SELAYAR, Suara Muhammadiyah – Gempa magnitudo 7,4 berpusat di Laut Flores yang terjadi pada Selasa (14/12), menyebabkan ratusan rumah warga di kecamatan Pasimarannu dan Pasilambena, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan (Sulsel) mengalami rusak berat. Selain itu, ribuan warga terdampak dan mengungsi ke tempat-tempat yang dirasa lebih aman.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kepulauan Selayar, di Pasimarannu tercatat 3.353 KK dan di Pasilambena 2.158 KK, sehingga total ada 5.511 KK terdampak. Sampai Rabu (15/12) ada 3900 warga yang mengungsi di Pasimarannu.
Menyikapi dampak gempa tersebut, Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Kepulauan Selayar melaksanakan rapat koordinasi internal Kamis (16/12) dipimpin langsung oleh Ketua PDM, Abdullah.
Rapat itu dihadiri beberapa anggota PDM, majelis lembaga terkait, Angkatan Muda Muhammadiyah dan dua personil asistensi dari Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel.
Berdasarkan keterangan Hasanudin Wiratama, personil MDMC Sulsel yang akan mendampingi relawan Muhammadiyah Kepulauan Selayar selama respon tanggap darurat, rapat tersebut memutuskan respon tanggap darurat akan dikoordinir dari Kantor PDM Kabupaten Kepulauan Selayar, di Jalan Kartini No. 17, Kecamatan Benteng sebagai Pos Koordinasi (Poskor).
Menurutnya, respon Muhammadiyah akan difokuskan di Pulau Kalaotoa yaitu di Desa Garaupa dan Desa Garaupa Raya, Kecamatan Pasilambena. Kedua desa tersebut merupakan desa terjauh dari Pulau Selayar dengan jarak tempuh kurang lebih 12 jam.
“Dengan posisi desa terjauh tersebut, kemungkinan keduanya tidak tersentuh oleh lembaga kemanusiaan lain. Selain itu, jumlah rumah warga yang rusak berat di kedua desa tersebut paling banyak di bandingkan desa-desa lain di Pasilambena yaitu Desa Garaupa 20, Garaupa Raya 34 rumah,” kata Hasanudin.
Kendala yang akan dihadapi dalam respon gempa ini, lanjut Hasanudin, adalah jarak tempuh yang jauh dari ibu kota Kabupaten Selayar.
“Ada 3 alternatif transportasi laut dari pelabuhan Benteng, Pulau Selayar ke pelabuhan Kalaotoa yaitu dengan kapal feri dan kapal Pelni, keduanya berlayar sekali sepekan, dengan waktu tempuh selama 24 jam. Kemudian menggunakan kapal kayu milik warga Kalaotoa dengan waktu tempuh 10-12 jam, namun jadwal keberangkatan tergantung pada pemilik kapal,” ujarnya.
Namun, menurut Hasanudin, untuk pengiriman barang logistik dan bantuan, jika jumlah cukup banyak, bisa sewa satu kapal kayu milik warga, agar bisa mengatur jadwal sendiri.
Gempa magnitudo 7,4 tersebut telah menimbulkan kepanikan warga di Kepulauan Selayar dan beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sesaat setelah gempa, Haerudin Makkasau, Sekretaris MDMC Sulawesi Selatan melaporkan warga pulau-pulau di sekitar pusat gempa sempat mengungsi ke tempat lebih tinggi karena peringatan dini tsunami yang dikeluarkan BMKG.
“Di Bonerate, warga mengamankan diri di ketinggian satu jam setelah gempa itu terjadi. Sedangkan di Kalaotoa, masih dianggap aman dari sisi ketinggian karena rata-rata gunung,” katanya.
Ketua MDMC Kabupaten Sikka, NTT, Darman Eldin menceritakan sempat mengungsi ke perbukitan untuk mengamankan diri. “Bersama warga Nangahure Lembah dan rombongan Lanal Maumere menuju di titik aman bukit jauh dari bibir pantai karena kami trauma dengan tsunami tahun 1992,” kata Darman. (Tim Media MDMC)