Birrul-walidain Generasi Milenial
Bentuk keberkahan seorang anak salah satunya dengan adanya sifat berbakti kepada orangtuanya (birrul walidain). Sebagai tema yang penting dalam Islam, Al-Qur’an perihal birrul-walidain ini mendudukannya setelah perintah tauhid, sebagaimana dalam QS. Al-Isra’ ayat 23-24, yang disimbolkan dalam penggalan ayatnya dengan dua istilah yaitu ihsan dan ‘uququl-walidain. Umumnya, ihsan dapat dimaknai berbakti kepada kedua orangtua, yaitu memberikan kebaikan dan melindungi dari segala macam keburukan pada kedua orangtua, yang dalam syariat.
Menurut Ibnu ‘Athiyah, selama itu sesuai dengan koridor perintah dan larangan Allah. Sedang ‘uququl-walidain adalah gangguan yang ditimbulkan seorang anak pada orangtuanya, baik perkataan maupun perbuatan. Misalnya dengan ucapan yang keras, menggertak, mencaci maki hingga menyakiti hati keduanya. Atau perbuatan kasar semisal memukulnya, tidak memenuhi keinginan keduanya, membencinya, tidak mempedulikannya, memutus tali silaturrahim, hingga tidak memberi nafkah pada keduanya.
Kisah hubungan antara anak dan orangtua, baik atau buruk, banyak disinggung dalam Al-Qur’an seperti kisah Nuh dengan anaknya Kan’an, atau Yusuf dengan sang ayah, Yakub. Artinya, sepanjang sejarah manusia banyak terdapat catatan dalam hal ini. Maka Islam pun memberikan banyak panduan moral mengingat kebaikan hubungan antara anak dan orangtuanya, adalah kebaikan peradaban itu sendiri. Menjadi cacatan buruk dengan fenomena merebaknya panti jompo di beberapa negara maju, seperti Jepang, pun kini menjalar di negara berkembang seperti Indonesia, yang difungsikan sebagai tempat banyak orangtua menghabiskan masa tuanya, dikarenakan anak-anak mereka enggan merawat, sibuk dengan alasan pekerjaan dan tidak punya waktu.
Demikian menjadi cirikhas anak-anak yang hidup bersama orangtua mereka di era milenial. Gaya hidup serba praktis, instan, mengandalkan kecepatan informasi dan teknologi, menjadikan mereka acuh kepada segala hal yang berbau masa lalu, yang old-tua. Hingga kadang pendapat dan masukan orangtua tidak dianggap dan diindahkan. Gaya hidup liberal-bebas mengakibatkan lunturnya nilai-nilai moral, sopan santun kepada orangtua. Apatis dengan dunia nyata, seperti berinteraksi lahiriyah dengan keluarga, karena lebih konsen dengan dunia maya, serta banyak perilaku lain yang terkesan mencampakkan orangtua. Tulisan ini membahas beberapa bentuk birrul-walidain pada orangtua serta keuntungan spiritual (berkah) yang yang akan diperoleh dalam konteks Hadits-hadits Nabi SAW.
Menjaga kehormatan orangtua
Umumnya, menjaga kehormatan diri sendiri dan orang lain adalah kewajiban sesama muslim, dengan tidak boleh merendahkan dan menjatuhkan hak masing-masing personal, baik hak yang bersifat materil ataupun imateril, sebagaimana sabda Nabi saw. saat haji wada’, meski ada yang meriwayatlan dalam khutbah Idul ‘adha:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ وَرَّادٍ مَوْلَى الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم:….إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا….(رواه مسلم)
“Telah menceritakan pada kami Usman, menceritakan pada kami Jarir dari Mansur dari asy-Sya’bi dari Warrad hamba sahaya al-Mughirah bin Syu’bah dari al-Mughirah bin Syu’bah berkata, Rasulullah saw. bersabda:…..Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas sesama kalian darah kalian (untuk ditumpahkan) dan harta kalian (untuk dirampas) dan kehormatan (untuk dirusak). Sebagaimana haramnya hari ini, haramnya bulan ini dan haramnya negeri ini…..” (HR. Muslim)
Riwayat yang semakna dengan hadits di atas diriwayatkan oleh Jabir ra., Abu Bakrah ra., Abdulah bin Umar ra., juga terekam dalam kitab Sunan al-Sughra Al-Baihaqi bab Tahrim aklu mal al-ghair bi-ghairi idznihi (vol. 3: 208) dan Shahih al-Bukhari bab al-Khutbah al-Wada’.
Bersegera menjawab panggilan orangtua
Salah satu akhlak mulia anak terhadap orangtua yang terlihat remeh adalah bersegera menjawab panggilan orangtua dan jangan sampai orangtua tersakiti hatinya hingga mendoakan keburukan kepada kita. Hal ini tervisualisasi dalam sebuah riwayat yang berkisah tentang Juraij :
وَقَالَ اللَّيْثُ حَدَّثَنِي جَعْفَرُ بْنُ رَبِيعَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هُرْمُزَ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَتْ أُمُّهُ يَوْما فَقَالَتْ: يَا جُرَيْجُ ! وَهُوَ يُصّلِّى، فَقَالَ فِي نَفْسِهِ – وَهُوَ يُصَلِّي–أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ، ثُمَّ صَرَخَتْ بِهِ الثَّانِيَةَ، فَقَالَ فِي نَفْسِهِ: أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ. ثُمَّ صَرَخَتْ بِهِ الثَالِثَةَ فَقَالَ: أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ. فَلَمَّا لَمْ يُجِبْهَا قَالَتْ: لاَ أَمَاتَكَ اللهُ يَا جُرَيْجُ ! حَتىَّ تَنْظُرَ فِي وَجْهِ المُوْمِسَاتِ (رواه البخاري)
Al-Laits berkata, telah menceritakan pada kami Ja’far bin Rabi’ah dari Abdurrahman bin Hurmuz berkata Abu Hurairah ra. Suatu hari datanglah Ibu Juraij dan memanggil anaknya (Juraij) ketika ia sedang melaksanakan shalat, ”Wahai Juraij.” Juraij lalu bertanya dalam hatinya, ”Apakah aku harus memenuhi panggilan ibuku atau meneruskan shalatku?”Rupanya dia mengutamakan shalatnya. Ibunya lalu memanggil untuk yang kedua kalinya. Juraij kembali bertanya di dalam hati, ”Ibuku atau shalatku?” Rupanya dia mengutamakan shalatnya. Ibunya memanggil untuk kali ketiga. Juraij bertanya lagi dalam hatinya, ”lbuku atau shalatku?” Rupanya dia tetap mengutamakan shalatnya. Ketika sudah tidak menjawab panggilan, ibunya berkata, “Semoga Allah tidak mematikanmu, wahai Juraij! sampai wajahmu dipertontonkan di depan para pelacur” (HR. Al-Bukhari)
Hadits ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari Bab Idza da’at al-ummu waladahu fi ash-Shalah no. 2876 dan Shahih Muslim Bab Taqdim birrul-walidain ala ath-Thatawu’ bi ash-Shalah no. 2671, serta di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Adab al-Mufrad. Kisah Juraij ini memberikan pelajaran berharga tentang amat pentingnya menghargai panggilan orangtua. Bahkan menganalogikan pentingnya memenuhi panggilan orangtua sekalipun kita sedang melaksanakan shalat.
Tidak meninggikan suara ketika berbicara dengan orangtua
Akhlak mulia anak terhadap orangtuanya ini dicontohkan oleh para sahabat- Nabi saw.:
عَن الُمغِيْرَة بِن شُعْبَة عَن المساَوِر بنِ المخْرَمَة ، فَقَالَ : وإذا تكَلَّمَ خَفَضُوا أصواتَهم عندَه ، وما يُحِدُّون إليه النظرَ؛ تعظيمًا له (رواه البخاري)
Dari Al-Mughirah bin Syu’bah dari Al-Musawir bin al-Makhramah berkata: jika para sahabat berbicara dengan Rasul, mereka merendahkan suara dan mereka tidak memandang tajam sebagai bentuk pengagungan terhadap Rasul” (HR. Al-Bukhari)
Hadits ini termaktub dalam Shahih al-Bukhari Bab As-Syuruth fi al-jihad wa al-maslahah ma’a ahl-harb no. 2731; Shahih Ibn Hibban Bab al-muwada’ah wa al-muhadanah (vol. 20:267). Musthafa Al-‘Adawi dalam As-Shahih al-Musnad fi Fadha’il As-Shahabah berpendapat, perbuatan para sahabat di atas adalah dalil adab sikap penghormatan.
Tidak mendahului perkataan orangtua
Adab mulia mukmin ajarkan mendengar nasehat orang yang lebih tua dengan tidak menyela pembicaraan, mendahului, apalagi membantahnya. Demikian secara umum, maka menjadi sangat utama dilakukan pada orangtua kandung seperti dicontohkan oleh sahabat Abdullah Ibn ‘Umar ra. saat bersama Nabi saw. dan para sahabat senior.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنِ ابْنِ أَبِى نَجِيحٍ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ صَحِبْتُ ابْنَ عُمَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلَمْ أَسْمَعْهُ يُحَدِّثُ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- إِلاَّ حَدِيثاً كنَّا عندَ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ فأتيَ بِجُمَّارٍ، فقالَ: إنَّ منَ الشَّجرةِ شجَرةً، مثلُها كمَثلِ المسلِمِ ، فأردتُ أن أقولَ: هيَ النَّخلةُ، فإذا أنا أصغرُ القومِ، فسَكتُّ، فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ: هيَ النَّخلةُ (رواه البخاري ومسلم )
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ibn Abi Najih dari Mujahid berkata, aku pergi ke Madinah, namun aku tidak mendengar dia membicarakan tentang Rasulullah saw. kecuali satu kejadian dimana dia berkata: Kami pernah bersama Nabi saw. di Jummar, lalu Nabi bersabda: ‘Ada sebuah pohon yang ia merupakan permisalan seorang Muslim’. Ibnu Umar berkata: ‘sebetulnya aku ingin menjawab: pohon kurma. Namun karena ia yang paling muda di sini, maka aku diam’. Lalu Nabi saw. pun memberi tahu jawabannya (kepada orang-orang): ‘ia adalah pohon kurma’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Ibnu Umar melakukan hal demikian karena adanya para sahabat lain yang lebih tua secara usia darinya, sekalipun bukan orangtua kandungnya. Hadits ini tercatat dalam kitab Shahih al-Bukhari Bab Al-Fahmu Fi al-‘ilmi no. 82; Shahih Muslim Bab Misl al-Mu’min misl an-Nihlah no. 2811; Musnad Ahmad bin Hanbal (vol. 9: 407) dan Sunan al-Darimi (vol. 1:317).
Memuliakan orangtua saat berkunjung
Fatimah ra. menunjukkan adab mulia dengan menghormati ayahnya, Nabi saw. saat mengunjungi rumahnya, begitu juga sebaliknya saat Fatimah ra. berkunjung ke rumah Nabi saw. Saling menghormati, memuliakan dan menghargai adalah adab yang bisa menambah kasih sayang antara anak dan orangtua.
أَخْبَرَنِي زَكَرِياَ بن يَحْيىَ قَالَ نَا إسْحَاق قَالَ ناَ النَضْرُ بن شَمِيل قَالَ ناَ إسرَائِيلَ قَالَ أناَ مَيْسَرَة بن حَبِيْب النَهْدِي قَالَ أخْبَرَنِي الِمنْهاَل بن عَمَرو قَالَ حَدَثَتِني عَائِشَةَ بِنْت طَلْحَة عَن عَائِشَةَ أمّ المُؤْمِنِيْنَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَآهَا قَدْ أَقْبَلَتْ رَحَّبَ بِهَا ثُمَّ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَا ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهَا فَجَاءَ بِهَا حَتَّى يُجْلِسَهَا فِي مَكَانِهِ. وَكَانَتْ إِذَا أَتَاهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحَّبَتْ بِهِ ثُمَّ قَامَتْ إِلَيْهِ فَقَبَّلَتْهُ (رواه النسائى)
Telah mengkabarkan padaku Zakariya bin Yahya, telah menceritakan pada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami an-Nadhru bin Syamil, telah menceritakan pada kami Israil, telah menceritakan pada kami Maysarah bin Habib an-Nahdi, telah mengkabarkan padaku Minhal bin ‘Amr, telah menceritakan padaku Aisyah binti Talhah dari Aisyah Ummul Mukminin bahwa Nabi saw. jika melihat putri Beliau (Fatimah) datang ke rumah, maka Nabi saw. menyambut kedatangannya. Beliau berdiri lalu berjalan menyambut, menciumnya, menggandeng tangannya lalu mendudukkannya di tempat duduk beliau. Jika Nabi saw. mendatangi rumah Fatimah ra., Fatimah pun menyambut kedatangan Nabi saw. Dia bangkit dan berjalan ke arah Beliau lalu mencium (keningnya). (HR. An-Nasa’iy)
Hadits ini diriwayatkan oleh An-Nasa’iy dalam Sunan al-Kubra -nya (vol. 5: 391) dan Shahih Al-Bukhari (vol. 3: 231). Menurut kritikus Ibnu al-Qathan dalam Ahkam al-Nazhar berkomentar seluruh perawi Hadits ini berderajat tsiqah (kredibel)
Tidak pelit memberi nafkah pada orangtua
Memberi sebagian rezeki yang diperoleh seorang anak kepada orangtua adalah bagian birrul-walidain, sekalipun pemberian tersebut berdasarkan kemampuan anak:
أَخْبَرَناَ قُتَيْبَةَ قَالَ حَدَثَناَ اللَيْثُ عَنْ أَبِي الزُبَيْر عَنْ جَاِبر قَالَ رَسُولٌ الله صَلَّى اللهُ عليه وَ سَلم فَقَالَ: ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ (رواه النسائى)
“Telah mengkabarkan pada kami Qutaibah, telah menceritakan pada kami al-Laits dari Abi Zubair dari Jabir, Rasulullah saw. bersabda : Mulailah dari dirimu sendiri, engkau beri nafkah dirimu sendiri. Jika ada lebih, maka untuk keluargamu. Jika ada lebih, maka untuk kerabatmu” (HR. An-Nasa’iy)
Perihal riwayat ini, dua kritikus Hadits, Syu’aib al-Arnauth dan Al-Albani, menilainya shahih. Hadits ini tercatat dalam Sunan an-Nasa’iy (vol. 7: 304); Shahih Ibn Hibban, Bab shadaqah ath-Tathawu’ (vol. 8:128); Musnad Abi Awanah (vol.3: 490); Sunan al-Kubra Al-Baihaqi (vol. 4:178); Shahih Muslim Bab Al-Ibtida’ Fi an-nafaqati bi an-nafsi no. 997; Shahih Ibn Hibban (vol. 8: 128) dengan lafal matan (isi) yang berbeda. Berdasar Hadits di atas, orangtua adalah orang yang paling berhak dinafkahi setelah diri sendiri dan keluarga. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-‘Ashriyyah menjelaskan bahwa seorang anak wajib menafkahi orangtuanya jika memenuhi dua kriteria: (1) Orangtua dalam keadaan miskin; (2) Sang anak dalam keadaan mampu menafkahi.
Meminta sesuatu dengan lemah lembut
أَخْبَرَناَ الحُسَيْنُ بن حَرِيْث قَالَ أًنْبأنَا سُفْيَان عَن عَمَرو عَن وَهَب بْنِ مُنَبِّه عَنْ مُعَاوِيَةَ رَسُولٌ الله صَلَّى اللهُ عليه وَ سَلم فَقَالَ: لَا تُلْحِفُوا فِي الْمَسْأَلَةِ، فَوَاللهِ، لَا يَسْأَلُنِي أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا، فَتُخْرِجَ لَهُ مَسْأَلَتُهُ مِنِّي شَيْئًا، وَأَنَا لَهُ كَارِهٌ، فَيُبَارَكَ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتُهُ (رواه ومسلم )
“Telah mengkabarkan pada kami al-Husain bin Harits, telah menceritakan pada kami Sufyan dari Umar dari Wahab bin Munabbih dari Muawiyah, bersabda Rasulullah saw: Jangan kalian memaksa jika meminta. Demi Allah, jika seseorang meminta kepadaku sesuatu, lalu aku mengkabulkan permintaan tersebut dengan perasaan tidak senang, maka tidak ada keberkahan pada dirinya dan apa yang ia minta itu”. (HR. Muslim)
Hadits ini tercatat dalam Shahih Muslim (vol. 3: 95, no. 1038) Bab An-nahyu ‘an-Mas’alati dan Sunan an-Nasa’iy Bab al-Ilhaf fi al-Mas’alah (vol. 5:97)
Tidak membuat orangtua bersedih
Mengingat pentingnya birrul-walidain, Rasul saw. memerintahkan seorang pemuda yang membuat ibunya menangis untuk kembali membuatnya tertawa.
حَدَثَنَا أَبُوْ كُرَيْب محُمَد بن العَلاَء ثَناَ المَحاَرِبِي عَنْ عَطَاء بْنِ السَائِب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي جِئْتُ أُرِيدُ الْجِهَادَ مَعَكَ أَبْتَغِي وَجْهَ اللَّهِ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَقَدْ أَتَيْتُ وَإِنَّ وَالِدَيَّ لَيَبْكِيَانِ قَالَ فَارْجِعْ إِلَيْهِمَا فَأَضْحِكْهُمَا كَمَا أَبْكَيْتَهُمَا (رواه ابن ماجه)
“Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin al-‘Ala’, telah menceritakan kepada kami al-Muharibi dari Atha’ bin Saib dari Abdullah bin ‘Amr berkata: “Seseorang pernah mendatangi Rasulullah saw., ia berkata: Wahai Rasulullah, sungguh aku datang ingin berjihad bersamamu, aku berharap wajah Allah dan kehidupan ahirat, dan aku telah datang dalam keadaan kedua orangtuaku benar-benar menangis”, beliau menjawab: “Kalau begitu, kembalilah kepada keduanya, buatlah mereka berdua tertawa sebagaimana kamu telah membuat mereka berdua menangis.”
Hadits ini terekam dalam Sunan Ibn Majah (vol. 2: 930, no. 2782); Sunan an-Nasa’iy (vol. 4:72, no. 1827) dan Sunan Abi Dawud no. 783. Delapan hal di atas adalah sikap mulia anak kepada orangtuanya yang telah dituntunkan Rasul saw. kepada umatnya. Bersambung.
Hubungan baik antara anak dengan orangtuanya secara umum akan melahirkan banyak kebaikan spiritual (berkah) dan khususnya banyak hikmah, antara lain:
Amal yang utama
Birrul-walidain adalah amal utama yang kedudukannya dalam agama diletakkan setelah shalat yang merupakan tiang agama itu sendiri:
أَخْبَرَناَ عَمَرو بْن عَلِي قَالَ حَدَثَناَ يَحْيَى قَالَ حَدَثَناَ شُعْبَة قَالَ أَخْبَرَنِي الوَلِيْدِ بْنِ الَعيزَار قَالَ سَمِعْتُ أَباَ عَمَروَ الشَيْبَانِي يَقُوْلُ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: اَلصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا، قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: بِرُّالْوَالِدَيْنِ، قَالَ: قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ (رواه البخاري)
“Telah mengkabarkan pada kami Amr bin Ali, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, telah mengabarkan kepadaku al-Walid bin al-Izar, beliau mendengar bahwa Abu ‘Amr berkata : Aku bertanya kepada Nabi saw.: ‘Amal apakah yang paling utama?’ Nabi saw. menjawab, ‘Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya).’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orangtua.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’ (HR. Al-Bukhari)
Hadits ini terekam dalam Shahih al-Bukhari, Bab Fadhlu ash-shalat ‘ala waktiha, (vol.1: 112, no. 527); Muslim dalam Shahih-nya, Bab Bayan Kauni al-Iman (vol. 1:63, no. 264); An-Nasa’iy dalam Sunan-nya (vol.1: 292, no. 610); dan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya no. 3890.
Ridha orangtua adalah ridha Allah SWT.
Salah satu sebab begitu pentingnya birrul-walidain anak kepada orangtua adalah ridhanya orangtua termasuk bagian dari ridhanya Allah kepada anak tersebut. Oleh sebab itu, dalam kondisi apapun, posisi orangtua terhadap anak menjadi penentu keberkahan dan ketenteraman hidup anak tersebut. Karena keberkahan dan ketenteraman hidup yang dimaksud di sini adalah ridhanya orangtua kepada anak tersebut. Dan ridha adalah bagian kecil dari restu orangtua atas perbuatan yang anak lakukan, sebagaimana riwayat berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو حَفْصٍ عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ ، قَالَ : حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الحَارِثِ ، قَالَ : حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ، وَسُخْطُ الرَّبِّ فِي سُخْطِ الْوَالِدِ (رواه الترمذي)
“Telah menceritakan kepada kami Abu Hafs ‘Amr bin Ali, telah menceritakan kepada kami Khalid bin al-Harits, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Ya’la bin Atha’, dari Ayahnya, dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orangtua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orangtua” (HR. At-Tirmidzi)
Riwayat ini terekam oleh at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (vol. 3 374, no. 1899) dan Al-Bazzar dalam Musnad-nya (Vol. 6: 376). Namun beberapa kritikus hadits banyak yang melemahkannya dikarenakan terdapat seorang rawi dalam jalur Tirmidzi yang bernama Ya’la bin Atha’, yang dinilai majhul dan hanya satu yang menguatkan yaitu Ibnu Hiban. Pun dalam jalur Al-Bazzar, terdapat dua perawi yaitu Al-Hasan bin Ali bin Yazid bin Abi Yazid Al-Anshari yang dinilai lemah dan Ishmah bin Muhammad Fadhalah bin Ubaid Al-Anshari yang dinilai matruk. Kritikus yang menguatkan dengan menilainya hasan terhadap riwayat At-Tirmidzi di atas adalah As-Suyuthi dalam al-Jami’ al-Shaghir (no. 5245) dan Al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi (no. 1899) dengan alasan, banyak syawahid yang menguatkannya, antara lain riwayat dari Abu Hurairah dalam Mu’jam al-Ausath-nya At-Thabrani (no. 2255). Bagi kritikus yang melemahkan riwayat At-Tirmidzi di atas, syahid dari riwayat Abu Hurairah tersebut tetap tertolak sebab beberapa rawinya seperti Ismail bin Abi Amru dilemahkan oleh Abi Hatim al-Razi dan ad-Daruquthni.
Menghilangkan Kesulitan
Hikmah lain yang bisa diambil dari sikap berbaktinya anak kepada orangtua adalah hilangnya kesulitan yang dialami oleh anak tersebut, sebagaimana tervisualisasi dalam sebuah riwayat :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ حَدَّثَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ انْطَلَقَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى أَوَوُا الْمَبِيْتَ إِلَى غَارٍ فَدَخَلُوْهُ، فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهَا الْغَارَ. فَقَالُوْا : إِنَّهُ لاَيُنْجِيْكُمْ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ إِلاَّ أَنْ تَدْعُوْا اللهَ بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ: اَللَّهُمَّ كَانَ لِي أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيْرَانِ وَكُنْتُ أَغْبِقُ قَبْلَ هُمَا أَهْلاً وَ لاَ مَالاً، فَنَأَى بِي فِي طَلَبِ شَيْئٍ يَوْمًا فَلَمْ أُرِحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَ فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوْقَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ. فَكَرِهْتُ أَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلاً أَوْمَالاً، فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدَيَّ أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُمَا حَتَّى بَرَقَ الْفَجْرُ فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوقَهُمَا. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيْهِ مِنْ هَذِه الصَّخْرَةِ، فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا (رواه البخاري)
“ Telah menceritakan pada kami Abu al-Yaman, telah mengkabarkan pada kami Syu’aib dari Zuhri, telah menceritakan kepada kami Salim bin Abdullah bin Umar, beliau mendengar Rasulullah saw. bersabda: Pada suatu hari tiga orang dari umat sebelum kalian sedang berjalan, lalu kehujanan. Mereka berteduh pada sebuah gua di kaki sebuah gunung. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba sebuah batu besar runtuh dan menutupi mulut gua. Sebagian mereka berkata kepada yang lain: ‘Ingatlah amal terbaik yang pernah kamu lakukan.’ Kemudian mereka memohon kepada Allah dan bertawasul (berperantara) melalui amal tersebut, dengan harapan agar Allah menghilangkan kesulitan tersebut. Salah satu di antara mereka berkata: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai kedua orangtua yang sudah lanjut usia, sedangkan aku mempunyai isteri dan anak-anak yang masih kecil.
Aku menggembala kambing, ketika pulang ke rumah aku selalu memerah susu dan memberikan kepada kedua orangtuaku sebelum orang lain. Suatu hari aku harus berjalan jauh untuk mencari kayu bakar dan mencari nafkah sehingga pulang sudah larut malam dan aku dapati orangtuaku sudah tertidur, lalu aku tetap memerah susu sebagaimana sebelumnya. Susu tersebut tetap aku pegang lalu aku mendatangi keduanya namun keduanya masih tertidur pulas. Anak-anakku merengek-rengek menangis untuk meminta susu ini dan aku tidak memberikannya. Aku tidak akan memberikan kepada siapa pun sebelum susu yang aku perah ini kuberikan kepada kedua orangtuaku. Kemudian aku tunggu sampai keduanya bangun. Pagi hari ketika orangtuaku bangun, aku berikan susu ini kepada keduanya. Setelah keduanya minum lalu kuberikan kepada anak-anakku. Ya Allah, seandainya perbuatan ini adalah perbuatan yang baik karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah mulut gua ini.’ Maka batu yang menutupi pintu gua itu pun bergeser sedikit” (HR. Al-Bukhari)
Hadits ini terekam dalam Shahih al-Bukhari (vol. 3: 91, no. 2272); Shahih Muslim (vol. 8: 95, no. 7172); dan Musnad Abi Awanah (vol. 3:424). Wallahu a’lam bi al-shawab.
Sumber: Majalah SM No 16-18 Tahun 2019
Sukahar Ahmad Syafi’i, Anggota Majelis Tabligh & Tarjih PDM Kab. Pati