Al-Hakiim, Allah yang Maha Bijaksana
Al-Hakiim, Allah Maha Bijaksana, tercermin, minimal dalam dua hal. Pertama, Allah Maha Bijaksana dalam semua ciptaan-Nya. Kedua, Allah Maha Bijaksana dalam syariat yang ditetapkan-Nya bagi umat manusia. Keduanya telah dirancang, didesain, dan diputuskan oleh Allah dengan penuh pertimbangan yang sangat adil, proporsional, mendalam, dan memberi manfaat atau maslahat bagi kehidupan manusia. Karena Dialah yang Maha Sempurna ilmu pengetahuan-Nya (al-Aliim al-Hakiim), Maha Perkasa (al-Aziiz al-Hakiim), Maha Teliti (al-Hakiim al-Khabir), Maha Tinggi (‘Aliy Hakiim) dan Maha Terpuji (Hakiim Hamiid).
Dalam al-Qur’an, al-Hakiim disandingkan dengan al-Aziiz sebanyak 55 kali. Hal ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan Allah itu terkait erat dengan keperkasaan, kesempurnaan, dan keagungan-Nya. Jadi, semua perencanaan, perbuatan, dan penetapannya atas makhluk-Nya, termasuk manusia, pasti sarat hikmah, sarat ilmu, sarat nilai, dan sarat kebijaksaan dan kearifan.
Oleh karena itu, sebagai hamba al-Hakiim, kita harus terus belajar, mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, melakukan penelitian, dan selalu dapat berpikir positif terhadap semua ketetapan Allah SwT. Berpikir positif dan berinteraksi dengan semua ciptaan dan syariah-Nya dengan berbasis ilmu merupakan kunci ketenangan, kedamaian, kesejahteraan, dan kebaikan dalam hidup di dunia dan akhirat (QS al-Baqarah[2]:269).
Sebagai hamba al-Hakiim, kita harus berupaya menjadi pecinta ilmu, pembelajar yang tekun, dan pencari hikmah dengan kesucian hati dan keluasan pemikiran. Sebab ilmu dan hikmah Allah itu Maha Luas dan tidak terbatas. Dengan ilmu dan hikmah, hakim yang bertugas mengadili dan memutus perkara dapat meneladani keadilan dan kebijaksanaan Allah: bersikap jujur dan bijaksana, bertindak benar, dan memutuskan perkara dengan seadil-adilnya, tidak membela yang bayar dan tidak menzhalimi yang lemah dan tidak berdaya.
Hamba al-Hakiim selalu menunjukkan kinerja profesional di dalam bidang yang ditekuninya, sehingga dapat memberikan kepuasan bagi siapapun yang dilayaninya. Karena itu, hamba al-Hakiim tidak pernah berpikir untuk berhenti belajar, membaca ayat-ayat Allah tertulis dalam kitab suci-Nya yang penuh hikmah maupun ayat-ayat kehidupan dan alam semesta (ayat-ayat kauniyyah) yang sarat dengan nilai dan hukum-hukum kausalitas.
Dalam mengembangkan ilmu, baik melalui kajian maupun penelitian, hamba al-Hakiim harus senantiasa bersikap rendah hati, tidak sombong atau takabur, karena pada dasarnya ilmu dan hikmah yang diperoleh itu bersumber dari al-Haqq (Yang Maha Benar), al-‘Alim (Maha Mengetahui), dan al-Hakiim (Maha Bijaksana). Dengan rendah hati dan bijaksana, hamba al-Hakiim pasti selalu berserah diri kepada-Nya seraya menunjukkan ketulusan hati dan harapan masa depan dengan penuh tawakkal kepada-Nya. Hamba al-Hakiim pada akhirnya selalu memahasucikan Allah, bukan menyombongkan diri dan merasa paling benar sendiri.
Muhbib Abdul Wahab, Kaprodi Magister Pendidikan Bahasa Arab (MPBA) FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekretaris LP2 PP Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM Edisi 7 Tahun 2019