Al-Wâsi‘, Allah Yang Maha Luas

Al-Wâsi‘, Allah Yang Maha Luas

Allah ialah Sang Maha Luas – Al-Wâsi‘. Di dalam al-Qur’an, delapan kali terulang kata wâsi‘ sebagai sifat Allah. Hampir semuanya diikuti dengan penyebutan sifat ‘alîm, yang berarti Maha Mengetahui, dan hanya sekali diikuti dengan penyebutan sifat hakîm, yang berarti Maha Bijaksana. Dari ayat-ayat ini, kita mendapatkan gambaran mengenai pengertian Allah sebagai Al-Wâsi‘.

Allah itu Maha Luas sehingga semua arah, baik timur maupun barat, adalah kepunyaan-Nya, dan ke mana pun manusia menghadap, manusia akan tetap disambut oleh-Nya (al-Baqarah: 115).

Kekayaan dan kedudukan manusia tidak berarti apa-apa di hadapan kemahaluasan Allah, sehingga Dia dapat memberi kuasa kepada siapa saja yang Dia kehendaki (al-Baqarah: 247). Demikian pula usaha dan pengaruh manusia; tidak ada apa-apanya di hadapan kemahaluasan-Nya, sehingga semua petunjuk dan karunia berada di tangan-Nya dan diberikan sesuai kehendak-Nya (Ali ‘Imran: 73; al-Ma’idah: 54).

Karena Allah Maha Luas, Dia dapat memberikan balasan berlipat-lipat untuk amal hamba-Nya, dan balasan yang Dia sediakan tidak akan pernah habis lantaran amal baik yang manusia kerjakan. Orang yang menggunakan hartanya di jalan Allah, misalnya, dapat dilipatgandakan balasannya tujuh ratus kali lipat (al-Baqarah: 261). Tidak hanya itu, karena kemahaluasan-Nya, Allah dapat memberi ampunan dan karunia kepada manusia yang pernah melakukan kesalahan (al-Baqarah: 268).

Karunia Allah tidak akan habis hanya lantaran Dia memberikan balasan yang besar untuk amal baik yang terhitung kecil ataupun Dia memberikan banyak ampunan untuk amal buruk yang menumpuk. Hamba Al-Wâsi‘ tidak patut ragu akan dapat memperoleh karunia-Nya, dan tidak patut pula berputus asa dalam upaya menggapai ampunan-Nya.

Rezeki dari Al-Wâsi‘ juga tidak akan habis, sehingga manusia yang menyadari dirinya adalah hamba Al-Wâsi‘, tidak semestinya berpikir atau merasa bahwa kehidupannya akan selalu dalam kesempitan atau kemiskinan, atau bahwa kelapangan dan kekayaan mustahil didapatkan oleh manusia yang sedikit modalnya ataupun yang banyak masalah hidupnya (an-Nur: 32; an-Nisa’: 130).

Hamba Al-Wâsi‘ tidak mudah menyerah pada keadaan karena meyakini bahwa Allah memiliki rahmat yang luas sekali (dzû rahmatin wâsi‘ah). Ia akan menyadari bahwa bumi Allah (ardhullâh) itu luas, sehingga ia akan memanfaatkan luasnya bumi ini untuk memperbaiki keadaan agar dapat beribadah dengan sebaik-baiknya. Kesalahan-kesalahan kecil tidak akan menghambatnya untuk maju karena ia mengerti bahwa Allah amat luas ampunan-Nya (wâsi‘ul-maghfirah) dan sangat mengetahui keadaan hamba-Nya (‘alîm).

Izza Rohman, Dosen Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PWM DKI Jakarta

Sumber: Majalah SM Edisi 6 Tahun 2019

Exit mobile version