Berkunjung ke Pasar dalam Sejarah Islam
Oleh: Azhar Rasyid
Dalam lintasan sejarah Islam selama berabad-abad terakhir, berbagai institusi telah diakui sebagai pilar penting dalam perkembangan masyarakat dan politik Islam. Di antaranya ialah masjid, istana, perpustakaan, sekolah agama (madrasah) hingga rumah sakit. Ada satu elemen sosial lain yang juga memainkan peranan penting di masa lalu, yakni pasar.
Pasar merupakan salah satu aspek kehidupan sehari-hari umat manusia yang sangat lekat dengan sejarah Islam. Nabi Muhammad saw sendiri merupakan seorang pedagang, dengan pasar sebagai tempat kerjanya. Istri Nabi, Khadijah, telah lebih dahulu menjadi pedagang, dengan jaringan perdagangan hingga mencapai negeri Syam. Demikian pula sejumlah sahabat Nabi lainnya, bekerja sebagai saudagar di pasar.
Namun, Nabi Muhammad pernah mengkritik tajam pasar dengan mengkategorikannya sebagai tempat yang buruk. Tapi itu bukan berarti pasar harus dijauhi. Banyak kalangan percaya bahwa Nabi Muhammad sebenarnya tengah berusaha agar transaksi perdagangan di pasar diatur dengan hukum, etika dan moralitas sehingga kegiatan jual-beli bisa berlangsung dengan jujur dan adil serta terhindar dari tipu daya.
Pasar sudah hadir sejak masa pra-Islam, termasuk di Timur Tengah. Pasar menjadi tempat untuk mencari dan mempertukarkan barang dan jasa yang tidak bisa diproduksi sendiri. Bukti-bukti arkeologis memperlihatkan bahwa pasar-pasar kuno sudah eksis di sejumlah wilayah di Timur Tengah, mulai dari Iran, Irak, Suriah, Mesir hingga ke wilayah di sekitar Asia Tengah, ribuan tahun sebelum masehi. Barang-barang yang diperdagangkan beragam, seperti benda tembikar, mutiara dan parfum.
Islam membawa ide, nilai dan praktik baru dalam perkembangan pasar. Para sejarawan menekankan bahwa kelahiran Islam telah membawa pasar ke level yang lebih kompleks. Islam awalnya lahir dan berkembang di Jazirah Arab. Namun, dalam beberapa abad, Islam tersebar dalam rentang wilayah yang sangat luas, mulai dari Afrika Utara, Eropa Selatan, Asia Barat, Asia Selatan, Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Para penguasa Muslim di wilayah-wilayah baru itu tidak hanya mendirikan istana tempat di mana mereka menjalankan pemerintahannya. Mereka juga membangun pasar, dan memberi nilai tambah pada pasar lebih dari sekedar sebagai tempat jual-beli.
Kekhalifahan Bani Umayyah contohnya. Di daerah-daerah kekuasaannya mereka membuat pasar. Pasar semacam itu mereka dirikan di Tunisia dan Irak. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pemasukan bagi negara, yang kemudian digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan maupun sebagai kas negara bila terjadi problem ekonomi. Di bagian Dunia Islam lainnya, Mesir, pasar dibuka dan diperluas oleh para penguasa Fatimiyah dan Mamluk.
Tapi tak semua pasar hanya bermanfaat secara finansial. Pasar di Merbad, dekat Basra, misalnya. Menurut Mohammad Gharipour dalam The Bazaar in Islamic City, di pasar yang didirikan oleh Bani Umayyah ini orang tak hanya datang untuk menjual dan membeli barang. Pasar ini dijadikan juga sebagai pusat keilmuan dan kebudayaan bagi warga kota. Perkembangan sastra Arab salah satunya bisa dilacak dari dinamika kultural para seniman yang berkegiatan di pasar ini.
Perkembangan serupa terjadi di India masa Kesultanan Mughal di awal abad keenam belas. Para sultan Mughal memberi perhatian besar pada pasar. Pembangunan kota-kota tidak lengkap tanpa pendirian pasar. Kota-kota penting Mughal, seperti Agra, Shahjahanabad, Fatehpur Sikri, dan Burhanpur tak hanya dikenal sebagai ibukota-ibukota Mughal, tapi juga kota-kota Mughal dengan pasar-pasar besarnya. Bagi Kesultanan Mughal, pasar tidak cuma digunakan untuk transaksi perdagangan domestik, tapi juga sebagai penghubung dengan pasar-pasar regional dan internasional.
Kesultanan Usmaniyah atau Turki Usmani mengembangkan pasar-pasar lebih jauh lagi. Bagi para sultan Usmani, pasar adalah tempat penting agar perekonomian negara dan masyarakat bisa berjalan. Pasar harus diberi fasilitas lengkap dan dilindungi, karena dengan demikianlah maka para pedagang dan pembeli akan datang tak hanya dari kota di mana pasar berada tapi juga dari tempat-tempat yang jauh. Tak hanya itu, bagi penguasa Usmani, pasar juga bermanfaat untuk menjamin ketersediaan bahan pangan bagi publik serta memudahkan negara untuk mengontrol harga komoditas pokok untuk kebutuhan masyarakat. Ketersediaan makanan dan kendali atas harga barang sangat penting bagi negara karena dengan demikian masyarakat bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya dengan tenang. Pada gilirannya, negara pun menjadi stabil.
Para sultan Usmani berupaya memastikan bahwa stok makanan untuk masyarakat tersedia dalam jumlah yang cukup di pasar. Untuk itu, mereka berusaha mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok seperti gandum, daging sapi, buah, minyak zaitun hingga keju dari berbagai wilayah di Turki dan Eropa.
Ada satu ajaran Islam lain yang mendorong pertumbuhan pasar yang khas di Dunia Arab, yakni ibadah haji. Keinginan untuk naik haji ke Mekkah mendorong banyak kaum Muslim dari luar kota ini berbondong-bondong ke sana. Di zaman dahulu, perjalanan haji dilakukan dengan karavan dan memakan waktu hingga berbulan-bulan. Ini mendorong perkembangan di bidang perdagangan khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan para jamaah haji. Pasar baru pun muncul untuk menjawab kebutuhan tersebut.
Yang tak boleh dilupakan adalah bahwa Islam, yang lahir di Dunia Arab, bisa mencapai bahkan mengakar kuat di wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, salah satunya difasilitasi oleh jaringan pasar global di masa silam. Meski Indonesia dan Dunia Arab maupun Asia Selatan terpisah ribuan kilometer, perdagangan membuat mereka bertemu bahkan saling mempengaruhi. Pasar-pasar di pesisir barat Sumatera adalah tempat paling awal di Nusantara yang didatangi para saudagar Muslim dari Arab, Persia, India bahkan Cina.
Alih-alih memisahkan, Samudera Hindia yang luas itu justru menjadi jembatan yang menghubungkan Dunia Islam dengan bandar-bandar Nusantara seperti Aceh, Barus, Pariaman, Melaka, Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Gresik, Surabaya, Makassar dan Kepulauan Maluku. Dari interaksi perdagangan di pasar inilah Islam datang dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Sebagian bandar atau kota perdagangan Nusantara ini kemudian menjadi kota pelabuhan besar serta pusat lahirnya kerajaan-kerajaan Islam yang menjadi awal dari institusi politik Islam di Nusantara, yang warisannya masih bisa dirasakan hingga sekarang.
Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 14 Tahun 2019