Oleh: Sirly Alfa Rosida*
Prediksi Alvin Toffler dalam bukunya the Powershift (1990) tentang gelombang ketiga atau The Third Wave Revolution tidaklah berlebihan, bahwa gerbang era digitalisasi menjadikan informasi sebagai kekuatan yang super luar biasa. Ia bisa menjelma menjadi apapun guna membangun maupun menghancurkan sesuatu yang dilewatinya. Dua sisi paradoks tersebut menjadikan segala sesuatu rentan menjadi kekhawatiran semua orang. Potensi membangun tentu menjadikan harapan yang baik, tetapi potensi menghancurkan juga nampak besar karena gelombang informasi seperti air bah yang bila tanpa panel kontrol maka ia justru akan menenggelamkan penduduknya.
Di dunia pendidikan, tidak lepas juga dari arus yang sedang lewat saat ini. Tahun 2000-an, sistem blended learning masih nampak menjadi sebuah angan-angan tanpa harap, semua orang menyangsikan kegiatan dengan model tersebut. Informasi dunia pendidikan disajikan dalam dua sisi yakni offline dan online, Namun saat ini dengan dalih “terpaksa”, maka semua orang menggunakan sistem tersebut, bahkan meningkat lagi menggunakan hybrid learning.
Dosen dan guru mulai kehilangan sentuhannya, character loss maupun learning loss pada beberapa aspek peserta didik sulit dikendalikan oleh guru. Marwah guru mulai menurun, karena pembelajaran yang bebasis online kurang optimal pada beberapa sisi. Paparan kemendikbud disebutkan bahwa hambatan guru dalam masa pandemi covid-19 paling dominan adalah kemampuan guru yang kurang dalam mengoperasikan perangkat digital sebesar 67,11%, sedangkan hambatan terbesar yang dialami peserta didik belajar online dari rumah adalah 51,6% tidak dapat bertanya langsung kepada guru
Banyak kasus-kasus terjadi karean era digitalisasi meruntuhkan kekokohan tri pusat pendidikan yang telah mapan menurut Ki Hajar Dewantara sepeti rumah, sekolah, maupun masyarakat. Makna guru sudah mengalami pelebaran, guru sudah bukan lagi yang bekerja di sekolah, tetapi siapapun bisa menjadi guru, meskipun guru utama ada pada orangtua di rumah, tetapi generasi Z saat ini sudah sulit membedakan guru asli maupun guru artificial
Teknologi menjelma menjadi satu satunya pusat pendidikan yang dominan. apapun yang diinginkan oleh peserta didik, semua ada didalamnya, tinggal menuliskan sesuatu di google maka semua akan terjawab. guru sudah tidak lagi di gugu dan ditiru, karena yang ditiru oleh peserta didik adalah apa yang sedang viral saat ini, mereka akan berlomba-lomba ATM yakni Amati, Tiru, Modifikasi. semua terpesona dengan teahcher artificial ini. wujudnya tidak nampak, tetapi keberadaannya ada. ia abstrak, tetapi berperan membentuk karakter maupun sikap peserta didik di seluruh belahan dunia. lalu dimana peran guru saat ini? apakah ia tersingkir dengan sendirinya?
Guru-guru artificial yang bemunculan di media sosial seperti IG, Youtube, perlu diimbangi dengan konten-konten yang positif dan banyak, disarankan bagi guru yang sedang mengajar murid di suatu sekolah, maka panduan pembelajarannya adalah karya guru itu sendiri, sehingga ia memilki power untuk menggerakkan peserta didik yang sedang belajar dengannya, berbeda dengan guru yang menggunakan karya video orang lain, ia hanya akan sekedar trasnfer ilmu tanpa pesan yang kuat didalamnya. hal ini juga dapat menjadi salah satu alternatif solusi bagi learning loss, sentuhan langsung pada quantum teaching sudah tidak berfokus pada sentuhan fisik, tetapi lebih dari pada itu yaitu sentuhan hati.
Kerjasama antara orang tua, guru di sekolah sangat mutlak dibutuhkan saat ini. sehingga peserta didik tidak mengalami kebingungan menetukan siapa gurunya yang sesungguhnya. Kerjasama nyata tersebut antara lain dapat berupa 1) memberikan teladan nyata, karena era digital saat ini banyak sekali kepalsuan kepalsuan yang hanya di edit dengan kamera sehingga ia lari dari kenyataan, 2) tidak memanjakan, kebutuhan barang elektronik memang sangat urgent saat ini, tetapi melepas begitu saja peserta didik berselancar di rimba dunia maya juga cukup berbahaya, character loss dapat terjadi ketika mereka terlalu lama di alam metaverse, berakibat tersesat di dunia yang penuh kepalsuan, 3) mengontrol second parent secara berkala, orang tua asli juga mulai sulit dibedakan, karena peran orang tua juga diambil alih oleh teknologi, dibutuhkan usaha mengontrol orang tua angkat berupa dunia digital serta mengenali siapa saja yang mereka hubungi agar menjadi terkontrol pergaulan anak.
*Mahasiswa Pascasarjana UMM Jurusan PAI 2021