YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Tewasnya Novia Widyasari, Mahasiswa Universitas Brawijaya tengan menjadi perbincangan publik sebab ia tewas bunuh diri di pusara Ayahnya. Menurut informasi yang beredar, Novia bunuh diri dengan meminum racun. Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (DPD IMM DIY) melalui Bidang IMMawati turut bersuara menanggapi kasus ini.
Ketua Bidang IMMawati, Dila Farhani menyayangkan proses penegakan hukum yang lamban bahkan, tidak serius bahkan cenderung abai pada kasus yang mendera korban.
“Hari ini pihak kepolisian telah membuat rilis menahan dan memproses Randi. Namun kami tetap menyayangkan bahwa aparat penegak hukum bertindak lamban, abai dan tidak menunjukkan keseriusan untuk memihak terhadap korban dalam menangan kasus kekerasan seksual ini. sebelumnya korban telah melaprokan perbuatan pelaku ke Propam, akan tetapi tidak kunjung diproses hingga Novia kehilangan nyawanya”, Ujar Dila.
Dila memandang bahwa kasus ini merupakan puncak gunung es dari sengkarut masalah pelecehan dan kekerasan seksual yang terus-menerus terjadi di Indonesia. Kekerasan seksual terus terjadi sebab aturan hukum yang tidak memadai dan berprespektif korban, proses penegakan hukum yang menyulitkan korban yang ingin mendapatkan akses keadilan.
“Banyak sekali temuan bahwa korban kekerasan seksual sering mengurungkan niat untuk melapor karena harus melalui proses hukum yang berbelit-belit. Carut-marut pengesahan RUU PKS dan polemik Permendibud Ristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual adalah salah satu alasan mengapa kasus kekerasan seksual semacam ini masih banyak terjadi. Kondisi diperparah dengan pandangan masyarakat yang masih tabu mengenai kekerasan seksual. Korban sering mendapatkan intimidasi dan victim blamming. Hal ini terus terjadi di berbagai lapisan dan menyebabkan korban enggan membuka suara. Rasa aman dan dukungan yang seharusnya ia dapatkan sebagai korban, bertolak belakang dengan kondisi masyarakat kian memperparah kondisi korban” lanjut Dila.
Kabid IMMawati IMM DIY juga mendorong untuk melakukan proses hukum yang tuntas dan adil kepada Randy, namun juga pada pihak-pihak yang turut berperan membantu pelaku pula harus diadili. Tentu, hukuman 5 tahun penjara tidak sebanding dengan kejadian yang dialami korban yang dipaksa aborsi oleh Ibu pelaku, diteror bahkan hingga mengalami depresi.
Selaras dengan itu, Sekertaris Bidang IMMawati, Laili Isna menyatakan komitmen IMM DIY untuk terus-menerus melakukan kampanye, pendampingan dan advokasi dalam rangka pencegahan kekerasan seksual dan berpihak kepada korban baik di lingkungan organisasi, kampus atau masyarakat umum. Isna mengatakan integritas dan persepktif pihak kepolisian perlu dipertanyakan, setiap kasus yang pelakunya merupakan aparat selalu disebut “oknum”. Isna menanggapi pernyataan yang disampaikan @divisihumas_polri.
“Pernyataan yang dirilis @divisihumas_polri tentu sangat tidak berperskpektif korban dan terkesan ingin melindungi pelaku. Dari pernyataan tersebut sangat Nampak jika kepolisian tidak memahami kekerasan seksual dengan baik. Hal ini menjadi warning bagi kita semua khususnya perempuan yang kerap menjadi korban KS, dan tentu menimbulkan pertanyaan, “Bisakah kita mempercayakan kepada polisi penyelesaian kasus kekerasan seksual?”, “Kemanakah para korban harus mencari keadilan?”, “Apakah polisi kita tidak mendapatkan edukasi tentang kekerasan berbasis seks dan gender?”. Polisi harus segera memperbaiki kinerjanya dan memastikan setiap anggota polisi memiliki perspektif yang baik tentang kekerasan berbasis seks dan gender”, ucap Laili Isna.
DPD IMM DIY secara kelembagaan mengajak, mendorong seluruh elemen publik untuk terus melakukan pengawasan terhadap potensi kekerasan seksual yang terus terjadi di sekitar masyarakat.