Muhammadiyah, Kapal Laut dan Kesadaran Maritim
Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Sejarah kapal laut di Indonesia, bukan sekedar sejarah perdagangan dan perkapalan yang berorientasi ekonomi semata, tapi juga berkaitan dengan sejarah sosial pergerakan masyarakat Indonesia. Kapal laut juga memfasilitasi perpindahan ide dari satu pulau ke pulau lain. Kalau peta persebaran Muhammadiyah di luar Jawa di tahun 1920an dan 1930an ditengok, orang akan sadar bahwa titik-titik awal Muhammadiyah tersebut berada di kota pantai (atau wilayah di pedalaman yang dilintasi sungai yang bermuara di kota pantai).
Ini membawa pada suatu gagasan bahwa sejarah Muhammadiyah, yang selama ini hampir selalu ditinjau dari perspektif sosial, pendidikan dan keagamaan, sebenarnya patut pula untuk diselidiki dari perspektif sejarah maritim. Penyebaran Muhammadiyah ke seluruh Indonesia di dekade-dekade awalnya sangat terbantu oleh pelayaran laut dan sungai dengan kapal-kapal di atasnya.
Menurut satu sumber, pada tahun 1883, Kyai Dahlan, yang masih dikenal dengan nama kecilnya, Muhammad Darwisj, mengambil sebuah keputusan besar: naik haji ke Mekkah, sebuah kota yang berjarak lebih dari 8.000 km dari tanah kelahirannya di Yogyakarta. Jarak yang sejauh itu di masa itu sulit atau bahkan tidak mungkin akan dijangkau oleh kaum Muslim Hindia Belanda dengan menggunakan sarana transportasi selain dari kapal laut.
Sementara kini penerbangan dari Jakarta hingga ke Mekkah hanya memakan waktu kurang dari 10 jam, di era itu jarak yang sama harus ditempuh selama setidaknya dua bulan. Itu adalah waktu yang cukup banyak bagi seorang penumpang kapal untuk berkenalan dengan sesama penumpang serta mempelajari tabiat serta kebiasaan berbagai macam orang dari berbagai daerah di Hindia Belanda. Cita-cita mereka mulia, ingin naik haji, tapi kondisi kapal jauh dari yang mereka harapkan.
Pengalaman selama di kapal itu tampaknya meninggalkan kesan yang dalam pada diri Darwijs. Sebagai pemimpin Muhammadiyah kemudian, salah satu instruksinya yang kurang terkenal namun penting adalah kepada sekretarisnya, Haji Fachrodin. Ia meminta Fachrodin berlayar ke Jeddah. Tujuannya, mengamati dan mencatat kekurangan atau masalah apa saja yang dihadapi para jamaah haji Hindia Belanda selama berada di kapal ke Makkah. Dari sini kemudian muncul ide Kyai Sujak untuk memperbaiki transportasi haji kaum Muslim Hindia Belanda ke Mekkah dengan membeli suatu kapal haji.
Di era kolonial, pemerintah Hindia Belanda memonopoli penyediaan kapal haji untuk jamaah haji Hindia Belanda. Sejumlah jamaah haji mengeluh dengan kapal-kapal ini, mulai dari harga tiketnya yang amat mahal hingga ke pelayanan yang buruk selama berbulan-bulan perjalanan. Tapi, inisiatif KH Sujak (dan Mulyadi Joyomartono) ini kandas karena pemerintah kolonial menolaknya. Memang, saat itu ada aturan bahwa individu pribumi tidak bisa memiliki kapal.
Tapi, bahwa ide itu diperkenalkan kepada publik sudah menunjukkan bahwa kemajuan yang dicita-citakannya terwujud di tengah kaum Muslim Hindia Belanda bukan hanya dalam bentuk lembaga sekolah dan kesehatan, tetapi juga kenyamanan, kecepatan, dan keamanan untuk menjalankan ibadah yang berat dan jauh seperti ibadah haji, yang disediakan oleh suatu kapal modern milik umat Islam sendiri. Guru besar UIN Sunan Kalijaga, Abdul Munir Mulkhan, dalam bukunya tentang kiprah sosial-keagamaan Kyai Dahlan (2010), menyebut bahwa ide Muhammadiyah untuk menyediakan kapal haji merupakan cikal bakal dari usaha penyelenggaran transportasi yang dikelola oleh pemerintah ketika RI berdiri, terutama lewat Departemen Agama.
Mungkin apa yang dapat dikatakan sebagai sebuah pengakuan formal dari Muhammadiyah terhadap arti penting kapal, laut, dan sungai bisa dilihat dari acara terbesar dan terpenting dalam kalender kegiatan Muhammadiyah: kongres Muhammadiyah. Pada tanggal 15-22 Juli 1935 Muhammadiyah mengadakan Kongres Tahunan ke-24 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ini adalah untuk pertama kalinya acara puncak Muhammadiyah diadakan di Kalimantan, dan bagi sebagian warga Muhammadiyah, ini juga menjadi momentum pertama mereka berkunjung ke pulau besar lain di Hindia Belanda, yang namanya masih kurang dikenal dibandingkan dengan Jawa dan Sumatra.
Diinisiasi oleh Haji M Japri, Muhammadiyah di Kalimantan Selatan, yang mulanya menghadapi penolakan oleh masyarakat, akhirnya mendapat pijakan yang kokoh di awal dekade 1930an, terutama dengan pendirian sekolah yang dilakukannya. Penyebarannya yang cepat hingga ke Banjarmasin dan kampung-kampung di Kalimantan Selatan mendorong Pengurus Besar Muhammadiyah menetapkan Banjarmasin sebagai tempat kongres. Dalam buku Sejarah Daerah Kalimantan Selatan (1984), disebutkan bahwa kongres tahun 1935 itu memiliki signifikansi tersendiri bagi Banjarmasin karena sebelumnya di kota ini belum ada kegiatan serupa yang pernah diadakan oleh organisasi sosial ataupun partai-partai.
Di luar keputusan penting kongres satu hal menarik lain yang kurang diingat orang dari kongres ini ialah desain logo kongresnya sendiri. Logo kongres yang dicetak di atas kertas memberi kesempatan warga Muhammadiyah dan publik Hindia Belanda umumnya untuk tak hanya melihat dan mengagumi keindahan desainnya, tapi juga membaca pesan visual yang ingin disampaikan Muhammadiyah berkenaan dengan aktivitas dan visi-misi keorganisasiannya. Poster itu merupakan gabungan antara teks dan gambar. Teksnya dari bagian atas menyampaikan informasi tentang ‘CONGRES MOEHAMMADIJAH’, lalu ada simbol Muhammadiyah dalam aksara Arab, dilanjutkan oleh teks ‘Ke-24’, dan ditutup dengan ‘BANDJERMASIN 15-22 JULI 1935’.
Yang menarik di sini ialah gambar yang diharapkan menjadi pusat perhatian orang. Pertama, sebuah peta yang memerlihatkan wilayah Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan bahkan Semenanjung Malaya. Peta ini membawa imajinasi orang yang melihatnya pada gagasan bahwa Muhammadiyah tidak lagi gerakan yang berpusat di Jawa dan Sumatra saja, melainkan sudah sampai dan kuat pula di Kalimantan dan Sulawesi.
Semenanjung Malaya tidak dihilangkan di peta itu sehingga memunculkan kesan bahwa bisa jadi di suatu saat di masa depan Muhammadiyah akan tersebar pula hingga ke sana, suatu ekspektasi yang mulai terwujud belakangan ini. Ruang kosong berwarna terang di antara pulau-pulau berwarna gelap di peta ini merepresentasikan laut, dan bisa dibayangkan di sini bahwa dengan melihat peta ini warga Muhamamdiyah akan memahami bahwa koneksi antara Jawa-Sumatra-Kalimantan-Sulawesi di era itu hanya bisa dilakukan lewat kapal laut.
Di sebelah peta tersebut, dalam sebuah gambar yang lebih besar, adalah pokok perhatian lainnya di logo kongres ini. Tampak bagian depan sebuah kapal uap modern yang dengan gagah mengarah ke depan, dengan segera menarik perhatian orang. Kapal itu tampak tinggi, besar dan maju, mengesankan sebuah pencapaian teknologi transportasi mutakhir. Beberapa cerobongnya yang juga tinggi dan besar menunjukkan kekuatannya menjelajahi laut dan samudera, membuat jarak antarpulau besar di Hindia Belanda menjadi terasa lebih dekat.
Di bawahnya ada gambar kapal yang jauh lebih kecil, sebuah kapal tradisional yang tampak terbuat dari kayu. Sementara kapal uap menyimbolkan sarana untuk mengoneksikan orang dan ide di antara pulau-pulau besar berjarak jauh di Hindia Belanda (khususnya antara Jawa-Sumatra dengan Kalimantan-Sulawesi), maka kapal kayu kecil ini merupakan pengakuan Muhammadiyah terhadap tradisi perairan lainnya yang kuat di Kalimantan, yakni pelayaran sungai.
Ini juga menunjukkan kesadaran geografis Muhammadiyah terhadap bentang alam Kalimantan yang dihiasi oleh kehadiran beberapa sungai besar, seperti Kapuas dan Barito. Beberapa wilayah di pedalaman Kalimantan yang dijangkau oleh dakwah Muhammadiyah di awal 1930an itu adalah wilayah yang dikenal dekat dengan jalur pelayaran sungai seperti Muara Tewe dan Kuala Kapuas. Kapal uap dan kapal tradisional, laut dan sungai, dengan demikian, memiliki peran penting di dalam perkembangan Muhammadiyah di Hindia Belanda umumnya dan Kalimantan khususnya.
Muhammad Yuanda Zara, Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 22 Tahun 2020