Sayyid Usman (w. 1331 H/1913 M) dan Kontribusinya di Bidang Ilmu Falak
Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Nama lengkapnya Al-Habib Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya al-‘Alawy al-Husainy. Ia lahir di Pekojan, Batavia (kini Jakarta), pada tahun 1238 H/1882 M. Ayahnya adalah seorang Hadrami yang lahir di Makkah, sedangkan ibunya bernama Aminah, puteri Syaikh Abd ar-Rahman bin Ahmad al-Mishry. Sayyid Usman adalah tokoh Arab-Hadrami paling terkemuka di Nusantara pada akhir abad ke-19 M dan awal abad ke-20 M. Dia adalah mufti Betawi (Batavia) yang dikukuhkan oleh Belanda. Dia juga menempati posisi khusus pada administrasi kolonial Belanda, yakni penasihat kehormatan bagi pemerintahan Hindia Belanda untuk urusan Arab yang sering mengurusi masalah-masalah pribumi dan Islam. Dia juga adalah sahabat karib Snouck Hurgronje.
Awal kiprah Sayyid Usman di Nusantara adalah ketika Haji Abdul Ghani Bima yang sudah tua dan tak mampu lagi mengajar karena alasan kesehatan meminta Sayyid Usman untuk menggantikannya sebagai guru di Masjid Pekojan. Haji Abdul Ghani Bima sendiri merupakan salah satu ulama terkemuka di koloni Jawa di Makkah, namun dia memilih kembali ke Nusantara di usia senjanya.
Adapun kakek Sayyid Usman, yang berasal dari Mesir, bernama Sayyid Abd ar-Rahman al-Mishry (w. 1847 M). Menurut Van den Berg seperti dikutip Azra, Sayyid Abd ar-Rahman al-Mishry pertama kali datang ke Nusantara dengan menginjakkan kaki di Palembang dan Padang. Tujuan awalnya ialah untuk berdagang. Namun, kemudian dia tinggal dan menetap di Petamburan, Batavia. Di Petamburan dia membangun masjid dan mengabdikan dirinya dalam pengajaran Islam. Sayyid Abd ar-Rahman al-Mishry tercatat sebagai seorang yang ahli dalam bidang ilmu falak (astronomi). Salah satu kontribusinya adalah akurasi dan koreksi arah kiblat beberapa masjid di Palembang. Sayyid Abd ar-Rahman (kakek Sayyid Usman) sendiri adalah sosok yang mengasuh Sayyid Usman sejak kecil. Oleh karena itu, dari kakeknya inilah Sayyid Usman mendapatkan pendidikan keagamaan awal.
Dalam kiprahnya di Nusantara, Sayyid Usman banyak terlibat dalam persoalan-persoalan kemasyarakatan, bahkan pada masalah-masalah yang terbilang kontroversial yang mengemuka di tengah masyarakat ketika itu. Salah satu persoalan yang muncul kala itu adalah masalah perbedaan penentuan awal bulan yang kerap terjadi di masyarakat. Penyebab terjadinya persoalan ini adalah karena tidak adanya kesepakatan tentang metode apa yang digunakan. Problem ini pada akhirnya mendorong Sayyid Usman menulis sebuah buku berjudul “Qaul ash-Shawāb”. Dalam buku kecil ini dijelaskan bahwa penentuan awal bulan sejatinya menggunakan rukyat.
Persoalan lain yang sering muncul di tengah masyarakat yang juga dihadapkan kepada Sayyid Usman adalah terkait arah kiblat. Bahkan, masalah semacam ini sangat sering muncul. Untuk masalah ini Sayyid Usman menulis buku berjudul “Tahrīr Aqwā al-Adillah fī Tahshīl ‘Ain al-Qiblah”. Pada mulanya, buku ini ditulis atas permintaan sejumlah orang dari Banjarmasin. Buku ini ditulis dalam dua bahasa (Melayu dan Arab). Di bagian bahasa Melayu Sayyid Usman menjelaskan bahwa kira-kira 30 tahun yang lalu dia sudah mencurahkan perhatiannya pada permasalahan kiblat ini dalam sebuah karya berbahasa Arab yang berjudul “Nafā’is an-Nakhlah fī Wasā’il al-Qiblah”. Dia mengungkapkan bahwa dia telah membuat bagan berisi arah kiblat yang tepat untuk berbagai tempat di Nusantara.
Tahun 1902 M, sebuah teks dengan judul yang sama diterbitkan oleh Sayyid Usman. Ini kemungkinan besar merupakan terbitan ulang dari versi lama. Dalam karyanya ini terdapat sebuah kolom dengan lokasi yang presisi dari sejumlah tempat di Hindia Belanda dalam derajat dan menit, dari Aceh hingga Ternate. Ini memungkinkan orang untuk menentukan arah kiblat yang tepat. Dengan demikian, masyarakat dapat membangun masjid-masjid baru dengan arah yang akurat. Menariknya, berbagai macam bagan yang terkait dengan permasalahan ini kini masih tersimpan di perpustakaan di Leiden, Belanda.
Karya Sayyid Usman lainnya di bidang arah kiblat adalah “Nafā’is an-Nihlah fī Wasā’il al-Qiblah”. Naskah ini terdiri dari 5 lembar (10 halaman), dan tampaknya tidak lengkap.
Pada bagian mukadimah dijelaskan bahwa buku ini disusun dengan mengutip pendapat-pendapat para imam dalam mazhab Syafii yang terkait dengan persoalan arah kiblat. Dijelaskan pula bahwa naskah ini terdiri dari delapan perkara (pembahasan) yang masing-masing dijelaskan secara detail. Pada lembar ke-3 terdapat gambar arah Kakbah (kiblat) dari berbagai penjuru negeri. Sedangkan pada lembar ke-4 terdapat tabel (daftar) lintang dan bujur untuk berbagai wilayah.
Pada topik pembahasan kedua dikemukakan tentang kewajiban menghadap bangunan fisik (‘ain) Kakbah tatkala shalat, dalam hal ini tidak mencukupi jika menghadap arah (jihah) saja. Menurut Sayyid Usman, keharusan itu berlaku baik bagi orang yang berada di Makkah maupun di luar kota Makkah. Ini adalah pendapat yang muktamad dan difatwakan dalam Mazhab Syafii.
Guna menguatkan pendapatnya ini, Sayyid Usman mengutip pandangan beberapa ulama besar dalam Mazhab Syafii, antara lain Ibn Hajar al-Haitamy dalam “Tuhfah al-Muhtāj” dan Syaikh Al-Bajury. Di bagian akhir naskah tidak terdapat informasi tentang kapan dan di mana naskah ini ditulis maupun siapa penyalinnya.
Demikian sekelumit kiprah Sayyid Usman, yang mana sejak kedatangannya ke Batavia, dia telah memberikan kontribusi kepada kaum Muslim Hindia Belanda.
Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Sumber: Majalah SM Edisi 24 Tahun 2018