Lewat Surat Nabi Berdakwah pada Raja Romawi Timur

Surat Nabi

Foto Dok Ilustrasi

Lewat Surat Nabi Berdakwah pada Raja Romawi Timur

Oleh: Azhar Rasyid

Salah satu statisktik terakhir mencatat bahwa jumlah pemeluk Islam dewasa ini berjumlah sekitar 1,8 miltar orang, atau hampir seperempat jumlah total penduduk dunia. Jumlah Muslim sedunia itu tergolong banyak dilihat dari ukuran manapun, mulai dari angkanya sendiri (yang mencapai milyaran), pengaruhnya dalam sejarah umat manusia (di bidang peradaban, politik dan seni), hingga sebaran geografisnya (dari Jazirah Arab, Afrika, Amerika, Eropa hingga Indonesia).

Walapun demikian, kebesaran itu bermula dari dakwah Nabi dan para sahabatnya Muhammad empat belas abad silam. Metode dakwah yang dipakai Nabi beragam, mencakup perkataan, tulisan serta perbuatan. Setelah awalnya sembunyi-sembunyi, dakwah Islam mulai terbuka tatkala semakin banyak orang yang menganut agama ini.

Di antara berbagai metode dakwah Nabi, ada satu cara menarik yang dilakukan Nabi untuk menyiarkan agama Islam, yakni melalui surat. Selama hidupnya, Nabi beberapa kali mengirim surat yang isinya mengajak penerima surat itu untuk menerima ajaran Islam. Surat semacam ini dikirim kepada para penguasa penting di zamannya, yang masing-masing punya daerah kekuasaan di sekeliling Tanah Arab. Para penguasa penerima surat Nabi antara lain adalah Heraklius (raja Romawi Timur), Najasyi (raja di Habasyah [Ethiopia]), Mukaukis dari Mesir dan Kisra dari Persia (Iran). Sebagian menerima bahkan tergerak oleh surat dakwah yang dikirimkan Nabi, tapi ada pula yang meresponnya dengan emosional dan penolakan.

Surat Nabi dikirim secara resmi, ditandai oleh adanya cap bertuliskan “Muhamamd Rasulullah” di setiap surat. Sejumlah penulis ditugaskan Nabi untuk menulis kata-kata yang diucapkan Nabi. Untuk memastikan agar surat itu sampai ke tangan penerimanya, Nabi meminta beberapa sahabatnya sebagai utusan. Di antara mereka ada nama Amr bin Umayyah adh-Dhamri, Dihyah bin Khalifah al-Kalbi dan Abdullah bin Huzafah as-Sahmi.

Heraklius, sang raja Romawi Timur (berkuasa tahun 610-641), pada suatu kesempatan tengah berada di Suriah. Ia baru saja mengalahkan pasukan Persia yang berkedudukan di sana. Untuk berdakwah pada Heraklius, Nabi mengutus seorang sahabat, Dihyah bin Khalifah al-Kalbi. Dikirim pula sebuah surat untuk sang raja. Isinya mengajak sang raja untuk memeluk agama Islam.

Munawar Chalil, pelopor penulisan sejarah Nabi di Indonesia, dalam karyanya, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw, mengutip isi surat dakwah tersebut. Kutipan itu berasal dari naskah yang diriwayatkan oleh para ahli tarikh, serta oleh Bukhari, Abu Dawud, Ahmad dan Tirmidzi (namun, ada perbedaan dengan yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid). Isi surat dakwah Nabi kepada Heraklius berbunyi:

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

                        Dari Muhammad hamba Allah dan pesuruh-Nya

                        Kepada Heraklius Pembesar Negara Rum

 

                        Kesejahteraan semua atas orang yang mengikut petunjuk yang benar.

 

Sesungguhnya, aku mengajak engkau kepada Islam. Maka, masuklah engkau dalam agama Islam agar engkau selamat. Islamlah engkau, Allah akan memberi pahala kepada engkau dua kali lipat. Jika engkau berpaling, tidak mau mengikuti Islam, sesungguhnya atas engkaulah dosa-dosa segenap rakyat.

Wahai Ahli Kitab! Marilah kepada satu kalimat yang sama antara kami dan engkau semua, yaitu janganlah kita beribadah (menyembah) melainkan kepada Allah dan janganlah kita mempersekutukan Dia dengan sesuatu. Janganlah sebagian kita menjadikan sebagian yang lain beberapa Tuhan yang selain Allah. Jika kamu berpaling, katakanlah oleh kamu (hai orang-orang Islam), ‘Saksikanlah oleh kamu (hai Ahli Kitab) bahwa sesungguhnya kami orang-orang Islam.’

Menurut Muhammad Husayn Haykal dalam bukunya, The Life of Muhammad, tidak diketahui secara pasti apakah surat itu diserahkan langsung oleh Dihya atau melalui bawahan sang raja. Yang jelas, lanjut Haykal, adalah bahwa surat itu pada akhirnya sampai ke tangan Heraklius dan sang raja Romawi itu ternyata tidak tersinggung dengan isinya.

Heraklius merespon surat itu, bukan dalam bentuk operasi militer untuk menghadang para penganut Islam, tapi melalui media yang sama, yakni surat. Korespondensi dengan surat merupakan sebuah langkah diplomasi yang lazim pada masa itu. Dalam balasannya, Heraklius menyebut Nabi Muhammad sebagai “Yang Terpuji (Ahmad)” yang kedatangannya telah dinubuatkan oleh Injil. Dengan kata lain, ia mengakui tanda-tanda kenabian yang ada pada Nabi Muhammad.

Surat Nabi Muhammad jelas membawa efek pada Heraklius. Sang raja tertarik dengan ajaran Islam. Ia bahkan memberi tahu para jenderalnya bahwa ia akan memeluk agama yang dibawa Nabi Muhammad itu. Akan tetapi, rupanya para panglimanya itu tidak bisa menerima keputusan tersebut. Alhasil, Heraklius menarik kembali keputusannya.

Apa makna dikirimnya surat oleh Nabi kepada para penguasa yang berkedudukan jauh di luar Mekkah dan Madinah ini? Munawar Chalil menyebut bahwa usaha Nabi untuk berdakwah kepada para penguasa yang berada di sekeliling Tanah Arab, inti Islam saat itu, memperlihatkan bahwa Islam sudah saatnya disebarkan secara universal ke seluruh umat manusia. Dan itu artinya, ajaran Islam mesti disebarluaskan ke wilayah-wilayah yang lebih luas, tidak lagi hanya ke tengah orang-orang Arab.

Dengan nada yang sama, menurut Jonathan A.C. Brown, sarjana studi Islam di Amerika, dalam bukunya, Muhammad: A Very Short Introduction, mengatakan bahwa Nabi Muhammad memiliki pemikiran strategis yang cakupannya bertaraf internasional. Ini melandasi tindakan Nabi untuk mengirim surat kepada berbagai penguasa asing, termasuk kepada Heraklius. Kepada raja Sassania di Persia, Nabi juga mengirimkan surat serta utusan. Ke arah lainnya, Nabi juga mengajak gubernur Romawi yang berkedudukan di Alexandria, Mesir, untuk menerima Islam.

Dakwah melalui surat, atau bisa dikatakan sebagai dakwah bercorak diplomasi internasional, ini merupakan cara Nabi untuk menjangkau mereka yang berpengaruh yang berada di luar Jazirah Arab. Metode dakwah secara lisan dan tatap muka akan tepat untuk mereka yang berada di sekitar Nabi. Namun, di zaman itu, untuk meyakinkan orang-orang yang berada di tempat yang jauh secara geografis, apalagi kepada mereka yang punya kekuasaan, surat adalah media dakwah yang lebih tepat karena surat memberi kesempatan untuk berkomunikasi dengan runtut, persuasif dan efektif.

Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam

Sumber: Majalah SM Edisi 15 Tahun 2019

Exit mobile version