Busyro Muqoddas: Berjayanya Oligarki Membentuk Soliditas Korupsi Politik

Busyro Muqoddas: Berjayanya Oligarki Membentuk Soliditas Korupsi Politik

Busyro Muqoddas: Berjayanya Oligarki Membentuk Soliditas Korupsi Politik

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah M Busyro Muqoddas menyampaikan pidato kunci Refleksi Akhir Tahun Catatan Kritis 2 Tahun Pemerintahan; Melayani Oligarki atau Rakyat?. Diselenggarakan Majelis Hukum dan HAM serta Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, Kamis (23/12/2021).

Dalam paparannya M Busyro Muqoddas mengungkapkan bahwa terdapat kausalitas korupsi hulu-hilir. Gurita korupsi skala nasional tahun 2004 sampai tahun 2019 memastikan terbentuknya soliditas korupsi politik. Terdapat kesamaan modus korupsinya yaitu “pengembalian hutang politik ongkos pemilu-kada dan sekaligus pemburuan rente”.

Pola korupsinya mencerminkan relasi antara pelaku di daerah dengan otoritas parpol dan birokrasi pusat. Kekejian kejahatan korupsi skala nasional menegaskan terdapatnya radikalisme korupsi aktor dan pelaku lapangan: pemulung jabatan. Rakyat diposisikan sebagai “sapi perah” sekaligus korban perenggutan virginitas moralnya melalui praktek suap terhadap konstituen.

Punahnya nilai kesahabatan sejati, praktek korupsi lintas aparat parpol dan birokrasi pusat-daerah dengan pemodal telah membentuk sistem kartel dan mafia politik dominan. Relasi lintas aktor itu menunjukkan wataknya sebagai komplotan penjahat. Sekaligus sirnanya makna hakiki persahabatan yang mengandalkan saling nasehat, mengingatkan dan hormat pada kritik.

“Sangat miris ketika nilai-nilai autentik kebangsaan dalam teks resmi kenegaraan menuntut dan telah menuntun jiwa kenegarawanan, yang tampak kasat mata justru elit politik memilih laku rakus dan jumawa,” ungkapnya.

Tak terasa oleh rakyat, negeri sedang dikendalikan oleh mereka yang bukan dalam ikatan persahabatan sejati, melainkan oleh persekongkolan pemuja berhala kuasa demi pencapaian puncak-puncak tahta dan harta.

Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang intransparan semua aspeknya, pemaksaan Revisi UU KPK, pengesahan UU Minerba dan UU Omnibus Law/Cipta Kerja,revisi UU MK dan syahwat politik mempertahankan UU Parpol, UU Pemilu dan Pilkada, dan nafsu pemindahan ibu kota negara, merupakan rangkaian bukti remuknya nilai kesahabatan kebangsaan, dimana posisi rakyat?

Negeri Tuna Demokrasi

Bangkitnya dinasti nepotisme despotik merupakan setback budaya dan adab politik sekaligus berpeluang besar kembalinya rezim otoritair korup ala orde baru.

Produk legislasi, kebijakan sektor agraria, perekonomian dan perpajakan, tata ruang dan distribusi posisi-posisi di bumn maupun pengkaplingan proyek-proyek mega- infrastruktur dan praktek penegakan hukum intransparan dan diskriminatif, semua itu menegaskan pemerintah berorientasi kepada oligarki.

Redupnya independensi lembaga demokrasi tampak pula pada komposisi panitia seleksi Bawaslu dan KPU dengan intervensi unsur birokrasi pemerintah di dalamnya. Siapa diuntungkan di balik Pemilukada jika bukan imperium oligarki?

Dua tahun perjalanan birokrasi pemerintah semakin memperkuat relasi imperium oligarki dengan korupsi. Pertanda punahnya budaya welas asih yang tersubstitusi oleh pelembagaan watak basa-basi. Semoga derita rakyat teradvokasi oleh elemen masyarakat sipil yang masih menjungjung tinggi independensi dan harkat martabat diri.

Namun, di sisi lain keaslian Watak Kemanusiaan bangsa telah dicontoh-teladankan oleh rakyat negeri ini selama masa kritis pandemi covid-19. Sejumlah besar lorong-lorong kecil dan sempit di desa dan kampung bergelantungan nasi, sembako, sayur dan semua yang layak dimakan.

Sifat welas asih rakyat membelanjakan kebutuhan tetangga yang sedang “isoman”. Apa saja yang ada di rumah sampai yang harus diadakan sesuai kemampuannya dengan wajah ceriah diperuntukkan untuk tetangga lintas dukuh/RT/RW.

Itulah sepenggal kecil kisah keaslian rakyat jujur, tulus, polos wujud kondisi batinnya. Rakyat yang masih virgin moralitasnya, terpagari dari asap dan angus limbah politik krisis adab.

Petir menggelegar dahsyat menyambar dan merobek rasa Nurani Bangsa. Suatu keaslian watak nepotisme despotic menyemburkan lahar panas nafsu perut. Triliunan dana APBN untuk bansos bersumber dari rakyat untuk rakyat yang sedang bertaruh keselamatan jiwanya, tiba-tiba dirampok oleh petinggi parpol berkuasa dalam kuasa sang raja. Mereka tampil sebagai “raja tega“. Siapa yang beradab, berkemanusiaan dan welas asih? Pastilah bukan birokrat kumuh tuna rasa dan tuna etika itu. (rpd)

Exit mobile version