Kesehatan Anak Mengancam Capaian Indonesia Emas 2045
Oleh: Frida Kusumastuti
Generasi muda yang akan menjadi bonus demografi Indonesia pada 2045, perlu mendapat perhatian yang serius. Mereka adalah generasi penerus bangsa yang akan menjadi pemimpin umat. Kita menaruh banyak harapan dengan bonus demografi ini untuk mencapai Indonesia Emas. Namun, bagaimana jika generasi muda ini terancam penyakit kronis karena terpapar rokok?
Data Atlas Tembakau Indonesia 2020 menunjukkan tahun 2018, perokok anak usia 10-19 tahun mencapai angka 9.1% dari keseluruhan perokok di Indonesia atau sebanyak 7.6 juta. Jika dilihat ditahun 2013 ke tahun 2018, anak usia 10-19 tahun yang merokok meningkat 2.1%. Jika data ini kita proyeksikan pada tahun 2045 nanti akan menjadi semakin besar
Gambarannya, jika kita analogikan daya tampung DOME UMM yang mampu menampung 6000 orang, maka angka 7.6 juta anak-anak yang merokok tadi dikumpulkan maka memerlukan 1.266 DOME UMM atau setara dengan 99 stadion Gelora Bung Karno yang berkapasitas 77.930 atau 2.1 kali jumlah penduduk DIY alias 2.6 kali jumlah penduduk Surabaya.
Bisa dibayangkan jika mereka merokok bersama, maka langit Indonesia ini akan ditutupi awan asap rokok seluas apa? Silahkan ini pakar-pakar linkungan menghitung efek dari asap racun bagi polusi udara dan pernafasan manusia.
Terpaan Iklan Mempengaruhi Anak Merokok
Anak-anak merokok antara lain karena ada hubungan dan pengaruh pesan-pesan iklan dan promosi rokok. Nah disinilah kajian komunikasi relevan. Meski nanti tidak hanya soal iklan dan promosi rokok. Karena masih ada ini di berita-berita media massa dan konten-konten audio visual lainnya.
Bicara iklan saja, Pengaruh iklan pada anak-anak misalnya bisa dilihat dari hasil survey 2019 oleh Global Youth Tobacco, menunjukkan anak-anak yang merokok terpapar iklan televisi sebesar 62.5% , terpapar iklan media luar ruang sebesar 60.9%, dan 30% lebih terpapar iklan di medsos. Faktor lainnya karena ada anggota keluarga yang merokok, melihat orang merokok di ruang public, adanya display rokok di toko, dsb..
Iklan dan promosi rokok itu tidak hanya di media massa, tentu saja. Namun juga di media-media iklan luar ruang seperti baliho, flyer, neon box, balon udara, dinding-dinding area publik, billboard dsb. Sementara media massa sekarang lebih luas lagi setelah era media digital. Maka selain iklan, kita juga mesti waspada dengan konten-konten digital. Semacam video yang diunggah di sosial media (youtube, IG, Tiktok, dsb) Bahkan digitalisasi juga menghadirkan media streaming. Seperti TV streaming, radio streaming yang bisa diakses oleh anak-anak. Disana bertebaran iklan maupun promosi rokok dan vape. Saya malah menemukan akun sosial media yang terang-terangan isinya adalah khusus aksi anak-anak merokok.
Perhatian kajian komunikasi, selain iklan adalah soal berita-berita di media massa yang melakukan framing tentang industri tembakau. Beberapa riset menunjukkan konstruksi rokok yang digambarkan sebagai pemberi masukan langgaran ewat cukai rokok yang besar, menyerap tenaga kerja, bahkan ikut menyumbang pembangunan daerah/negara melalui CSR dan dana filantropi lainnya. Seolah-olah industri ini adalah industri yang normal.
Sementara, kajian ekonomi menunjukkan hal itu tidak sebanding dengan biaya Kesehatan yang harus dianggarkan pemerintah karena efek rokok. Belum lagi efeknya pada kesejahteraan keluarga, sepeti stunting pada anak selain berbagai penyakit yang diderita perokok dan perokok pasif. Seperti laporan Atlas tembakau Indonesia 2020. Selain itu kajian komunikasi dan sosiologi bisa juga melihat bagaimana produk rokok ini mengosntruksi gaya hidup melalui product placement di konten-konten media remaja. Gambaran rokok adalah media inspiratif, gaya hidup modern, gaya hidup elitis, dan sarana pelarian dari persoalan-persoalan hidup bisa menghegemoni pikiran anak-anak.
Harapan Kedepan
Konstribusi komunikasi dengan pemetaan isu – isu tadi harus bisa mendorong kesadaran masyarakat atau anak-anak untuk berpikir kritis jika diterpa konten dan iklan rokok di berbagai media. Saat ini anak-anak mengakses media digital sehari rata-rata 9 jam menurut survey Kominfo RI. Berdasarkan riset LSPR pada 2018, menunjukkan waktu yang digunakan untuk mengakses media online remaja lebih dari 12 jam (IG, Youtube, dan game Online). Melebihi jam tidur, jam belajar di sekolah. Oleh karena itu kedepan konten digital juga harus bebas dari iklan dan promosi rokok. Minimal pembatasan yang ketat dengan pengawasan yang juga ketat pula.
Nah oleh karena itu kita juga perlu mendorong munculnya UU pembatasan atau pelarangan iklan dan promosi rokok pada media yang popular di kalangan anak-anak tersebut. Pengaturan iklan di media massa, misalnya ada dalam UU Penyiaran, dan Etika Pariwara, Peratur. Sementara yang mengatur iklan dan promosi di luar ruang ada Peraturan Gubernur, Peraturan Daerah, Perwali/Perbup,. Bahkan bisa diterbitkan aturan yang bersifat lokal seperti Keputusan Kepala Kantor/Lembaga, misalnya lagi Keputusan Rektor, Keputusan Kepala Sekolah, dst.
Mari mencapai Indonesia Emas 2045 dengan generasi muda yang sehat.
Frida Kusumastuti, Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Malang