Islam dan Zaman Emas Dunia Kedokteran
Oleh: Azhar Rasyid
Puncak-puncak kejayaan Islam ditandai oleh berbagai peristiwa penting. Pertama, tersebarnya Islam hingga ke luar jazirah Arab, dengan mencapai Afrika Utara dan Timur, Asia Tengah, Anak Benua India, Cina hingga Asia Tenggara. Kedua, terbangunnya kekuatan politik Islam regional, mulai dari kekhalifahan di Dunia Arab sampai pada kemunculan Kesultanan Turki Usmani di akhir abad ke-13, yang bisa bertahan hingga tahun 1922. Ketiga, dikembangkannya berbagai cabang ilmu pengetahuan hingga ke level yang maju untuk zamannya, yang tampak dari kemunculan para sarjana dan karya-karya monumental mereka yang kemudian dipakai oleh kalangan intelektual Eropa. Saat ilmu pengetahuan di kalangan Muslim tengah berkembang pesat, Eropa sendiri tengah mengalami Zaman Kegelapan.
Menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan, ilmu kedokteran adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang banyak dikaji oleh para intelektual Muslim, khususnya di Abad Pertengahan Islam (abad 8-14). Para intelektual Muslim yakin pada nasihat Nabi Muhammad bahwa orang sakit harus dirawat dan disembuhkan. Ini mendorong mereka untuk mengamati, mendiskusikan, dan mencari solusi untuk berbagai penyakit yang diderita manusia.
Pada saat yang sama Eropa Abad Pertengahan masih terbelakang. Ilmu pengetahuan mandeg karena bercampur dengan takhayul. Ada memang sejumlah penemuan di bidang kedokteran, tapi jumlahnya amat minim. Bahkan, di masyarakat Eropa kala itu hidup pandangan bahwa penyakit merupakan hukuman dari Tuhan. Alhasil, alih-alih meneliti penyakit yang timbul atau mencari cara pengobatan baru, orang di masa itu menjadi pasrah bila jatuh sakit.
Ada beberapa faktor yang mendorong lahirnya zaman emas dunia kedokteran yang dipelopori para sarjana Muslim. Pertama, para sarjana Muslim menerjemahkan berbagai macam teks kedokteran klasik yang berasal dari berbagai belahan dunia ke dalam bahasa Arab. Teks yang diterjemahkan antara lain berasal dari bahasa Yunani, Romawi, India, Syriac, Pahlavi dan Persia. Dari bahasa Arab, teks-teks ini lalu diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa, termasuk Latin. Penerjemahan ini diyakini para ahli tidak hanya berperan sebagai faktor penting penyebaran ilmu pengetahuan dari satu titik perdaban ke titik lainnya, tapi juga sebagai usaha penting untuk menyelamatkan teks-teks lama itu agar tidak hilang di tengah zaman yang berubah.
Kedua, para sarjana Muslim tak hanya menerjemahkan teks kedokteran asing, tapi juga mengembangkan pengetahuan yang ada di dalamnya. Mereka melakukan berbagai eksperimen untuk mendapatkan metode pengobatan baru. Teknik bedah ataupun cara pengobatan baru yang didapat ini lalu dituliskan dalam buku serta ensiklopedia. Ini adalah masa ketika buku-buku kedokteran penting lahir, mulai dari karya Ibnu Sina (di Eropa dikenal sebagai Avicenna), Canon of Medicine, buku Al-Razi (di Eropa dikenal sebagai Rhazes), Libor Almartsoris, serta studi Al-Zahrawi (di Eropa dikenal sebagai Alburcasis), Kitab al Tasrif. Tak hanya itu, guna melahirkan dokter-dokter baru, dibentuklah program pelatihan untuk para calon dokter.
Ibnu Sina (980-1037) sendiri merupakan salah satu sosok sentral dalam ilmu kedoteran Dunia Islam yang kemudian memberi pengaruh penting bagi pengembangan ilmu ini di Eropa. Di antara para dokter Eropa abad 13 yang mengambil inspirasi dari karya-karya Ibnu Sina ada nama Arnold of Villanova, Bernard de Gordon dan Nicholas of Poland.
Selain Ibnu Sina, Al Razi (854-925) adalah nama besar lain dalam bidang kedokteran. Dalam kitabnya, Kitab al Hawi fi al-tibb (Kitab Komprehensif tentang Kedokteran), ia membangun pengetahuan medis dengan menulis tentang berbagai penyakit yang telah ia tangani serta tentang bagaimana para dokter di masa sebelum dirinya mengulas penyakit-penyakit yang diderita orang.
Ada sebuah kisah menarik soal bagaimana Al Razi memilih lokasi untuk dijadikan tempat pendirian rumah sakit di Baghdad. Baginya, yang paling penting adalah higienitas tempat itu. Maka, yang ia lakukan adalah, pertama-tama, ia menggantungkan daging di beberapa tempat di kota ini. Secara alamiah daging itu akan mengalami pembusukan. Al Razi memilih tempat di mana pembusukan berjalan paling lambat sebagai tempat terbaik di mana rumah sakit akan didirikan.
Ketiga, para sarjana Muslim tak hanya berhenti pada ilmu kedokteran sebagai sebuah kumpulan pengetahuan ilmiah. Mereka juga mempraktikkan ilmunya lewat berbagai rumah sakit (bimaristan) yang mereka dirikan. Rumah sakit adalah sebuah terobosan di masanya. Di sini orang sakit dirawat sesuai dengan jenis penyakitnya dengan menempatkan pasien di bangsa-bangsal berbeda. Di samping itu, ada pula bagian khusus untuk pasien yang dioperasi, tempat pemulihan mereka, serta bagian apotik untuk mendapat obat-obatan. Kebersihan rumah sakit sangat ditekankan guna mencegah penyebaran penyakit. Kesemuanya ini lalu menjadi fasilitas standar di rumah sakit Islam di masa itu. Rumah sakit ini berdiri di sejumlah kota di Dunia Arab-Islam, mulai dari Baghdad, Aleppo, Damaskus, Andalusia dan Kairo.
Fasilitas kesehatan ini sifatnya terbuka untuk publik. Untuk memberikan pelayanan kesehatan pada mereka yang jauh dari kota, dijalankanlah unit layanan kesehatan keliling ke pelosok. Salah satu catatan sejarah menyebut tentang unit yang bergerak ini yang eksis di abad ke10, yang terdiri atas dokter beserta obat-obatannya. Para dokter ini menjangkau desa-desa di kawasan Sawad di Irak.
Memang, Irak, khsusunya Baghdad, di masa itu dikenal dengan rumah sakitnya. Ada beberapa rumah sakit di kota ini. Salah satu yang terkenal adalah Rumah Sakit ‘Adudi yang punya puluhan dokter. Para dokter ini terspesialisasi sesuai dengan bidangnya masing-masing, misalnya fisiologis, dokter mata (kahhalun), dokter bedah (djara’ihiyyun) dan ahli tulang (mudjabbirun).
Rumah sakit lainnya bernama Nuri, didirikan di Damaskus oleh Nur al-Din b. Zangi (1146-1175). Rumah sakit ini dikelola dengan standar yang tinggi di zamannya. Pasien dirawat dengan teliti; nama mereka didaftar, lalu untuk setiap mereka dibuat daftar obat dan makanan yang diperkukan sesuai dengan jenis penyakitnya. Dokter berkeliling rumah sakit untuk memeriksa pasien serta menulis apa yang perlu diberikan atau tindakan medis apa yang harus dilakukan pada pasien. Para dokter tak lupa berbagi ilmu. Setelah dari pagi sampai siang merawat pasien, pada sore harinya mereka akan mengajar ilmu kedokteran di rumah sakit yang sama.
Ilmu kedokteran yang dikembangkan para sarjana Muslim sampai ke Eropa sejak abad ke-12. Buku-buku karya Ibnu Sina, Al-Razi serta para sarjana kedokteran Muslim lainnya diterjemahkan ke bahasa-bahasa Eropa dan dengan segera menjadi buku acuan bagi universitas-universitas Eropa. Namun, sesungguhnya kemajuan kedokteran di dunia Islam tak hanya berguna untuk para intelektual dan dokter di Eropa, tapi yang terutama sekali, telah memberikan manfaat kepada banyak sekali manusia yang penyakitnya telah disembuhkan melalui metode medis yang ilmiah yang dikembangkan oleh para dokter Muslim.
Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 23 Tahun 2018