Budaya Toleransi dari Muhammadiyah untuk Dunia
Oleh: Sethari Rumatika
Setiap tahun, tepat pada 16 November dunia merayakan Peringatan Toleransi Internasional. Momentum tahunan tersebut menandai bahwa berbagai upaya penanaman budaya damai, nirkekerasan dan toleransi di berbagai belahan dunia merupakan hal yang akan terus dilakukan secara berkelanjutan. Berdasarkan data yang dihimpin oleh Pew Research Center pada 2018 lebih dari seperempat dari total negara yang ada telah mengalami insiden kekerasan dan kebencian berbasis agama.
Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama dan Kepercayaan Ahmed Shaheed dalam laman resmi Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) mengatakan bahwa sepanjang pandemi global telah terjadi peningkatan intoleransi antar agama, termasuk stigma yang dilekatkan kepada pengungsi, pencari suaka dan berbagai kelompok minoritas lainnya. Oleh karenanya, peran dan solidaritas kelompok agama dan pegiat hubungan antar agama sangat dibutuhkan dalam mewujudkan harmoni dan mempromosikan perdamaian.
Hal itu juga yang selama ini menjadi perhatian Boy Pradana ZTF selama beberapa tahun terakhir. Belakangan, dirinya terpilih menjadi salah satu anggota Global Exchange on Religion in Society (GERIS) di mana dirinya akan bergabung bersama perwakilan dari 7 negara lainnya. Sepanjang keanggotaannya di dalam GERIS, dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini membagikan pengalaman toleransi maupun intoleransi perwakilan yang datang dari berbagai negara.
Secara praktis, Muhammadiyah melalui UMM dan berbagai Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) di berbagai penjuru nusantara telah menunjukkan sebuah best practice toleransi. Di Indonesia Timur, Muhammadiyah menjalankan peran pelayanan sosial tanpa memandang agama ataupun ras.
“Dalam konteks pengalaman dan practice yang saya dapatkan di sini, UMM sebagai lembaga pendidikan yang berlatar agama Islam telah melakukan toleransi yang sangat baik. Mahasiswa UMM tidak terbatas hanya pada orang yang beragama Islam saja.”
Keterbukaan UMM terhadap berbagai program internasional dianggap Boy mampu memupuk dan menumbuhkan toleransi di antara civitas akademika. Dirinya berharap, generasi muda semakin lekat dengan budaya toleransi.
“Saya berharap generasi muda akan semakin terbuka pada toleransi beragama. Harapan bangsa ini ada di tangan mereka. Jangan sampai generasi muda nantinya berpikir sempit. Saya juga akan terus menyebarkan pandangan positif ini melalui media sosial dan channel Youtube Islam Aktual yang saya miliki,” pungkasnya.
GERIS sendiri bukanlah pengalaman pertama Boy untuk membagikan pengalaman Muhammadiyah dalam memupuk toleransi. Pada tahun 2007 Boy juga terpilih untuk mengikuti proyek Internasional Fellow sebagai salah satu perwakilan Indonesia. Proyek tersebut membahas mengenai perdamaian beragama dan toleransi antar masing-masing agama. Pada 2019, dirinya turut serta dalam riset Internasional yang diprakarsai oleh European Union’s Horizon. Proyek riset bernama Radicalisation, Secularism and the Governance of Religion: European and Asian Perspectives (GREASE) ini berupaya mengurai paradoks radikalisasi agama yang tumbuh di tengah arus sekularisasi.
Proyek riset tersebut berupaya untuk memahami keragaman agama di 24 negara. Dengan melakukan perbandingan norma, hukum dan praktik, riset yang dilakukan oleh konsorsium dari belasan universitas di Asia dan Eropa tersebut berupaya untuk memilah apa saja yang berguna atau sebaliknya dalam mencegah radikalisasi agama. Penelitian tersebut juga menyoroti pendekatan sosial yang berbeda dalam mengakomodasi kelompok agama minoritas juga migran.
“Melalui proyek GREASE diharapkan mampu memberikan pemikiran akademik yang inovatif pada problem sekularisasi dan radikalisasi dan memberikan pandangan untuk pemerintah dengan prhatian khusus yang mencegah radikalisasi,” terangnya.
Selain aktif dalam berbagai agenda riset internasional yang berupaya untuk menanamkan nilai toleransi, Boy telah menyandang gelar duta perdamaian antaragama internasional setelah mendapatkan kesempatan sebagai international fellow in interreligious dialogue oleh King Abdullah bin Abdulaziz International Center for Interreligious and Intercultural Dialogue (KAICIID) yang berpusat di Wina, Austria. Dirinya juga tergabung ke dalam jaringan International KAICIID Fellow Network.
“Isu-isu sensitif lain juga tidak lepas dari perbincangan, seperti soal konflik Palestina-Israel, atau isu tentang pembantaian ras (genosida) di Myanmar,” jelas Boy.
Konten ini hasil kerja sama Suara Muhammadiyah dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI