Peradaban Pragamatisme
Oleh: Masud HMN
Peradaban penentu perubahan tak habis habisnya untuk dikaji. Sebutlah perdaban Islam, peradaban barat, meski tak terlepas dari plus minus, tetapi tetap saja penentu arah kemajuan dunia.
Konsep kemajuan dunia itu setidaknya dicerminkan komponen sejarah atau masa dan komponen ummah dan daulah.
Abad melahirkan sejarah atau masa. Sementara Peradaban dan manusia memperanakkan generasi demi generasi’. Abad dan manusia tak bisa berpisah Namun tidak sama karena masing- masing berbeda fungsi kehadirannya.
Yang menyebabkan soal ini menarik salah satunya karena era Dinasty Umayyah di bawah Khalifah Muawiyah memperkenalkan dua konsep peradaban yang disebut himmatul ummah (rakyat) dan himatud daulah (kekuasaan).
Oleh kaum moralis hal itu dipandang bernilai jika sepanjang kemauan rakyat (ummah) harus lebih dominan ketimbang himmah pada power politik kekuasaan (daulah). Sayangnya daulah, sebagai power kekuasan muncul sebagai penentu dan pragmatisme datang mengiringinya,
Dengan meminjam istilah Julien Benda dalam bukunya La Tradishon des Cleres itu, seperti ditulis Gunawan Muhammad dalam Majalah Tempo, catatan pinggir 13 Agustus 1977 adalah kebenaran pragmatis. Juliean Benda menuding konsep pragmatisme dengan predikat moralis awam itu sebagai kegoyahan hidup masyrakat, tulis Gaunawan.
Agaknya memang benar. Kegoyahan hidup masyarakat karena alam pikiran pragmatisme apa lagi dengan indikasi adanya setting minus nilai moral hanya wujud dari keadaan semasa. Tipe itu adalah peradaban instan sesaat jangka pendek.
Kritik Benda bukan menolak pragmatis, tapi menyayangkan kok manusia sangat gandrung pragmatisme. Mengapa tidak moral perubahan memihak pada rakyat bukan memihak pada penguasa.
Kaum awam dengan predikat Lebai Malang nampaknya terpengaruh dengan menafsirkan peradaban dengan semau suka sukanya. Lantaran instans tiada asas pegangan generasi lemah lunglai dan terbentuk dengan sikap gagap melintasi zaman yang berubah.
Kaum intelektual Islam menawarkan peradaban perubahan dengan kekuatan ruhani dari langit menghadapi kegoyahan kehidupan praktis dunia.
Islam memberi arahan dalam Al Quran Surat Asshaf 10-11, Allah berfirman :
Hai orang beriman Maukah kamu aku tunjukkan satu tijarah perdagangan yang tidak akan rugi, yang menjauhkan kamu dari azab kepedihan yaitu iman kepada Allah dan Rasul serta berjihad di jalanNya, itulah yang terbaik kalau engkau mengetahui
Ayat ini mempunyai kandungan inti yaitu
Pertama, selalu ada dalam beriman. Jadi disyaratkan kepada orang beriman
Kedua. Mengerjakan amal saleh sesuai dengan konsekwensi dari imannya.
Ketiga, usaha yang sungguh sunguh. Melalui harta dan jiwa.
Ayat ini nmrupakan Jaminan Allah dengan keberuntungan, jika ada iman, amal perbuatan yang saleh dan jihad atau kesungguhan. Artinya perdagangan yang tidak rugi terkait dengan tiga azas atau faktor tersebut. Yakni asas iman, amal dan jihad.
Mengambil tiga asas ini menjadi relevan membicarakan peradaban masa depan. Tanpa asas ini generasi ke depan akan selalu gagap, goyah dan dominasi pragmatisme dengan penafsiran lebai malang, atau intelektual instan maunya zaman yang kacau nilai.
Rasa-rasanya tidak pantas kita membiarkan intelektual instan kacau nilai terus mengotori generasi masa depan kita. Yaitu dengan peradaban yang didominasi oleh kecurangan pragmatisme. Sementara Islam mengajarkan kita sebuah tijarah, konsep peradaban yang membawa keberuntungan dan menjauhkan malapetaka.
Di sinilah keharusan kita bangkit untuk hadir memberi arah dan dukungan kepada peradaban yang menjauhkan dari malapetaka dan azab yang pedih. Insya Allah!
Dr Masud HMN, Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta