Islam dan Transformasi Bahasa Arab

Islam dan Transformasi Bahasa Arab

Oleh: Azhar Rasyid

Bahasa Arab dewasa ini merupakan salah satu bahasa penting di dunia. Satu statisik menyebut bahwa bahasa Arab adalah bahasa dengan penutur terbanyak kelima atau keenam di dunia. Di Timur Tengah dan Afrika, ada lebih dari 200 juta orang yang berbicara dalam bahasa Arab. Bahasa Arab juga dikenal, dipelajari dan dipakai orang di luar kawasan dunia Arab itu sendiri, baik untuk urusan keagamaan, pendidikan hingga bisnis.

Di negeri-negeri Muslim di luar Jazirah Arab, bahasa Arab juga cukup dikenal, termasuk dalam bentuk penyerapan konsep dan kata yang berasal dari bahasa Arab. Bagaimana sebuah bahasa regional seperti bahasa Arab bertransformasi menjadi bahasa pemersatu kaum Muslim global?

Salah satu jawaban pokoknya ada pada kelahiran Islam di tanah Arab pada abad ke-7 M. Sebelum Nabi Muhammad saw lahir dan menyebarkan agama Islam, bahasa Arab di tanah Arab umumnya masih bersifat lisan. Tradisi literasi dalam bentuk tertulis nyaris belum ada. Bahasa Arab pra-Islam tak hanya dipakai dalam kehidupan sehari-hari warganya, tapi juga dalam bentuk puisi dan prosa.

Di masa pra-Islam ini Mekkah sudah menjadi pusat interaksi berbagai suku-suku di tanah Arab. Hal ini tak lain dikarenakan adanya Kakbah di sana, yang sudah sejak lama menjadi tujuan kunjungan keagamaan orang-orang Arab pra-Islam. Di tengah banyaknya dialek di dunia Arab kala itu, salah satu dialek yang kuat dan memberi pengaruh pada para penutur bahasa Arab di kawasan itu adalah dialeknya suku penguasa Mekkah, kaum Quraisy. Tapi itu bukan berarti bahasa Arab yang mereka praktikkan murni dan tidak berubah. Hubungan kultural dengan suku Arab lainnya melahirkan percampuran bahasa dan dialek serta penggunaan kosa kata yang dipakai.

Islam mengubah bahasa Arab untuk seterusnya. Sebagai seorang nabi yang lahir di lingkungan budaya Arab, bahasa ibu Nabi Muhammad saw adalah bahasa Arab. Dan, dengan bahasa Arab pula Nabi Muhammad menyebarkan Islam, awalnya ke penduduk Mekkah, lalu ke masyarakat Madinah. Tak hanya itu, bahasa Arab juga dipakai Nabi ketika bernegosiasi dengan utusan para penguasa dari segala penjuru dunia Arab. Bersama Nabi dan para pengikutnya, bahasa Arab tidak lagi hanya menjadi bahasa sehari-hari maupun bahasa sastra, tapi juga menjadi bahasa yang mengandung nilai spritualitas yang dalam.

Sebagaimana diindikasikan oleh seorang profesor kajian Timur Tengah di Universitas Minnesota, Anwar G. Chejne, dalam karyanya, The Arabic Language: Its Role in History, salah satu elemen kunci yang sangat banyak mengubah wajah bahasa Arab adalah Al Qur’an.  Al Qur’an tidak hanya berfungsi sebagai kitab suci bagi kaum Muslim, atau sebagai dokumen historis bagi sejarawan untuk memahami konteks sosial dunia Arab di masa Nabi Muhammad.

Pengaruh yang diberikan Al Qur’an pada bahasa Arab, menurut Chejne, amat luas, mulai dari memperkenalkan satu rangkaian nilai-nilai baru, membawa ekspresi-ekspresi baru, hingga memberikan arti pada konsep-konsep yang belum pernah ada sebelumnya. Kodifikasi bahasa Arab, yang terjadi di masa belakangan, muncul salah satunya melalui pengaruh kuat Al Qur’an pada bahasa ini.

Peran Islam dalam mengubah bahasa Arab tidak berhenti ketika Nabi Muhammad wafat. Pemeliharaan dan penyebaran Islam menjadi pendorong berikutnya untuk membawa bahasa Arab ke level selanjutnya. Ini mulanya ada kaitannya dengan usaha untuk memelihara Al Qur’an. Di masa Nabi, penghimpunan Al Qur’an dilakukan melalui hafalan para sahabat Nabi serta, dalam bagian kecil, dengan menuliskannya. Kegiatan menghimpun Al Qur’an dalam medium tertulis semakin digiatkan setelah Nabi wafat. Adalah di masa Khalifah Usman bin Affan Al Qur’an mendapatkan bentuk tertulisnya yang dikenal sebagai bentuk finalnya. Dari sinilah kita mendapat nama Mushaf Usmani.

Bahasa Arab yang dipakai dalam Al Qur’an serta konten Al Qur’an sendiri dalam waktu singkat menjangkau daerah-daerah yang luas. Kemunculan kekhalifahan Islam diiringi oleh perluasan pengaruh Islam ke luar Jazirah Arabia. Di masa Khulafaur Rasyidin, umpamanya, Islam bisa mencapai Afrika Utara. Orang-orang Arab yang menyebarkan Islam ke luar Jazirah Arab membawa serta Al Qur’an Mushaf Usmani ini, yang artinya memperkuat dan memperdalam peranan bahasa Arab dalam kehidupan masyarakat Muslim yang baru lahir.

Tapi, ada problem ketika Islam mulai memasuki wilayah yang di masa lalu dikenal memiliki peradaban jauh lebih maju daripada peradaban masyarakat Jazirah Arab yang nomaden dan sebagian besar masih buta huruf. Ini terjadi ketika Islam mulai datang ke Mesir, Suriah, dan kawasan Persia. Bahasa Arab tergolong tertinggal dibanding dengan bahasa lokal di wilayah-wilayah ini.

Walaupun demikian, para sejarawan sepakat bahwa ada hal penting lain yang membuat hambatan psikologis dan budaya di atas bisa diatasi. Elemen tersebut ialah kerelaan dari kaum Muslim baru di luar Jazirah Arab ini untuk belajar memahami Al Qur’an dan bahasa yang dipakainya, bahasa Arab. Gagasan Islam yang menarik dan relevan dengan zaman itu serta penyebaran Islam yang damai membuat agama ini dengan mudah diterima di luar Jazirah Arab, termasuk di wilayah kekuasaan Bizantium, imperium besar kala itu.

Al Qur’an yang berbahasa Arab itu menyatukan kaum Muslim di Jazirah Arab dengan yang berada di luarnya. Walaupun mereka berbeda budaya dan bahasa, namun mengingat mereka memiliki kitab suci yang sama yang diturunkan dalam bahasa Arab, maka mempelajari Al Qur’an—dan dengan demikian mempelajari bahasa Arab—menjadi praktik yang kemudian berkembang di luar Jazirah Arab.

Pelestarian bahasa Arab ini dilanjutkan pada masa kekhalifahan berikutnya. Pusat persebaran bahasa Arab berpindah dari Mekkah dan Madinah ke pusat kekhalifahan baru itu, dalam hal ini Damaskus di bawah Dinasti Umayyah dan Baghdad di bawah Dinasti Abbasiyah. Para raja dan bangsawan menggunakan bahasa Arab yang benar dan elegan sebagai bukti mereka memiliki budi bahasa yang baik. Karya sastra serta orasi-orasi dalam bahasa Arab semakin berkembang dengan munculnya para sastrawan dan orator yang piawai menggunakan bahasa Arab.

Bahkan, di masa Dinasti Umayyah, bahasa Arab secara resmi dipakai sebagai bahasa untuk menyampaikan kebijakan pemerintah di wilayah kekuasaannya yang sebelumnya memakai bahasa berbeda. Contohnya, bahasa Arab menggantikan bahasa Yunani dan Aramaik di Suriah dan Palestina, bahasa Koptik di Mesir, serta Latin dan Berber di Afrika Utara dan Spanyol. Di bagian timur, bahasa Arab memberikan banyak kosa kata baru pada bahasa Persia. Sebagai bahasa pengantar di wilayah kekhalifahan, bahasa Arab dipakai oleh kaum Muslim maupun non-Muslim.

Persebaran bahasa Arab ini tidak berhenti sampai di sini. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, bahasa Arab turut tersebar dalam berbagai tingkatan dan fungsinya ke belahan dunia yang lebih jauh lagi, mulai dari Asia Tengah, Asia Timur, anak benua India, hingga Asia Tenggara. Sejumlah istilah dari bahasa Arab masuk ke bahasa-bahasa seperti Turki, Hindi, Urdu dan Melayu. Di Eropa, adalah bahasa Spanyol yang amat banyak menyerap kata dari bahasa Arab. Islam, yang banyak mengandung konsep dalam bahasa Arab, serta Al Qur’an sendiri yang diturunkan dalam bahasa Arab telah menjadi motor yang menggerakkan Muslim dari berbagai belahan dunia untuk sedikit banyak mengenal dan memahami bahasa Arab, bahkan hingga saat ini.

Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam

Sumber: Majalah SM Edisi 12 Tahun 2019

Exit mobile version