. Hidup, sakit, dan mati bukanlah persoalan praktis laksana barang murah yang mudah dibuang atau sekali pakai (disposable) sebagaimana cara pandang verbal dan instrumental.

Manusia bukanlah benda mati meski berjasad raga. Kendati revolusi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi abad ke-21 telah memasuki fase baru yang melahirkan “Kecerdasan Buatan” (Artificial Intellegence) dan “Rekayasa Genetik” (Genetic Engineering). Sebagaimana pandangan liberal-sekular Yuval Noah Harari yang angkuh bahwa umur manusia dapat diperpanjang sampai 500 tahun serta menganggap kematian sebagai persoalan teknis dan bukan metafisik. Namun manusia bukanlah benda material. Islam memandang manusia sebagai makhluk terbaik (fī aḥsan al-taqwīm) yang terdiri dari jiwa dan raga, di dalam dirinya terdapat hati dan akal yang dianugerahkan Tuhan. Manusia bahkan memiliki fitrah beragama (Q.S. Al-Rum: 30; Al-‘Araf: 172). Kecerdasan buatan dan rekayasa genetik sendiri merupakan hasil kerja otak manusia yang diberikan Tuhan, bukan barang jadi yang dipungut di jalanan.

Pandemi ini masalah bersama yang niscaya menjadi ibrah dan hikmah yang menumbuhkan pandangan dan sikap luhur berbasis nilai-nilai utama (al-qiyam al-faḍīlah).

Nilai (Inggris: value, Arab: qīmah-qiyam) yakni sesuatu yang berharga dan dijunjungtinggi dalam kehidupan manusia. Di antara nilai-nilai utama yang niscaya dikembangkan ialah nilai tauhid prokemanusiaan (al-qiyam al-tauhid li al-insanī), nilai pemuliaan manusia (al- qiyam al-takrim al-insanī), nilai persaudaraan dan kebersamaan (al-qiyam al-ukhuwwah wa al-jamā‘iyyah), nilai kasih sayang (al-qiyam al-tarāhum), nilai tengahan (al-qiyam al- wasaṭiyyah),  nilai  kesungguhan  berikhtiar  (al-qiyam  al-mujāhadah),  nilai  keilmuan  (al- qiyam al-‘ilmiyyah), serta nilai kemajuan (al-qiyam al-ḥadāriyyah). Nilai-nilai utama tersebut dapat dijadikan dasar orientasi dalam menyikapi pandemi, sekaligus mengembangkan sikap luhur pasca pandemi karena sangat bermakna bagi kehidupan bersama umat manusia.

Pertama, nilai ketauhidan untuk kemanusiaan. Tauhid merupakan asas paling mendasar dalam Islam. Tauhid dalam Islam tidak terbatas menyangkut aspek iman untuk mengesakan Tuhan semata, bersamaan dengan itu tauhid maupun iman dan takwa terkait dengan urusan kemanusiaan dan kehidupan. Ajaran tentang iman dan takwa dalam Al- Quran banyak disandingkan dengan perintah amal saleh dan kebaikan. Allah menegaskan dalam Surah al-Mā‘ūn, orang disebut mendustakan agama karena tidak peduli pada kaum miskin dan anak yatim. Allah memperingatkan, kerusakan di muka bumi akan terjadi bila tidak ada relasi antara “ḥablun min Allāh” dan “ḥablun min al-nās” (Q.S. Ᾱli ‘Imrān: 112). Nabi bersabda, “La yu’minu aḥadukum ḥatta yuḥibba li-akhīhi mā yuḥibbu li-nafsihi”, bahwa tidak beriman seseorang hingga dia terbukti mencintai sesamanya sebagaimana mencintai dirinya (H.R. Muslim).

Muhammadiyah memandang relasi antara “ḥablun min Allāh” dan “ḥablun min al- nās” itu saling terkoneksi yang harus membuahkan segala wujud kebaikan dalam kehidupan. Di dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah pada Pokok Pikiran pertama terkandung pernyataan, “Hidup Manusia harus berdasar Tauhid (meng-esa-kan Allah): ber-Tuhan, beribadah, serta tunduk dan taat hanya kepada Allah.” Sedangkan  pada Pokok Pikiran kedua disebutkan, “Hidup manusia itu bermasyarakat”, serta pada Pokok Pikiran keempat dinyatakan: “Berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya adalah wajib sebagai ibadat kepada Allah SWT dan berbuat ihsan kepada sesama manusia.”

Karenanya dari musibah covid-19 dapat dipetik hikmah menguatkan keyakinan kaum beriman bahwa sikap bertauhid meniscayakan kepedulian pada persoalan kemanusiaan, termasuk menyelamatkan jiwa manusia. Opini yang menyatakan “jangan takut kepada virus corona, takutlah kepada Allah”, merupakan pandangan bias dalam memahami tauhid. Padahal ketakutan kepada Allah (khasyyah) yang bersendikan iman dan taqwa, berbeda sekali dengan ketakutan dalam makna waspada terhadap virus dan hal lain yang mengancam keselamatan diri. Allah SWT memperingatkan “wa lā tulqū bi aidīkum ilat-tahlukati wa aḥsinū”, artinya “Janganlah kamu menjatuhkan diri pada kebinasaan dan berbuat-baiklah” (Q.S. Al-Baqarah: 195).

Asghar Ali Engineer sebagaimana Ahmad Amin menempatkan tauhid sebagai sumber nilai pembebasan kaum lemah dan tertindas dalam perspektif “The Theology of Liberation” (Teologi Pembebasan). Ali Syari’ati secara luas dan mendalam memandang keyakinan tauhid sebagai sumber nilai utama bagi manusia dan alam semesta dalam satu kesatuan (unity). Kehidupan berbasis tauhid adalah realitas yang integral, holistik, monistik, dan universal. Tauhid itu multidimensi, baik vertikal dalam hubungan dengan Allah maupun horizontal dalam relasi kemanusiaan dan alam semesta. Itulah kredo tauhid yang melahirkan ihsan kepada kemanusiaan dan rahmat bagi semesta alam.

Kedua, nilai pemuliaan manusia. Pandemi covid memberikan pembelajaran pentingnya untuk memuliakan manusia atau jiwa dan fisik manusia agar dihargai dan diselamatkan, sebaliknya jangan sampai diabaikan, disia-siakan, dan direndahkan. Berusaha maksimal mengatasi virus corona dan melakukan vaksinasi sama dengan ikhtiar

memelihara dan memuliakan manusia sebagai makhluk Allah yang terbaik (fī aḥsan al- taqwīm) dan harus dihargai dan dijunjungtinggi eksistensinya. Di antara tujuan syariat Islam ialah “menjaga jiwa” (hifẓ al-nafs) sebagai satu kesatuan dengan menjaga agama (hifẓ al-dīn), menjaga akal (hifẓ al-‘aql), menjaga harta (hifẓ al-māl), dan menjaga keturunan (hifẓ al-nasl). Kehilangan satu nyawa sama dengan seluruh nyawa manusia, sebaliknya menjaga kehidupan satu jiwa manusia sama dengan memelihara seluruh manusia (Q.S. Al-Maidah: 32).

Di dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua tentang “Pandangan Keagamaan” (Islam Berkemajuan) ditegaskan bahwa “Islam yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia. Islam yang menjunjungtinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa diksriminasi. Islam yang menggelorakan misi antiperang, antiterorisme, antikekerasan, antipenindasan, antiketerbelakangan, dan anti terhadap segala bentuk pengrusakan di muka bumi seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemungkaran yang menghancurkan kehidupan.

Allah menempatkan manusia sebagai insan yang dimuliakan sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran:

Artinya: “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna“ (Q.S. Al-Isra: 70).

Ketinggian martabat manusia diawali dari penciptaannya sebagai makhluk terbaik (fī aḥsan al-taqwīm, Q.S. Al-Tīn: 4) dengan kedudukan dan tugas selaku “‘abdullāh” untuk mengabdi kepada Allah (Q.S. Aż-Żāriyāt: 56) dan “khalīfah fī al-arḍ” untuk memakmurkan bumi (Q.S. Al-Baqarah: 30: Hūd: 61). Pemuliaam derajat itu tidak diberikan dan dimiliki makhluk Tuhan lainnya. Karenanya menjadi suatu hal yang bertentangan dengan prinsip penciptaan manusia manakala ada di antara manusia yang tidak menghargai atau merendahkan keberadaan dirinya atau sesamanya, padahal Allah Yang Maha Pencipta memuliakannya.

Manusia jangan dipandang sebagai makhluk indrawi semata sebagaimana paradigma nalar materialisme, berakal-pikiran belaka dalam pandangan liberal-sekular, tanpa menyatukannya dengan unsur penting keruhanian dan jiwa (fitrah) beragama sebagaimana pandangan Islam yang holistik. Manusia dengan seluruh dimensinya mesti diletakkan dalam ruang metafisika dan kosmologi kehidupan yang utuh, bermakna, dan multidimensi. Termasuk dalam menempatkan musibah dan derita manusia sebagai urusan yang penting dan berharga, bukan sebagai persoalan parsial dan instrumental. Sebaliknya manusia sendiri jangan merendahkan martabat dan keberadaanya sehingga jatuh ke tempat yang hina dalam posisi yang serendah-rendahnya atau “asfala safilin” (Q.S. At-Tīn: 5).

Manusia harus menggunakan akal-budinya dengan baik agar tidak berperangai seperti hewan, sebagaimana peringatan Allah dalam Al-Quran yang artinya: “Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah” (Q.S. Al-A‘rāf: 179).

Perilaku hewaniah itu kadang bias atau absurd karena sering dibingkai oleh alam pikiran dan ilmu pengetahuan yang secara teoritik tampak benar dan “maju”, tetapi sejatinya salah kaprah sehingga merendahkan martabat dan kemuliaan manusia. Manusia modern yang semestinya membangun kehidupan dengan keadaban luhur, malah jatuh ke dalam sangkar-besi kemodernan yang dibangunnya sendiri, sehingga menurut sosiolog Peter L. Berger manusia menjadi “chaos”, yakni menjalani kehidupan yang kacau. Alam pikiran posmodern dengan nalar dekonstruksi dapat memutar balik epistemologi ilmu dan kehidupan yang benar menjadi salah atau disalahkan sebagaimana paradigma “post truth” yang kini meluas di ruang publik. Kemudian terjadi ironi, yang salah dibenarkan dan memperoleh dukungan luas, sementara yang benar disalahkan dan diketepikan. Kehidupan “chaos” seperti itu dalam rujukan nalar sejarah Tanah Jawa disebut hidup di zaman “Kalabendu” sebagaimana tertulis pada “Ramalan Jayabaya”.

Ketiga, nilai persaudaraan dan kebersamaan. Pandemi ini masalah bersama. Tindakan satu orang berpengaruh terhadap pihak lain dan lingkungan sekitar. Manusia tidak bisa egois dan merasa bebas dari wabah ini. Pandemi ini merupakan penderitaan semua umat manusia. Kaum beriman diajarkan bersabar dan tawakal dalam menerima musibah. Namun bukan berarti insan beriman abai dan tidak peduli terhadap keadaan, termasuk dalam merasakan penderitaan saudaranya yang terpapar dan lebih-lebih yang meninggal dunia. Karenanya diperlukan rasa persaudaraan dan kebersamaan dari semua pihak sebagai wujud aktualisasi nilai utama agar menjalani kehidupan bersama di tengah perasaan satu nasib.

Kondisis darurat dan musibah ini sungguh memerlukan sikap bersaudara dan kebersamaan seluruh warga bangsa dengan nilai kasih sayang dan saling menolong. Nabi mengajarkan nilai persaudaraan sebagai berikut: “Barangsiapa yang melapangkan salah satu kesusahan di dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan melapangkan darinya salah satu kesusahan di hari kiamat. Barangsiapa yang memudahkan atas kesulitan orang lain, maka Allah akan memudahkan atasnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (aib)nya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selagi hamba tersebut menolong saudaranya” (H.R. Muslim dari Abu Hurairah).

Baik dalam menghadapi pandemi maupun masalah bangsa jika ditanggung bersama dengan semangat persaudaraan maka akan lebih mudah sebagaimana pepatah Melayu, “Berat sama dipikul, Ringan sama dijinjing”. Bila terdapat perbedaan dicarikan titik temu karena ada ikatan persaudaraan dan kebersamaan. Dua jiwa utama tersebut dapat menjadi kekuatan untuk menumbuhkan sikap saling tenggang, toleran, lapang hati, dan kerjasama demi membangun kehidupan bersama. Seraya menjauhkan diri dari tindakan egoistik, pemaksaan kehendak, merasa paling benar, merasa paling digdaya, dan menjadikan Indonesia sebagai milik pribadi dan golongan sendiri. Ukhuwah dan persatuan Indonesia harus dibangun makin kokoh yang lahir dari jiwa tulus dan jujur, sehingga dapat menyelesaikan masalah-masalah bangsa secara bersama.

Muhammadiyah sejak awal berkomitmen membangun kesatuan dan kebersamaan dalam berbangsa dan kemanusian semesta berlandaskan ajaran agama. Kyai Haji Ahmad Dahlan sebagaimana dipublikasikan oleh HB Muhammadiyah Majelis Taman Pustaka pada 1923 (Mulkan, 1990), menyampaikan pesan bahwa “Manusia seluruhnya harus bersatu hati, karena: 1. Meskipun manusia memiliki kebangsaan yang berbeda-beda, sesungguhnya nenek moyang mereka adalah satu, yaitu Nabi Adam dan Hawa. Jadi sesungguhnya seluruh manusia itu satu darah daging. 2. Agar supaya dengan bersatu  hati manusia dapat hidup senang secara bersama di dunia”.

Keempat, nilai kasih sayang. Ajaran kasih sayang dalam Islam sangat penting dan luas yang lahir dari nilai ihsan, ukhuwah, silaturahmi, dan ta‘āwun dalam wujud kepeduliaan, empati, simpati, kerjasama, dan kebersamaan atas nasib sesama. Jika tidak mau membantu sesama jangan bertindak semaunya. Jika tidak dapat memberi solusi atas masalah yang dihadapi, jangan menjadi bagian dari masalah dan mengabaikan masalah. Nilai kasih sayang antar manusia terhubung dengan kasih sayang Tuhan, sebagaimana hadis Nabi yang artinya: “Orang-orang yang penyayang itu akan dikasihi oleh Yang Maha Penyayang dan Yang Mahasuci lagi Mahatinggi, maka sayangilah makhluk yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh makhluk yang ada di langit” (H.R. ‘Abdullāh bin ‘Amr r.a.).

Mari letakkan musibah global ini dalam pandangan kemanusiaan yang humanistik. Menurut Steven Pinker (2018) dalam “Enlightment Now”, manusia di era Pencerahan dunia modern mesti mengembangkan “a humanistic sensibility”, yang menumbuhkan sentimen empati seperti kemurahan hati, belas kasih, dan rasa saling memahami satu sama lain. Sifat-sifat empati tersebut menghidupkan watak alami manusia sebagai makhluk yang “merasa” (sentient) seperti senang dan sedih, suka dan duka, bahagia dan derita. Sifat-sifat manusiawi yang alamiah itu boleh jadi sering terdelusi oleh pola pikir sekular yang rasional-instrumental maupun pandangan keagamaan yang dangkal.

Islam mengajarkan nilai “tarāḥum” atau welas asih dengan sesama secara praksis. Al-Mā‘ūn mengandung praksis kemanusiaan pro-duafa yang berwatak welas asih itu. Menurut Dokter Soetomo, tokoh Boedi Oetomo yang juga perintis Klinik PKU Muhammadiyah Surabaya tahun 1924, nilai welas asih (kasih sayang) dari ajaran al-Mā‘ūn berbeda dengan pandangan tentang perjuangan manusia dalam seleksi alam ala Charles Darwin (The Orogin Of Species), bahwa hanya organisme unggul yang akan mampu bertahan dalam perjuangan hidup. Narasi itu sejalan dengan hukum siapa yang kuat maka dia yang menang dalam teori “survival of the fittest” dari sosiolog Herbert Spencer.

Sebaliknya, ajaran welas asih dari Al-Mā‘ūn justru mendasarkan perjuangan hidup secara bersama sehingga yang kuat mau berbagi dengan yang lemah, bukan sebaliknya mengorbankan yang lemah. Mereka yang lemah pun tetap berbuat baik terhadap sesama. Penderitaan akibat pandemi ini mestinya diletakkan dalam kemanusiaan yang humanistik dan profetik tentang pentingnya hidup “peduli dan berbagi” dalam bingkai nilai kasih sayang yang diajarkan Islam. Kyai Dahlan dengan cerdas dan orisinil mampu menerjemahkan ajaran welas asih dari Al-Mā‘ūn ke dalam pranata modern berupa wujud rumah sakit (hospital, ziekenhuis), rumah miskin (armeinhuis), dan rumah yatim (weeshuis). Kini Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi Covid-19 dengan segala dampaknya terus berikhtiar tiada henti sebagai bukti konsistensi mewujudkan Isalam sebagai ajaran kasih sayang bagi kemanusiaan dan kehidupan semesta.

Karenanya dengan pandemi ini penting semua orang di manapun berada mau belajar rendah hati, ternyata dengan virus kecil ini dunia kehidupan menjadi porak- poranda. Menurut Albert Camus, akibat wabah manusia dilanda “absurditas”, hidup sarat kegalauan dan ketidakpastian. Filosof Perancis kelahiran Al-Jazair itu mengupas kisah wabah pes di kota Oran Al-Jazair tahun 1930an, melalui karya novelnya yang terkenal “La Peste”. Bagi Camus, ketika terjadi wabah, manusia jangan menjadi unta dengan mengiyakan semuanya begitu saja yang terjadi. Tapi, jangan pula menjadi singa yang memberontak, melawan, dan ingin heroik. Jadilah bayi, terima segala yang terjadi, cintai apa yang terjadi. Filsuf beraliran eksistensialis itu menawarkan manusia agar “bertindak membela yang dikenai kemalangan”.

Kelima, nilai tengahan atau moderat. Moderat merupakan sinonim bahasa Arab dari  tawāsuṭ, iʿtidāl,  tawāzun,  dan  iqtiṣād  yang sangat  selaras dengan  konsep keadilan, yang mengandung arti memilih posisi di tengah dan di antara titik-titik ekstrem. Moderat sering digunakan secara bergantian dengan istilah “rata-rata,” “inti,” dan “standar,”. Kebalikan  dari  moderat  atau  wasaṭiyyah  adalah  taṭarruf,  guluw,  yang  menunjukkan

“kecenderungan ke arah pinggiran” dan dikenal sebagai “ekstrem”, “radikal” dan “berlebihan”.   Wasaṭiyyah   juga   berarti   pilihan   terbaik   seperti   dalam   hadis:   “Nabi Muhammad adalah yang terbaik (awsat) dari keturunan Quraisy”, sebagaimana hadis lain “Khairu al-‘umūr awsaṭuhā”, bahwa sebaik-baik urusan ialah yang tengahan.

Di dalam diktum Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua antara lain disebutkan, bahwa: “Dengan gerakan pencerahan Muhammadiyah terus bergerak dalam mengemban misi dakwah dan tajdid untuk menghadirkan Islam sebagai ajaran yang mengembangkan  sikap  tengahan  (wasaṭiyyah),  membangun  perdamaian,  menghargai kemajemukan, menghormati harkat martabat kemanusiaan laki-laki maupun perempuan, mencerdaskan kehidupan bangsa, menjunjungtinggi akhlak mulia, dan memajukan kehidupan umat manusia. Komitmen Muhammadiyah tersebut menunjukkan karakter gerakan Islam yang dinamis dan progresif dalam menjawab tantangan zaman, tanpa harus kehilangan identitas dan rujukan Islam yang autentik.”.

Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi Covid-19 mengembangkan pendekatan  wasaṭiyah dengan mengambil  langkah berdasarkan  pertimbangan  “rasional- ilmiah” dan “spiritual-rohaniah”. Buya Hamka dalam “Taswuf Modern” menuliskan pesan sikap  “tawāzun”  atau  “tawāsuṭ”  dalam  mengatasi  masalah.  Muslim  tidak  boleh  memiliki sifat “al-jubnu”, yakni takut berlebihan dalam menghadapi keadaan. Sebaliknya dilarang bersikap “taḥawwur”, yaitu nekad tanpa perhitungan. Adapun sikap yang dianjurkan ialah “syajā‘ah”, yakni berani dengan seksama. Itulah ajaran “wasaṭiyyah Islam” dalam bersikap menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan agar tidak terjebak pada sikap ekstrem atau berlebihan.

Sikap wasathiyah Muhammadiyah dalam memandang dan menyikapi pandemi Covid-19 maupun masalah kehidupan lainnya merujuk pada asas interkoneksi tentang “Maqāṣidu al-Syarī‘ah” (tujuan bersyariat). Aspek “hifẓ nafs” (menjaga jiwa), “hifẓ al-‘aql” (menjaga akal), “hifẓ al-māl” (menjaga harta), dan “hifẓ al-nasl” (menjaga keturunan) merupakan satu kesatuan yang terhubung dengan dan memiliki dasar kuat pada “hifẓ al- dīn” (menjaga agama). Kelimanya tidak dapat dipisahkan apalagi dipertentangkan, tetapi merupakan satu kesatuan yang berlandaskan pada “al-Rujū’ ilā al-Qur’ān wa al-Sunnah” dengan jalan ijtihad untuk menjawab problematika kehidupan. Wasaṭiyah Muhammadiyah merujuk   pada   jiwa   Al-Quran,   “Wa   każālika   ja‘alnākum   ummatan   wasaṭan   litakūnū syuhadā’a ‘ala al-nāsi wa yakūna al-rasūlu ‘alaikum syahīdā”, yang artinya “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (Q.S. Al-Baqarah: 143).

Muhammadiyah  berusaha  mengembangkan  nilai  moderat  atau  Wasaṭiyah  yang berprinsip dan autentik, tanpa merasa paling Wasaṭiyah, tetapi tidak pula bias Wasaṭiyah yang atas nama moderat membenarkan “apa saja” dan menjurus pada hal-hal yang ekstrem (guluw atau taṭarruf).   Nilai Wasaṭiyah Muhammadiyah didasarkan pada rujukan Al-Quran, Sunah Nabi yang maqbūlah, dan ijtihad dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani yang interkoneksi didukung khazanah ilmu dan hikmah.

Keenam, nilai kesungguhan berusaha. Usaha mengatasi pandemi merupakan komitmen dan tanggungjawab bersama. Konsistensi melaksanakan kebijakan oleh pemerintah, disiplin menjalankan protokol kesehatan, melakukan vaksinasi, dan berbagai langkah lainnya merupakan keniscayaan dalam mengatasi pandemi ini. Segala ikhtiar maksimal yang bersifat rasional-ilmiah dan spiritual-rohaniah harus terus dilakukan sebagai jalan jihād untuk mengakhirinya. Allah memberikan jalan lapang bagi siapapun yang bersungguh-sungguh dalam berjuang mengatasi masalah kehidupan (Q.S. Al- Ankabut: 69).

Sikap optimis disertai ikhtiar yang bersungguh-sungguh harus menjadi jiwa, pikiran, dan orientasi tindakan semua orang di negeri ini untuk mengubah keadaan yang buruk dari wabah Corona ke situasi yang lebih baik. Kitalah yang harus mengubah

keadaan pandemi ini agar berakhir dengan tetap munajat dan berserah diri pada  kekuasan Allah Yang Maha Rahman dan Rahim. Optimisme dalam wujud tekad dan  ikhtiar untuk berubah juga menjadi niscaya dalam memecahkan persoalan-persoalan umat dan bangsa.

Seberat apapun masalah yang dihadapi jika semua komponen umat dan bangsa berkomitmen kuat, bersatu, dan melangkah bersama secara sungguh-sungguh maka akan terdapat jalan keluar dari kesulitan. Kuncinya ketulusan, kejujuran, keterpercayaan, kecerdasan, dan kebersamaan untuk selalu mencari solusi. Perbedaan setajam apa pun bila semua pihak mau berdialog dan mencari titik temu maka akan ada jalan pemecahan atas segala persoalan umat dan bangsa. Sebaliknya manakala saling menjauh, egoistik, tidak saling percaya, saling berebut, keras kepala, hianat, dan dusta bertumbuh di tubuh elite umat dan bangsa maka sulit menemukan jalan bersama menuju kemajuan umat dan bangsa.

Berbekal tekad dan ikhtiar yang sungguh-sungguh, bersatu, dan optimis maka Allah akan meringankan beban hidup dan membuka jalan kesulitan menjadi kemudahan. Teologi “Al-Insyirāḥ” penting dijadikan rujukan dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan masalah-masalah kehidupan lainnya yang selama ini menjadi beban berat bersama. Selama manusia terus gigih berikhtiar dan tawakal, atas pertolongan dan kasih sayang Allah maka beban hidup dan kesulitan akan berbuah menjadi jalan lapang dan  kemudahan (Q.S. Al-Insyirāḥ: 1-8).

Perjuangan yang sungguh-sungguh merupakan jihād umat Islam dan bangsa Indonesia untuk keluar dari lilitan masalah serta meraih kehidupan yang lebih baik dan berkemajuan. Jihad bagi Muhammadiyah adalah jalan perjuangan membangun kehidupan yang lebih baik dan mulia. Muhammadiyah dalam mengagendakan gerakannya memaknai dan mengaktualisasikan jihād sebagai ikhtiar mengerahkan segala kemampuan (badlu al- juhdi) untuk mewujudkan kehidupan seluruh umat manusia yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat. Jihād dalam pandangan Muhammadiyah bukanlah perjuangan dengan kekerasan, konflik, dan permusuhan. Umat Islam dalam berhadapan dengan berbagai permasalahan dan tantangan kehidupan yang kompleks dituntut untuk melakukan perubahan strategi dari perjuangan melawan sesuatu (al-jihād li-al-mu‘āraḍah) kepada perjuangan menghadapi sesuatu (al-jihād li-al-muwājahah) dalam wujud memberikan jawaban-jawaban alternatif yang terbaik untuk mewujudkan kehidupan yang lebih utama (PP Muhammadiyah, 2010).

Ketujuh, nilai keilmuan atau ilmiah. Pandemi ini meniscayakan pentingnya manusia bersandar pada ilmu. Ilmu yang mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan. Para ahli epidemiologi, ahli virus, kedokteran, dan para ilmuwan lainnya telah memberi sumbangan berharga dalam memahami dan menghadapi virus Corona yang mengguncang dunia selama dua tahun ini. Demikian halnya dengan ditemukannya vaksin yang memberikan salah satu jalan untuk memgatasi pandemi ini, meskipun bukan satu- satunya jalan.

Fakta tersebut menunjukkan betapa manusia memerlukan ilmu pengetahuan yang harus terus menerus diperbarui, dikembangkan, dan disempurnakan. Ajaran Islam bahkan meniscayakan umatnya agar berilmu dan beriman (Q.S. Al-Mujādilah: 11), serta sebaliknya jangan sampai bertindak tanpa ilmu sebagaimana firman Allah yang artinya “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (Q.S. Al-Isra: 36).

Ilmu membentuk manusia menjadi alim atau ulama. Ulama adalah mereka yang berilmu. Dua ayat rujukan dalam Al-Quran tentang ‘ulama — bentuk jamak dari ‘ālim— dalam Surah Al-Faṭīr ayat ke-28 menunjuk pada mereka yang memiliki ilmu dengan jiwa “khasyyah” (takut, bertaqwa) kepada Allah, serta “ulama Bani Israil” yang mengetahui akan turunnya Nabi Muhammad (Q.S. Asy-Syu‘arā’: 197). Sementara mereka yang

berilmu, berpikir, dan saleh banyak dirujuk dalam Al-Quran maupun Hadis Nabi, yang menunjukkan derajat kualitas manusia berilmu secara multisifat dan muktiaspek.

Alim atau ulama Muhammadiyah mesti berpikir dengan kualitas “ulil albāb” (ulul albab) dan “al-rāsikhūna fī al-‘ilm” disertai nalar keilmuan integratif bayani, burhani, dan irfani. Ulama Muhammadiyah tidak dapat terkotak-kotak dalam sangkar-besi taksonomi atau disiplin keilmuan yang rigid dan parsial. Saatnya lahir generasi ulama dengan kualifikasi keilmuan-keislaman yang kuat, mendalam, terintegrasi, dan terinterkoneksi untuk membangun peradaban “khaira ummah” (Q.S. Ᾱli ‘Imrān: 110). Masyarakat terbaik itu menjadi cita-cita utama Islam yang dalam referensi Muhammadiyah disebut “Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Pendidikan di lembaga-lembaga Madrasah, Boarding School, Pesantren, Sekolah Muhammadiyah sampai ke jenjang Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) dan di Fakultas Agama Islam serta lembaga- lembaga kekaderan dan keulamaan lainnya mesti dirancang-bangun dengan dasar keilmuan Islam yang holistik-integratif. Tujuannya untuk melahirkan generasi ulama yang multiaspek dan berkemajuan yang tampil menjadi “Dahlan-Dahlan baru”, yang membawa misi gerakan sebagai generasi “Sang Pencerah” dan “Mujadid” penyebar risalah Islam Berkemajuan di zaman posmodern abad ke-21.

Ilmu pemgetahuan dan teknologi penting disertai hikmah agar tidak mengarah pada keangkuhan ilmuwan dan absolutisme kebenaran ilmu. Karenanya tidaklah elok bagi siapa pun manakala di antara anak bangsa masih saja ada yang menegasikan musibah pandemi covid-19 ini. Boleh jadi beragam ilmu dan pandangan selalu hadir dalam memahami dan menghadapi suatu kejadian sebagai bagian dari keragaman dunia keilmuan dan kehidupan. Namun manakala sebanyak mungkin orang dengan ilmu dan pengalaman empirik yang dijumpainya menerima dan memghadapi musibah ini secara mayoritas, maka sangatlah bijak bila semua bersatu menghadapi dan mengatasi musibah yang berat ini. Di samping ilmu terdapat hikmah, sebagai mutiara kebaikan yang mesti ditumbuhkan dalam jiwa para ilmuwan, sebagaimana Allah berfirman yang artinya: “Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat” (Q.S. Al-Baqarah: 269).

Ilmu dan akal pikiran manusia menurut perspektif Islam mesti bersendikan tauhid, iman, dan takwa agar tidak terseret pada arus pikiran liberal-sekuler yang membolehkan segala perbuatan tanpa bingkai nilai agama, bahkan dapat menggiring menjadi anti  agama (agnostik) dan anti tuhan (ateis). Ilmu memerlukan hikmah sehingga melahirkan pencerahan aka-budi manusia dan menerangi alam semesta. Ilmu dan pikiran manusia modern atau posmoderen jangan seperti kotak pandora dalam mitologi Yunani Kuno, yang memberikan harapan indah akan kebaikan tetapi setelah dibuka ternyata menjadi sumber masalah dan fitnah dalam kehidupan manusia yang semestinya dijaga nilai dan bermartabatnya sebagai insan beperadaban mulia!

Kedelapan, nilai kemajuan. Pandemi ini meniscayakan manusia untuk belajar memahami masalah secara mendalam dan luas serta membangkitkan diri untuk maju pasca musibah. Manusia diajari Tuhan dengan berbagai cara. Musibah boleh jadi merupakan cara Tuhan agar manusia terus mengungkap rahasia ciptaan-Nya yang sangat luas dan tak terbatas, bersyukur atas segala nikmat-Nya, serta mengakui Kemahakuasaan-Nya. Di sinilah pentingnya membangkitkan nilai dan etos kemajuan bagi seluruh manusia atas musibah yang mewabah di seluruh dunia ini.

Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi yang berat ini secara teologis memandang kehidupan sebagai sesuatu yang luhur, berharga, dan bermakna. Memanami kehidupan dengan segala aspek dan siklusnya niscaya didekati dengan pandangan yang mendalam, luas, dan multiperspektif. Letakkanlah persoalan pandemi ini dalam dimensi iman, tauhid, dan ḥablun min Allāh yang terhubung langsung dengan ḥablun min al-nās,

ilmu, ihsan, dan amal saleh yang bermakna. Pandangan keagamaan dan keilmuan niscaya holistik-integratif dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani yang lahir dari pandangan atau nilai-nilai kemajuan dalam ajaran Islam.

Islam sejatinya agama yang mengajarkan kemajuan hidup umat manusia. Banyak sekali pesan penting ajaran Islam tentang kemajuan dalam Al-Quran dan Sunah maupun jejak (turaṡ) sejarah Islam, sehingga dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang berkemajuan (dīn al-ḥaḍarah, the religion of progress). Kemajuan menurut ajaran Islam ialah segala kebaikan dan keutamaan yang multiaspek dan melahirkan kemaslahatan hidup bagi seluruh umat manusia dan rahmat bagi semesta alam. Kemajuan yang membawa kebahagiaan dan keselamatan hidup manusia di dunia dan akhirat.

Al-Quran dan Sunah Nabi sebagai sumber utama ajaran Islam mengandung nilai- nilai dan pesan ajaran tentang kemajuan. Wahyu pertama Al-Quran yang menjadi penanda kerasulan Nabi Muhammad dan risalah Islam perintah “Iqra’”. Risalah iqra’ mengajarkan kepada setiap muslim tidak hanya diharuskan membaca ayat-ayat Al-Quran tetapi juga ayat-ayat kauniah atau ayat-ayat semesta. Iqra’ menurut para mufasir bukan hanya membaca secara verbal dan tekstual, tetapi keseluruhan makna yang tercakup arti “iqra’” dalam literasi Arab seperti tafakkur, tadabbur, tanāẓar, tażakkur, serta berbagai aktivitas akal pikiran, keilmuan, dan pembacaan sejarah secara menyeluruh. Dalam perspektif Manhaj Tarjih “iqra’” memiliki makna pada pemahaman keislaman dan semesta kehidupan secara bayani, burhani, dan irfani secara interkoneksi.

Selain itu, Nabi memberi bekal umatnya dengan perintah ijtihad dan tajdid untuk menghadapi perubahan dan perkembangan zaman. Sebagaimana sabda Nabi tentang ijtihad yang artinya “Ketika seorang hakim hendak memutuskan hukum, lalu berijtihad, kemudian benar, ia mendapatkan dua pahala. Jika ia hendak memutuskan hukum, lalu berijtihad kemudian ternyata salah, ia dapat satu pahala.” (H.R. Muslim dari ‘Amr bin al- ‘Aṣ),. Demikian halnya perintah tajdid dalam hadis yang lain, yang artinya “Sesungguhnya Allah akan menurunkan (orang) setiap permulaan seratus tahun seseorang kepada umatnya yang akan memperbarui ajaran agama mereka” (H.R. Abū Dāwūd, al-Ḥakim, dan al-Baihaqī dari Abū Hurairah).

Dengan risalah “iqra’” disertai ijtihad dan tajdid yang berbingkai risalah akhlak mulia (al-akhlāq al-karīmah) dan misi kerahmatan Islam (raḥmatan lil-‘ālamīn) yang mencerahkan akal-budi dan peradaban umat manusia, Nabi berhasil membebaskan bangsa Arab yang Jahiliah menjadi bangsa yang berperadaban gemilang dalam puncak risalah “al-Madīnah al-Munawwarah”. Dari rahim peradaban Madinah itu kemudian Islam berkembang menjadi agama yang membuana dan menciptakan kejayaan peradaban semesta selama berabad-abad di pentas sejarah dunia, yang menggambarkan nilai dan ajaran kemajuan Islam yang melintas-batas atau “raḥmatan lil-‘ālamīn”.

Nilai-nilai kemajuan dalam ajaran Islam yang demikiam kaya dan mendasar itu kadang tidak selamanya dipahami dan dipraktikkan oleh kaum muslim sendiri selaku pemeluknya, sehingga dalam sejumlah aspek kehidupan umat Islam tertinggal atau mengalami kemunduran. Kenyataan yang senjang antara ajaran dan praktik hidup pemeluknya inilah yang dikritik Muhammad Abduh, “Islām maḥjubun bil-muslimīn”, bahwa kemajuan Islam tertutupi oleh kaum muslim sendiri yang berpikiran, bersikap, dan bertindak kolot (jumud) dan tertinggal. Karenanya ajaran tentang kemajuan Islam niscaya dibangkitkan kembali dan digelorakan dalam kehidupan kaum muslimun di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Di sinilah pentingnya memahami hakikat, relevansi, dan urgensi nilai Islam Berkemajuan.

Pengharapan

Muhammadiyah dalam memperingati Milad ke-109 niscaya bergerak makin dinamis dalam membangkitkan para anggota dan seluruh institusinya agar mampu melakukan langkah-langkah perubahan yang mendorong usaha-usaha strategis dan melahirkan pusat-pusat keunggulan serta perluasan jelajah perjuangan Persyarikatan menuju

Muhammadiyah berkemajuan di berbagai bidang dan ranah kehidupan. Jadikan momentum terbaik ini sebagai pintu mengembangkan dakwah, tajdid, dan ijtihad kolektif guna mendorong semangat al-tagyīr (perubahan), al-tanwīr (pencerahan), dan al- taqaddum (kemajuan) untuk membangun Muhammadiyah yang unggul berkemajuan di ranah lokal, nasional, dan global.

Jika Muhammadiyah dalam kurun terakhir begitu bergelora mengusung tema “Islam Berkemajuan” dan “Indonesia Berkemajuan”, maka modal utamanya harus lahir dari rahim Muhammadiyah yang berkemajuan, yakni Muhammadiyah yang unggul di segala bidang kehidupan. Pepatah Arab menyatakan, fāqid al-syai’ la-yu’ṭi, bahwa orang yang tak mempunyai apa-apa tidak mungkin dapat memberi apa-apa. Sungguh menjadi suatu keniscayaan jika Islam dan Indonesia berkemajuan lahir dan tercipta dari Muhammadiyah berkemajuan.

Para pimpinan Muhammadiyah dari seluruh lapisan niscaya gigih memajukan umat dan bangsa melalui amal usaha dan kerja-kerja unggulan seraya terus belajar, memperkaya, mengembangkan, serta mempromosikan pemikiran-pemikiran maju. Menanggapi atau berdialog dengan pemikiran yang berbeda dari berbagai kalangan mesti dilakukan dengan pemikiran dan ilmu yang mendalam dan berhorizon luas, bukan dengan pikiran-pikiran dangkal dan apologia. Para pimpinan Muhamamdiyah di seluruh tingkatan dapat menjadi suluh kemajuan dengan jiwa ilmu dan hikmah disertai “uswah ḥasanah.”

Para kader Muhammadiyah dengan integritas iman, kepribadian, dan nilai-nilai utama yang diajarkan Islam dan tradisi Kemuhammadiyahan yang berkemajuan niscaya mampu berdiaspora di berbagai lapangan dan ramah kehidupan. Tampillah dinamis dan berintegritas guna mewujudkan misi dakwah dan tajdid Muhammadiyah yang melintasi tanpa ragu, gagap, dan canggung disertai pertanggungajwaban yang bermartabat tinggi. Berdiasporalah ke seluruh lingkungan dan penjuru bumi Tuhan untuk berkiprah yang berkemajuan dengan jiwa, alam pikiran, dan keteladanan “Sang Pencerah”.

Melalui momentum Milad ke-109 tahun ini marilah seluruh anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah di semua tingkatan dan lingkungan kelembagaan sampai jamaah untuk memantapkan diri agar tetap ikhlas dalam ber-Muhammadiyah, berkomitmen tinggi, berkhidmat, bekerjasama dan menjalin kebersamaan, bekerja secara sistemik dan terorganisasi, menjadikan Persayarikatan unggul berkemajuan, serta memperluas gerak Muhammadiyah dalam memajukan umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta. Para pimpinan Persyarikatan dengan seluruh ortom, majelis, lembaga, PWM sampai Ranting serta amal usaha dan institusi lainnya harus terus gigih bekerja secara sungguh-sungguh dalam memajukan Muhammadiyah agar menjadi gerakan Islam yang makin besar, unggul, maju, dan jaya.

Kyai Dahlan sering mengajarkan tentang semangat jihād dan sabar dalam berjuang di jalan Allah sebagaimana kutipan firman Allah berikut:

Artinya “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar” (Q.S. Ᾱli ‘Imrān: 142).

Kyai juga dalam “Tujuh Falsafah-nya” senantiasa mengajak umat dan warga  Persyarikatan agar berpikir cerdas berkualitas “ulul albab” dengan mengutip Surah Az- Zumar: 18, “Allażīna yastami‘ūnal-qaula fa yattabi‘ūna aḥsanahu, ulā`ika-llażīna hadāhumu-Llāhu wa ulā`ika hum ulul-albāb”, artinya “Yang mengikuti perkataan lalu mengikuti yang paling baik dan benar, mereka itulah yang diberi petunjuk oleh Allah, dan mereka itulah ulul albab” (Q.S. Az-Zumar: 18).

Semoga Allah melimpahkan berkah, rahmat, rida, dan karunia-Nya untuk seluruh penggerak misi dakwah dan tajdid Muhammadiyah. Di akhir pidato Milad ini patut

direnungkan pesan kesaksian akhir Kyai Haji Ahmad Dahlan sebagai berikut: “Menjaga dan memelihara Muhammadiyah bukanlah suatu perkara yang mudah. Karena itu aku senantiasa berdoa setiap saat hingga saat-saat terakhir aku akan menghadap kepada  Ilahi Rabbi. Aku juga berdoa berkat dan keridaan serta limpahan rahmat karunia Ilahi agar Muhammadiyah tetap maju dan bisa memberikan manfaat bagi seluruh umat manusia sepanjang sejarah dari zaman ke zaman.”. Seraya beliau berpesan, “Karena itu, aku titipkan Muhammadiyah ini kepadamu sekalian dengan penuh harapan agar engkau sekalian mau memelihara dan menjaga Muhammadiyah itu dengan sepenuh hati agar Muhammadiyah bisa terus berkembang selamanya.” Naṣrun min Allāh wa fatḥun qarīb.

Pidato Lengkap Haedar Nashir dalam Milad Muhammadiyah ke-109

Exit mobile version