Beberapa Catatan Tentang Media Cetak Muhammadiyah di Era 1930an
Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Awal abad ke-20 dapat dikatakan sebagai kelahiran kesadaran kebangsaan Indonesia yang dimanifestasikan lewat medium modern. Selain direpresentasikan oleh pembentukan organisasi sosial atau politik, era ini juga ditandai dengan penyebaran informasi dan perdebatan intelektual di ruang publik yang difasilitasi oleh media cetak. Pada saat itu sudah ada sekitar 60 media cetak yang dipublikasikan oleh kaum pribumi di tengah dominasi aktivitas literasi yang berada di tangan orang Belanda, serta kaum Indo dan golongan Cina.
Persyarikatan Muhammadiyah turut meramaikan fajar literasi pribumi yang baru menyingsing itu. Majalah resmi persyarikatan, Soeara Moehammadijah, terbit sejak tahun 1915 sebagai sarana utama dalam membangun komunikasi jarak jauh antara Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah dengan cabang dan ranting Muhammadiyah se-Hindia Belanda. Majalah ini juga dijadikan sebagai teladan bagi cabang dan ranting dalam hal bagaimana mengelola informasi dan merekatkan anggota dalam suatu organisasi. Dari contoh yang diberikan Sooeara Moehammadijah lahirlah sejumlah media cetak lain yang berafiliasi dengan Muhammadiyah. Beberapa cabang dan grup (ranting) Muhammadiyah juga menerbitkan media cetak.
Pada tahun 1934, media cetak Muhammadiyah ini dapat diklasifikasikan berdasarkan daerah terbitnya, yang mencerminkan cabang/ranting yang mengeluarkannya serta cakupan wilayah yang menjadi titik perhatian media tersebut. Pertama, yang paling banyak, adalah di Yogyakarta, di mana ada setidaknya empat media cetak yang berafiliasi pada Muhammadiyah, yakni Soeara Moehammadijah, Soeara ‘Aisjijah (dengan kantor administrasi di Kauman), Moetiara (Jagang), dan Wali Songo (Wates). Kedua, di Kudus terbit Menara Koedoes, yang dikelola oleh Bagian Taman Pustaka Muhammadiyah Kudus. Ketiga, di Palembang muncul Pemimpin Moeballigh (yang kantor redaksinya berada di Jalan Kepandaian, Palembang). Keempat, di daerah tetangga Palembang, Bengkoelen (Bengkulu), terbit Sentosa, yang berada di bawah Majelis Konsul Muhammadiyah Bengkulu.
Beberapa tahun kemudian, Muhammadiyah cabang Betawi terjun pula ke dunia jurnalistik dengan menerbitkan majalah Pantjaran Amal. Berbeda dengan terbitan-terbitan Muhammadiyah lainnya, Pantjaran Amal membawa jurnalisme Muhammadiyah ke level yang lebih tinggi. Posisinya di kota terbesar di Hindia Belanda dan salah satu kota penting di Asia memungkinkan majalah ini punya redaktur di luar negeri, dalam hal ini di Singapura yang kala itu berada di bawah jajahan Inggris.
Soeara Moehammadijah, sebagai media cetak paling utama di antara yang lainnya, juga menjadi yang terdepan dalam mempromosikan berbagai meda cetak terbitan Muhammadiyah lokal. Pada era 1930an itu, redaksi majalah ini mengajak agar para pembacanya juga berlangganan majalah-majalah tersebut. Hal itu akan membuat warga Muhammadiyah di suatu kota menjadi lebih paham tentang dinamika, tantangan dan pencapaian Muhammadiyah di tempat lainnya, yang kisahnya tidak terkover di halaman-halaman Soeara Moehammadijah yang terbatas. Soeara Moehammadijah sendiri, menurut keputusan Kongres ke XVII (Yogyakarta, 1928), diharapkan dapat tersebar seluas-luasnya kepada warga Muhammadiyah, salah satu caranya adalah dengan mempertinggi kualitasnya namun menjualnya dengan harga serendah-rendahnya agar majalah yang bermanfaat ini bisa diakses dengan mudah.
Supaya mendapatkan gambaran awal tentang media lokal Muhammadiyah tersebut, calon pembacanya disilakan untuk meminta nomor percontohan ke redaksi media masing-masing. Soeara Moehammadjah, misalnya, menyediakan secara cuma-cuma nomor percontohan ini bagi cabang dan ranting Muhammadiyah se-Hindia Belanda yang belum berlangganan. Bila mau berlangganan setelah membaca nomor percontohan itu, cabang dan ranting diminta untuk mengirimkan uang langganan selama setahun sebanyak f 0,75. Syarat lainnya adalah adanya tanda tangan persetujuan dari cabang dan ranting untuk berlangganan.
Cabang dan ranting Muhammadiyah lainnya juga didorong untuk punya publikasinya masing-masing. Mereka boleh memilih namanya sendiri. Yang tidak diizinkan adalah menggunakan nama ‘Soeara Moehammadijah’ karena nama ini sudah ditetapkan sebagai organ resmi Muhammadiyah Hindia Timur. Cabang dan ranting juga dibebaskan untuk memilih bahasa yang akan dipakai, sebuah keputusan Muhammadiyah pusat yang mencerminkan pengakuannya pada keberagaman bahasa di Hindia Belanda serta akan membuka jalan lebih lanjut bagi penyebaran Muhammadiyah di level lokal. Bagi yang sudah terbit diharapkan agar segera memberitahukannya kepada Soeara Moehammadijah, agar nanti dapat diinfokan pula ke seluruh warga Muhammadiyah se-Hindia Belanda. Soeara Moehammadijah, dengan demikian, menjadi pusat dari jaringan kegiatan literasi Muhammadiyah di tahun 1930an.
Bahkan, dalam Kongres ke XX (1931) ada amanat unyuk mempublikasikan sebuah surat kabar khusus yang berisi informasi yang berkenaan dengan dunia pendidikan, khususnya sekolah Muhammadiyah. Demikian juga dengan Kongres ke XIX (Minangkabau, 1930), yang yang mengamanatkan agar warga Muhammadiyah menerbitkan suatu dagblad (surat kabar harian) oleh warga Muhammadiyah di luar organisasi. Ini adalah cara untuk membentuk sebuah pers umum yang dikelola oleh warga Muhammadiyah, yang pada hakikatnya mencerminkan aspirasi Muhammadiyah untuk membingkai opini publik di tengah masyarakat Hindia Belanda, dan tidak lagi hanya di antara warga Muhammadiyah semata.
Rencana di atas dikuatkan dengan keputusan di Kongres ke XXI (Makassar, 1932). HB Muhammadiyah dan Muhammadiyah cabang Surakarta diserahi tanggung jawab untuk mewujudkannya. Ada beberapa elemen penting yang harus tercermin dalam surat kabar baru tersebut, yakni berdasarkan Islam, memiliki tujuan untuk membela kebenaran dan memberikan penerangan pada kaum Muslim Hindia Belanda pada umumnya dan warga Muhammadiyah khususnya, dan memberikan ruang untuk berita mengenai golongan-golongan lain ataupun peristiwa-peristiwa di luar Muhammadiyah. Tempat terbitnya ditetapkan di Solo. Adapun surat kabar dimaksud diberi nama Adil.
Ketika meninjau kembali pandangan Muhammadiyah terhadap kemajuan literasi di kalangan pribumi pada 1930an, akan tampak bahwa penyebaran agama Islam, diseminasi ilmu pengetahuan dan pembentukan opini publik merupakan faktor-faktor penting dalam geerakan Muhammadiyah. Media yang dibayangkan Muhammadiyah akan diisi oleh warga Muhammadiyah juga mencakup ruang-ruang yang sangat luas dan tidak hanya untuk kepentingan organisasi saja. Sebagaimana bisa dilihat di atas, Muhammadiyah mendorong agar cabang dan ranting punya media masing-masing, agar ada media cetak harian untuk urusan sekolah Muhammadiyah, dan agar ada suatu media untuk umum yang dikelola oleh warga Muhammadiyah.
Ringkasnya, cita-cita besar literasi Muhammadiyah adalah supaya semua ruang yang berkenaan dengan peningkatan literasi publik diisi oleh warga Muhammadiyah, mulai dari di tingkat paling awal, dalam hal ini sekolah, lalu ke jenjang ranting (kabupaten dan ke bawahnya), cabang (provinsi), hingga ke level nasional dan masyarakat umum. Sebagaimana diketahui, tidak semuanya dapat terwujud, namun eksistensi ide besar itu sendiri sudah mengirimkan pesan kuat tentang arti penting media massa dan diseminasi informasi dalam gerakan Muhammadiyah di masa silam.
Media-media Muhammadiyah ini adalah sumber primer yang berharga untuk melihat bagaimana warga Muhammadiyah di berbagai level dan wilayah mempersepsi dirinya, Muhammadiyah, agama Islam, kesadaran kebangsaan yang baru lahir, serta modernitas, unsur-unsur yang pada hakikatnya masih mendefinisikan apa itu Muhammadiyah dewasa ini.
Muhammad Yuanda Zara, Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 24 Tahun 2020