JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Upaya dalam memberantas kekerasan seksual yang kian darurat bahkan di penghujung tahun kasus – kasus kekerasan semakin terungkap dan kaitannya dengan terbitnya Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 apakah sudah dapat mencegah dan menagani kekerasan seksual yang semakin marak terjadi? Maka pada hari Sabtu, 18 Desember 2021. Bidang IMMawati Pimpinan Cabang Jakarta Timur dan IMMawati Jakarta Timur Periode 2021-2022 melaksanakan kegiatan diskusi IMMawati dalam Upaya Berantas Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi” yang diadakan secara daring Via Zoom Meeting.
Dalam Diskusi IMMawati dihadiri oleh Bpk Mubarok Ahmad, M.Pd dan Kak Fifit Umul Nayla,S.Sy selaku narasumber. Dari narasumber yang pertama oleh Bpk Mubarok Ahmad, M.Pd menyampaikan materi mengenai “Upaya Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi”. Bpk Mubarok menyampaikan terdapat adanya dua hal yang bersifat action yaitu penanganan dan pencegahan, Upaya penanganan dan pencegahan adalah untuk kekerasan seksual. Dan beliau memberitahu bahwa Kekerasan seksual adalah sebuah frasa tentang tindakan yang menyentuh tiga aspek : Secara sains, etis dan poloxy. Setidaknya ada tiga kekuatan yang masuk dalam alam pikir manusia yaitu : sains (kebenaran), dan dibentuk oleh sesuatu yang etis (secara penalaran), dan nalar public dibentuk oleh poloxy atau kebijakan. Untuk membedah sebuah istilah yaitu diskusi mengenai kekerasan seksual, dan menggunakan prespektif.
Ada tiga hal yang menjadi konsep darurat dalam kekerasan seksual yaitu, yang pertama Ideal (ideal Setiap warga negara berhak mendapatkan pelindungan dari segala bentuk kekerasan yaitu Negara berhak melindungi. Kedua, Faktual (adanya kekerasan seksual yang terjadi di ranah komunitas termasuk perguruan tinggi yaitu berdasarkan pelaporan dan adanya fakta kekerasan seksual, dan yang ketiga adalah viral, amplifikasi laporan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Jika ada kondisi darurat dan adanya kekosongan hukum karena tidak adanya aturan yang menangani dan adanya upaya yang mendesak untuk menangani hal tersebut.
Dan dalam hal mengenai adanya consent/ frasa (tanpa persetujuan korban) Bapak mubarok menyampaikan dalam konsep consent/ frasa (atas persetujuan korban) dari beberapa poin dalam pasal 5 yaitu meliputi 21 aspek kekerasan seksual. Rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Tentang persetujuan, aspek yang sifatnya hukum dari abad ke 17 dasarnya adalah persetujuan yang mempengaruhi aspek hukum. Consent ini adalah sebagai batas mana yang legal dan yang illegal. Konsep consent secara umum dapat diartikan sebagai pemberian persetujuan yang tidak dipaksakan. Kita juga harus bersama sama dalam memahami, mencermati dan berdiskusi untuk permendikbud ini.
Bapak Mubarok juga menyampaikan terkait paradigma dalam kekerasan seksual, Ada beberapa hal yang perlu kita posisikan sebuah masalah dalam suatu paradigma yang kita bangun.. Jangan sampai lupa terjadnya kasus yaitu kasus kekerasan seksual yang terjadi berdasarkan laporan. Dan point nya adalah kasus. Jadi, dalam konteks ini adalah fakta, yang memang faktanya terjadi kekerasan seksual. Konsep kedaruratan menjadi bermakna, dalam melihat kekerasan seksual itu darurat atau tidak. Jika kita melihat kekerasan seksual itu biasa, respon yang dibuat pun akan biasa juga.
Dalam hal ini kita membutuhkan acuan untuk bersikap terhadap tindakan kekerasan seksual, dan dalam prinsip hukum mencegah kemudaratan dan lebih menguatkan aspek kemaslahatan. Maka untuk mencegah consent yang mengarah pada kemudaratan itu yang tidak tercover hukum postif disilah ruang (permendikbud) bagi tokoh agama dan tokoh masyarakat, dan mentri pendidikan untuk dapat bahu membahu dan bekerja sama dalam hal ini (mencegah dan menangani kekerasan seksual).
Setelah selesai penyampai materi oleh Bapak Mubarok Ahmad, M.Pd dilanjutkan narasumber berikutnya yaitu Kak Fifit Ummi Nayla, S.Sy. Kak Fifit menyampaikan Kekerasan seksual yaitu mengarah pada ajakan tindakan seksual. Dan faktor yang memicu terjadinya kekrasan seksual yang disampaikan oleh kak Fifit adalah kurangnya pengawasan atau pemahaman dari orang tua (point penting dalam pemahaman dari orang tua), kepedulian masyarakat yang cenderung masih rendah (dari hal yang terjadi perempuan banyak disalahkan dan menjadi penyebab, dan hukum tanpa efek jera, serta kelainan seksual.
Berikut adanya dampak dari kekerasan seksual yaitu depresi (yang menjadi perhatian khusus), sindrom trauma pemerkosaan dsb. Perihal terjadinya kekersan seksual di perguruan tinggi, kak Fifit menyampaikan perguruan tinggi (kampus) seharusnya menjadi wadah untuk mencari ilmu dan adanya orang-orang bependidikan, kekerasan seksual sudah banyak terjadi di kampus dan sudah banyak di sembunyikan untuk menjaga nama baik kampus. Dalam menurut survey Kemendikbud 2020 sebanyak 77% dosen di Indonesia mengatakan pernah terjadi kekerasan seksual di kampus.
Dan banyaknya tidak ada pelaporan atas kasus tersebut karna khawatir terhadap adanya stigma negative. Kak Fifit menyampaikan, Pembahasan mengenai Permendikbud Ristek No. 30 (suatu langkah progresif dalam menangani keresahan akan tingginya kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi tetapi menimbulkan banyak perdebatan yaitu pada MUI (Majelis Ulama Indonesia) meminta untuk merevisi/ mencabut Permedikbud ristek ini. dan juga Muhammadiyah memberikan tanggapan dalam terbitnya Permendikbud ristek ini adalah mengenai adanya unsur legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan.
Dan pecegahan dan penanganan kekerasan seksual harus menjadi perhatian khusus. Dalam pasal 5 ayat 2 dari beberapa point dengan frasa “tanpa persetujuan korban” artinya hubungan seksual dibolehkan atas dasar suka sama suka dan hal ini bertolak belakang dengan norma hukum yang berlaku di Indonesia, dimana perzinahan dianggap sebagai perilaku asusila dan diancam pidana. Kak Fifit menyampaikan terkait Kaidah Fiqih “Ad – dharurah Yuzalu” (Kemudaratan harus dilihilangkan). Hakikat darurat (posisi seseorang pada suatu batas jika tidak ingin melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati).
Banyak kekerasan seksual yang terungkap dari terbitnya Permendikbud bukan berarti membuktikan kebenaran dan keberhasilan atau menghasilkan banyak data kekerasan seksual di kampus. Tidak adanya penjamin, pelapor atau korban dilindungi atas kekerasan seksual oleh Negara ketika memberikan pengakuan. Dari kekosongan hukum itu membahayakan. Sebagai kader Muhammadiyah dan umat muslim Jika tidak setuju dengan Permendikbud harus mempunayai gagasan/ide. Jangan sampai adanya penolakan secara terus menerus dan tidak ada solusi sehingga terjadinya kekosongan hukum tetapi jangan juga menerima dan apresiasi tetapi tidak menjamin keberhasilan atas kekerasan seksual.
Setelah pemberian materi dari kedua narasumber, adapun pra kata yang disampaikan oleh IMMawan Wikka Essa Putra dalam jalannya diskusi IMMawati adalah Dengan diselenggarakannya agenda kegiatan diskusi ini adalah suatu harapan untuk mendapatkan suatu pencerahan bagaimana kita melihat mata hati kita dalam memandang Permendikbud ini, dan merupakan bagian ikhtiar untuk mengetahui dalam berbagai perspektif dan sudut pandang mengenai Permendikbudristek. Dan itu menjadi landasan kami untuk berdiskusi dalam memandang Permendikbudristek ini kemudian, dengan adanya diskusi diharapkan nya ada proses dialetika untuk membangun sebuah wacana dan juga harapan dalam membangun tradisi intelektual terutama nya di internal Jakarta Timur ini. Serta memberikan pencerahan dan membuka cakrawala berpkikir dalam memandang poin – point dan pandangan social Permendikbud ini kedepannya.