Melacak Fikih Kebhinekaan: Urgensi dan Implementasi
Oleh: Ramadhanur Putra (Mahasiswa FAI UMY 2020)
“Jika ingin mempertahankan bangsa dan negara ini 100 hingga 1.000 tahun lagi maka seperti uraian di buku ini solusinya. Saya rasa kalau tidak maka kita akan berkeping-keping,”
– Buya Ahmad Syafii Maarif (Saat di wawancarai news.okezone.com ketika launching Buku Fikih Kebhinekaan)
Selayang Pandang Fikih Kebhinekaan
Fikih kontemporer ini merupakan sebuah gagasan yang lahir dari kegiatan Halaqah Fikih Kebhinekaan yang diadakan oleh Ma’arif Institute dengan mengundang berbagai ulama, cendekiawan, ilmuwan, dan akademisi islam di lingkungan Muhammadiyah pada Februari 2015 di Jakarta.
Selanjutnya, Fikih Kebhinekaan ini dikenalkan pada Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar, Sulawesi Selatan pada tahun yang sama dengan menghadirkan sebuah buku yang berjudul “Fikih Kebhinekaan”.
Buku ini ditulis oleh para intelektual Muhammadiyah lalu diterbitkan atas kerja sama Ma’arif Institute dan Mizan: Publishing House. Setidaknya ada empat pembahasan umum dalam Fikih Kebhinekaan yang menjadikan urgensitasnya tidak diragukan lagi, yaitu: 1) landasan filosofis fikih, 2) fikih kenegaraan dan kewarganegaraan, 3) fikih masyarakat dan kemanusiaan, dan; 4) fikih kepemimpinan dalam masyarakat majemuk.
Ketika “Fikih” dikaitkan dengan “Kebhinekaan”
Fikih secara bahasa berarti pemahanan atau pengetahuan. Sedangkan secara istilah adalah mengetahui hukum-hukum syari’ah yang bersifat amaliyah dan dikaji dalil-dalinya secara terperinci.
Sementara itu kebhinekaan adalah keberagaman dan keberbedaan. Kontruk sosial masyarakat Indonesia yang beragam menjadikan falsafah jawa kuno “Bhineka Tunggal Ika” sebagai semboyan negara Indonesia oleh para pendiri bangsa dalam upaya menjaga keha rmonisan rumah tangga yang dibangun.
Menurut K.H Lukman Hakim Saifuddin, Fikih Kebhinekaan adalah, “Seperangkat aturan tentang perilaku sosial manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok, yang ditetapkan oleh ulama atau ahli yang berkompeten berdasarkan dalil yang terperinci untuk tujuan mencapai kemaslahatan umat”.
Sedangkan menurut Prof Hilman Latief , “Ketika ‘fikih’ disandingkan dengan ‘kebinekaan’, yang kemudian menjadi judul buku ini, maka maknanya adalah pandangan tentang keanekaragaman atau rumusan sikap kaum Muslim dalam menghadapi keberbedaan”.
Maka, secara sederhana fikih kebhinekaan adalah suatu ilmu fikih yang bersifat relatif (furu’iyah) dengan mengadopsi keanekaragaman Indonesia untuk menjadi pandangan universal dalam hidup berbangsa dan bernegara demi terwujudnya persatuan Indonesia (kemaslahatan umat).
Disamping itu, Fikih kebhinekaan ini bertujuan untuk membangun persatuan dan kesatuan Indonesia, harmonisasi kehidupan antar agama, dan membangun sumber daya muslim (intern dan ekstern) yang berkualitas dalam menghadapi perbedaan.
Dari Urgensi ke Implementasi
Keberadaan Fikih Khebinekaan menjadi sangat penting dalam kemajemukan masyarakat Indonesia. Fikih Khebinekaan ibarat pisau analisis pemain catur dalam keberagaman bidak catur yang dapat merawat perbedaan menjadi kekuatan dalam membangun bangsa Indonesia. Disisi lain, Fikih Kebhinekaan dibangun atas dasar konsep kemaslahatan yang tertuang dalam Maqasid Asy-Syari’ah (menjaga agama, jiwa, keturunan, akal, harta, dan umat).
Thomas Hobbes, seorang filsuf Inggris dalam karyanya DE CIVE (1651 M) mengumpamakan manusia dengan srigala yang disebut dengan Homo Homini Lupus. Tentunya sebagai seorang filsuf empirisme, istilah itu tidak lepas dari kondisi masyarakat yang dilihat dan diamati oleh Hobbes.
Watak serigala serigala cenderung bersifat eksploitatif dan berkeinginan untuk menguasai. Sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadinya pertumpah darahan dengan watak hewani tersebut. Maka, Hobbes memandang perlu dibentuk sebuah kontrak sosial di tengah-tengah masyarakat untuk menjamin keadilan serta kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, Fikih kebhinekaan dapat kita lihat sebagai salah satu upaya dalam merawat kontrak sosial yang dibangun oleh pendiri bangsa agar tidak diingkari dan melenceng dari hakikat kontrak sosial itu sendiri.
Penerapan Fikih Kebhinekaan dapat dimulai dari kesadaran individu terhadap realitas keberagaman yang ada di Indonesia. Kemudian, dari kesadaran terhadap realitas itu dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa mengedepankan salah satu golongan atau bahkan bersikap dengan sengaja ataupun tidak sengaja mendiskriminasi keberagaman orang lain.
Upaya implementasi Fikih Kebhinekaan sangat mencakup segala lini kehidupan dalam masyarakat Indonesia, kecuali persoalan aqidah yang bersifat mutlak. Namun, aqidah itupun sendiri tidak boleh dipaksakan kepada orang lain.
Moderasi Beragama Sebagai Sikap Implementatif
Perbedaan dalam kemajemukan masyarakat Indonesia yang sering muncul ke permukaan dengan problematikanya adalah perbedaan Agama. Perbedaan agama dalam tubuh bangsa Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang harus disikapi dengan sikap moderat beragama.
Moderasi yang dapat diartikan secara sederhana sebagai sebuah sikap tengahan, toleran, dan juga sedang, dapat memelihara keberagaman itu dengan baik. Sikap tidak melepaskan diri dari belenggu-belenggu kefanatikan dan sikap radikal-ekstrem yang tentunya akan memicu keributan dalam perbedaan, atau bahkan yang lebih buruk dari pada itu adalah pertumpahan darah di muka bumi ini tentu akan menggangu stabilitas kemaslahatan umat.
Oleh karena itu, sikap moderasi beragama dalam konteks hablun min an-nas harus diimplementasikan pada setiap tingkah laku sebagi warga negara Indonesia. Sebagaimana dengan apa yang kami baca di postingan instagram ib.times, adapun Indikator Moderasi Beragama yang dapat menjadi tolak ukur keberhasilannya, adalah: 1) Komitmen Kebangsaan; 2) Toleransi; 3) Anti Kekerasan, dan; 4) Penerimaan Tradisi.
Purna-Kata
Perbedaan harus diterima karena itu adalah sunnatullah sebagaimana yang diwahyukan dalam Q.S Al-Hujurat (49) Ayat 13. Oleh karena itu, perbedaan sudah menjadi ketetapan dan tidak dapat ditawar lagi. Manusia dengan statusnya sebagai khalifah fil ardh harus dapat memaknai perbedaan itu dengan baik.
Status khalifah fil ardhi yang disematkan pada manusia setidaknya memiliki dua makna, pertama sebagai pujian dari Allah S.W.T, kedua sebagai ujian bagi manusia itu sendiri untuk mengfungsikan akalnya dengan baik sebagai keistimewaan yang dimiliki oleh manusia.
Wal Akhir, Sebagai sebuah ilmu fikih yang lahir dari proses Ijtihad, tentunya gagasan ini memiliki kekurangan dan kelebihan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwasanya ilmu fikih itu bersifat furu’iyah (cabang) yang tidak menutup kemungkinan lahirnya pandangan yang berbeda. Wallahu A’lam.
Referensi:
10 Maarif- 2014 -Jurnal Nasional -Fikih Kebhinnekaan.pdf. (n.d.).
Abdurrahim, W. S. (2018). Menggugat Fikih Kebinekaan. 290.
Anwar, C. (2018). Islam Dan Kebhinekaan di Indonesia: Peran Agama Dalam Merawat Perbedaan. Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam, 4(2), 1. https://doi.org/10.31332/zjpi.v4i2.1074
Harbani, r. d. (2021, juli 27). 5 perbedaan fikih dan syari’ah dalam hukum islam. Retrieved november 2021, 2021, from detik.com: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5659109/5-perbedaan-fiqih-dan-syariah-dalam-hukum-islam
IMMDIY, D. (2021). Merayakan Kebhinekaan: Telaah Kritis Masalah Keindonesiaan. Sleman: CV. Timur Barat.
Liauw, h. (2015, februari 25). indonesia kembangkan fikih kebhinekaan. Retrieved november 14, 2021, from kompas.com: https://edukasi.kompas.com/read/2015/02/25/22460171/Indonesia.Kembangkan.Fikih.Kebinekaan
Syafii Maarif, A. (2015). Fikih Kebinekaan.
Wahyudi, e. (2015, agustus 5). fikih kebhinekaan di kenalkan di muktamar muhammadiyah. Retrieved november 14, 2021, from cnnindonesia: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150805194646-20-70332/fikih-kebhinekaan-dikenalkan-di-muktamar-muhammadiyah
Akun Instagram Ibtimes.id. (2021, Oktober 30). Indikator Moderasi Beragama. Retrived november 14, 2021, from ibtimes: https://www.instagram.com/p/CVogpVwv5fY/?utm_source=ig_web_copy_link