JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Sebagai makhluk sosial, manusia tidak lepas dari interaksi dan komunikasi. Dengan interaksi dan komunikasi, manusia dapat saling terhubung satu sama lain. Sejak awal, manusia telah berperan dalam sosialisasi di lingkup keluarga, selanjutnya di lingkungan sebaya. Di lingkungan sebaya, seseorang akan mengenal komunikasi interpersonal dan intrapersonal. Namun, tak jarang, komunikasi yang terjalin dalam kelompok bermain justru memicu terjadinya stres pada anak.
Novi Andayani Praptiningsih selaku Dosen Uhamka dalam penelitiannya menyebutkan, berdasarkan data Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI tahun 2019, gangguan depresi sudah muncul sejak usia remaja (15-24 Tahun) dengan persentase 6,2 persen. Menurut dia, remaja sedang giatnya menjaring komunikasi dengan sebayanya. Namun, kata dia, usia remaja merupakan awal seorang anak bisa merasakan depresi.
Novi menyebutkan, faktor pendorongnya, yaitu perundungan (bullying), konflik dalam internal (keluarga), rasa kecewa yang tertahan, lingkungan yang terdapat budaya perundungan, dan sebagainya. ”Seharusnya pada usia remaja, anak belajar untuk menjalin komunikasi pada teman sebayanya dan membangun relasi dengan lingkungannya. Tetapi, yang terjadi justru terjadinya gangguan depresi hingga membuat remaja terjebak dalam toxic relationship (hubungan tidak sehat),” ujarnya dalam penelitian bertajuk ”Toxic Relationship dalam Komunikasi Interpersonal di Kalangan Remaja” itu.
Dosen FISIP Uhamka tersebut mengungkapkan, sebenarnya toxic relationship dapat diatasi dengan memberikan contoh membangun interaksi dan komunikasi yang baik. ”Bercanda dengan sewajarnya, saling mengerti, tentunya membuka sebuah sapaan komunikasi yang hangat dapat mengurang faktor pemicu terjadinya toxic relationship dalam komunikasi interpersonal remaja,” ungkap Novi.
Selain itu, Novi menjelaskan, anak remaja memang belum bisa diarahkan ke pola komunikasi yang tidak menyinggung temannya, tetapi dapat menerima contoh penyampaian komunikasi yang membuat rekan sebayanya terhibur. ”Dukungan berupa penghiburan dari lingkungan sebaya dapat memberikan motivasi pada remaja untuk bergerak maju meninggalkan rasa sedih yang tengah dirasakan,” ungkapnya.
Pelaku toxic relationship atau toxic people, kata dia, bisa dari orang terdekat, bahkan keluarga seperti ayah, ibu, kakak, atau adik. Selain itu, kata dia, toxic people bisa juga kekasih atau sahabat. ”Atau teman sebaya bahkan sahabat yang sering melakukan bullying berupa kekerasan verbal, fisik, bahkan seksual,” ujarnya.
Hubungan toxic relationship yang seperti itu dapat memengaruhi mental anak. Menurut Novi, masyarakat Indonesia perlu diberikan penyadaran agar tidak permisif menyikapi perilaku toxic people, baik pada kasus toxic parenting, toxic relationship, maupun toxic friendship. ”Salah satunya dengan mendampingi korban toxic agar tidak trauma. Sementara itu, bagi korban toxic agar lebih mencintai diri sendiri (self-love) demi terhindar dari pelaku toxic, sehingga kesehatan mentalnya tetap terjaga,” katanya.